Pro Kontra RUU PKS

Swakarya.com – Baru-baru ini masyarakat kita sedang dihebohkan dengan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). RUU PKS ini membawa bermacam paradigma, tafsiran, dan pendapat dalam masyarakat Indonesia. Sehingga memunculkan pro dan kontra terkait RUU tersebut.

Karena minimnya undang-undang yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan serta maraknya kasus kejahatan terhadap perempuan maka dicetuslah RUU PKS yang dimaksud untuk melindungi kaum perempuan secara khusus dari tindak kekerasan maupun kejahatan seksual.

Munculnya RUU PKS Sekar justru membuat polemik dalam masyarakat. Beberapa hal justru menjadi tuntutan dan pertanyaan yang ambigu. Seperti definisi kekerasan seksual, mendukung prostitusi dan aborsi, menganut paham feminisme budaya barat, pro LGBT (lesbi, gay, biseksual, dan transgender), dan sebagainya. Hal seperti ini harus segera menemui titik terang agar tidak timbulnya miskonsepsi dan persepsi buruk dimasyarakat.

Berdasarkan RUU PKS, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi produksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan/atau politik.

Penghapusan kekerasan seksual adalah segala upaya untuk mencegah terjadi kekerasan seksual, menangani melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual.

Pada pekan lalu praksi dari PKS (Partai Keadilan Sejahtera) menggaungkan untuk merubah nomenklatur “kekerasan seksual” menjadi “kejahatan seksual”. Istilah kejahatan seksual lebih menggambarkan kesalahan serta pelanggaran yang yang dilakukan seseorang sehingga lebih mempermudah untuk menentukan tindak pidana terhadap suatu kasus.

Pada Nota Dinas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dijelaskan bahwa segala bentuk kekerasan seksual adalah kejahatan seksual. Sehingga untuk penggantian nomenklatur tidak diperlukan. Justru dengan merubahnya menjadi kejahatan seksual akan lebih pekat stigma berlebihan yang tidak selaras pada UU permasyarakatan yang menggunakan frasa “warga binaan” bukan “narapidana”.

Kata kunci dari kekerasan seksual adalah adanya “paksaan” sehingga korban tidak bebas membuat kehendak. Masalahnya adalah timbul tafsiran berbeda dari nukilan tersebut. “Kalau tidak dipaksa bearti bukan kekerasan?” “Kalau ada perbuatan prostitusi yang didasarkan pada suka sama suka bearti bukan kekerasan seksual”. “Kalau aborsi karena paksaan adalah kekerasan seksual, bearti kalau tanpa paksaan dan atas dasar keinginan sendiri adalah legal?” Hal ini membuat asumsi yang ambigu dikalangan masyarakat dan paling banyak dibincangkan.

Pada RUU PKS sebenar tidak pernah membahas pelegalan prostitusi ataupun aborsi. Dipakainya nomenklatur “paksaan” adalah untuk mempermudah dan mempertegas bahwa kekerasan dalam konteks seksual adalah pemaksaan, jebakan, eksploitasi, penyalahgunaan kekuasaan, dan/atau situasi yang tidak memungkinkan seseorang untuk menolak yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. Fungsinya adalah untuk mempermudah identifikasi tindak kekerasan tersebut. Tidak dijelaskan secara mendetail tentang prostitusi dan aborsi dalam RUU PKS ini bukan bearti melegalkan hal tersebut. Prostitusi diatur undang-undang KUHP pada pasal 506 dan pasal 296 yang menjelaskan bahwa mucikari dan penyedia tempat dapat dipidana, sedangka untuk pekerja seks RUU PKS berusaha memberikan perlindungan terhadap lingkaran prostitusi paksa yang sebelumnya tidak diataur dalam UU tindak pidana perdagangan orang. Sama halnya dengan aborsi yang sama sekali tidak memuat pelegalan aborsi dalam RUU PKS. Justru membantu korban aborsi paksa oleh pihak tertentu. Undang-undang terkait aborsi sudah dijelaskan pada pasal 75 UU 36 tahun 2009 yang menerangkan bahwa pembolehan aborsi karena menyangkut kesehatan serta korban pemerkosaan.

Dibayak kalangan berasumsi bahwa RUU PKS adalah produk dari kaum feminisme yang merupakan budaya barat dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Hal ini harus dibahas secara mendetail terkait feminisme itu sendiri. Secara umum kaum konsep feminisme lahir dari diskriminasi terhadap perempuan yang memiliki ruang sempit dimasyarakat serta maraknya perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Feminisme adalah pemikiran yang lahir dari kepedulian terhadap hak perempuan dan perlindungan perempuan. Orang-orang yang bergerak menyuarakan hal tersebut disebut feminis. Feminisme adalah konsep yang tidak memagari wilayah barat atau timur. Setiap insan yang peduli akan hak perempuan dan perlindungan perempuan secara tidak langsung adalah konsep feminisme itu sendiri.

Dilain pihak, pemikiran bahwa RUU PKS justru mengafirmasi LBGT. Justru dalam RUU PKS yang telah telaah tidak terdapat kata-kata atau makna yang secara jelas melegal LGBT. RUU PKS bukan untuk melindungi seseorang dengan ketertarikan seksual tertentu sehingga perlindungan terhadap kekerasan seksual lebih universal dan tanpa pandang bulu.

RUU PKS adalah sebagai alat perlindungan terhadap perempuan yang sering menjadi objek kekerasan. Adanya miskonsepsi pada RUU PKS mungkin disebabkan kurangnya pemahaman terkait RUU PKS tersebut. Alangkah baiknya terlebih dahulu kita membaca RUU PKS yang dapat diunduh pada website resmi www.dpr.go.id

Penulis: oca

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *