Penulis: Joni Ihsan, SH.,MH., PK Bapas Kelas I Palembang
Swakarya.Com. Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut SPPA) adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani proses pidana yang berdasarkan perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam sistem peradilan pidana anak bahwa terhadap anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban dan anak yang menjadi saksi dalam tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana; Anak yang menjadi korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana; Anak yang menjadi saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan proses hukum mulai tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan atau dialami.
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur 18 tahun tetapi belum mencapai umur 21 tahun anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 20 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Selanjutnya dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, mengambil keputusan untuk menyerahkanan kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan pada instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menangani bidang kesejateraan sosial (Pasal 21 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak jo, Pasal 67 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun.
Dimanakah posisi Pembimbimg Kemasyarakatan (PK) disaat terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anak? Pelaksanaan sistem Pemasyarakatan mempunyai tujuan akhir yaitu terciptanya kemandirian warga binaan Pemasyarakatan atau membangun manusia mandiri.
Sistem Peradilan pidana dalam kerangka sistem merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka menegakkan hokum pidana dan menjaga ketertiban social, dilaksanakan mulai kerja polisi dalam melakukan penyidikan peristiwa pidana, penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, Pemeriksaan perkara di pengadilan dan pelaksanaan hukuman di Lapas, Rutan dan Cabang Rutan.
Seluruh rangkaian kegiatan tersebut harus saling dukung mendukung secara sinergis hingga tujuan dari bekerjanya sistem peradilan pidana tersebut dapat dicapai.
Salah satu kegiatan dalam rangkaian kegiatan sistem peradilan pidana tersebut dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang merupakan bagian dari kegiatan sub sistem pemasyarakatan narapidana atau sub-sub sistem peradilan pidana.
Namun demikian keberadaan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) tidak banyak diketahui oleh sub sistem yang lain dalam sistem peradilan pidana Anak. Kondisi tidak dikenalnya Pembimbing Kemasyarakatan (PK) tersebut tentu saja akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan sistem peradilan pidana anak secara keseluruhan.
Dimana Pembimbing Kemasyarakatan (PK) merupakan bagian dari sistem tata peradilan, mempunyai tugas melaksanakan pembimbing dan mendampingi anak pelaku dalam proses Peradilan Anak.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap anak yang berhadapan dengan hokum berhak untuk mendapatkan perlindungan baik fisik, mental, spiritual maupun social sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang meliputi :
- Non Diskriminasi
- Kepentingan yang terbaik untuk anak
- Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
- Penghargaan terhadap anak
Berdasarkan prinsip-porinsip tersebut, terhadap anak yang berhadapan dengan hokum, Pembimbing Kemasyarakatan mempunyai posisi untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi anak, melalui rekomendasi dalam Penelitian Kemasyarakatan. Posisi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dapat dilihat pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang menyatakan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan bertugas: - Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan Hakim dalam perkara anak nakal, baik didalam maupun di luar sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS).
- Membimbing, membantu dan mengurus anak pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang menjatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 terdapat rumusan tentang Pembimbing Kemasyarakatan bahkan kewajibannya untuk hadir dalam sidang anak. Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang akan disidangkan sebelum sidang dibuka. Hakim dalam putusannya wajib mempertimbangkan laporan Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sudah harus dimulai semenjak proses penyidikan.
Posisi utama Pembimbing Kemasyarakatan dalam peradilan pidana anak adalah menyajikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang berisi: Data individu anak, keluarga, pendidikan dan kehidupan social anak; Kesimpulan data pendapat dari pembimbing kemasyarakatan; Manfaat dari laporan hasil penelitian kemasyarakatan tersebut sebagai salah satu bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara anak. Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitain kemasyarakatan tersebut karena dalam menetukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak, hakim mempunyai pilihan antara lain menjatuhkan pidana atau mengambil tindakan. Secara teoritis pilihan-pilihan sanksi yang dapat dijatuhakan kepada anak adalah untuk mengambil keputusan yang terbaik untuk anak. Anak yang berkonflik dengan hukum secara sosiologis tidak dapat dinyatakan salah sendiri karena ia belum menyadari akibat dari tindakannya dan belum dapat memilih mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang tidak baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Pelanggaran pidana oleh anak lebih merupakan kegagalan proses sosialisasi dan lemahnya pengendalian sosial terhadap anak. Oleh karena itu keputusan hakim dalam perkara anak harus mempertimbangkan keadaan anak yang sesungguhnya atau realitas sosial anak tersebut, bukan hanya melihat aspek pidananya saja. Dikaitkan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 16 dirumuskan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan anatara lain penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi dan penangkapan, penahanan atau penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Seyogyanya anak yang berkonflik dengan hukum tidak dijatuhi pidana, apabila anak dijatuhi pidana maka hak-hak lain dari anak yang dijamin oleh undang-undang dan pertumbuhan anak akan dapat terganggu. Selain itu diketahui pula bahwa tempat pendidikan atau pembinaan anak yang terbaik adalah keluarganya. Apabila keluarganya tidak mampu mendidik anak, maka banyak alternative pengganti keluarga yang dapat diberi tugas untuk pembimbingan anak yang sesuai dengan sistem sosial Indonesia yaitu kerabat keluarga besarnya. Penangan anak yang berkonflik dengan hukum saat ini belum dapat dilaksanakan secara terpadu oleh aparat penegak hukum yang terkait dengan tugas-tugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK), sehingga satu sama lainnya belum dapat melaksanakan ketentuan yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Akibat belum terpadunya antar penegak hukum dalam penanganan masalah anak, maka prinsip kepentingan terbaik bagi anak belum dapat diwujudkan karena sistem peradilan pidana anak di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara terpadu, sehingga muncul permasalahan-permasalahan: Belum adanya kesamaan persepsi dari para penegak hukum maupun yang terkait dalam proses persidangan anak dalam rangka mencari solusi terbaik guna kepentingan terbaik bagi anak; Belum sepenuhnya hasil Penelitian Kemasyarakatan dijadikan bahan pertimbangan untuk mencari solusi terbaik bagi anak, litmas terkesan hanya sebagai formalitas; Belum dilaksanakan secara menyeluruh dari pasal-pasal yang termuat dalam Undang Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA, karena masih adanya perbedaan persepsi antar Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap undang-undang; Posisi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam sistem peradilan pidana anak adalah pendampingan terhadap anak sebagai pelaku pada tiap tahap proses hukum yaitu melakukan penelitian kemasyarakatan pada saat penyidikan di kepolisian (tahap pra-ajudikasi), melakukan pendampingan tahap II di kejaksaan dan pendampingan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan (tahap Ajudikasi) serta pendampingan saat pelaksanaan putusan Hakim, pembimbingan saat pelaksanaan program integrasi (tahap post-ajudikasi). Posisi PK Bapas dalam sistem peradilan pidana merupakan salah satu sub sistem bersama sub sistem lainnya yaitu peran orang tua/wali, penasehat hukum, polisi, jaksa dan hakim yang bersinergi menjadi satu sistem yaitu Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).