Penulis: Masayu Siti Hajir, S.Si., Pembimbing Kemasyarakatan Pertama pada Bapas Kelas I Palembang
Swakarya.Com. Masalah klasik yang dihadapi oleh Pemasyarakatan di Indonesia adalah over kapasitas di hampir seluruh Lapas dan Rutan yang ada di Indonesia. Sampai dengan bulan Januari tahun 2022, over kapasitas Lapas dan Rutan di Indonesia mencapai 105 persen.
Untuk wilayah Sumatera Selatan sendiri, over kapasitas pada 17 Lapas dan 3 Rutan yang mencapai 140 persen. Dengan kapasitas 6.605 narapidana, saat ini Lapas dan Rutan di Sumatera Selatan di huni oleh 16.511 narapidana pada bulan Mei tahun 2022. Persentase over kapasitas ini akan terus merangsek naik sampai dengan tahun 2025 jika merujuk hasil riset Center Detention Studies bersama Tim Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Jika pemidanaan masih mengedepankan pemenjaraan, maka akan terjadi ledakan penghuni Lapas mencapai 136% di tahun 2025. Untuk menanggulangi hal ini, maka pemerintah harus membangun 176 Lapas dan Rutan yang setara dengan Rp. 35,8 Triliun dan harus menanggung beban bahan makanan narapidana sebesar Rp. 10,3 Triliun pertahunnya. Tentu saja kita semua tidak menghendaki hal ini, oleh karena itu melalui rakor dilkumjakpol untuk memecahkan secara bersama-sama over kapasitas melalui penerapan Restorative Justice terhadap pelaku dewasa.
Selain beban anggaran yang besar bagi pemerintah, akibat over kapasitas yang dirasakan oleh Lapas dan Rutan adalah Pelarian, Kerusuhan, Narkoba, Pungli, Penyakit Menular, Residivisme dan tentu saja anggaran yang membengkak. Selain akibat tersebut, over kapasitas berdampak pada sulitnya memenuhi hak-hak WBP baik itu pelayanan tahanan maupun pelayanan pembinaan Narapidana di Lapas.
Over kapasitas terjadi karena arus masuk narapidana ke dalam Lapas/Rutan lebih besar dari pada arus keluar sehingga terjadi penumpukan dan kepadatan penghuni Lapas dan Rutan. Kemenkumham telah melakukan berbagai upaya untuk memperbesar arus keluar yaitu memindahkan Narapidana hukuman tinggi keluar Propinsi, Redistribusi tahanan/narapidana ke Lapas/Rutan yang masih memungkinkan menampung pemindahan Narapidana serta mempercepat pengeluaran narapidana melalui program Asimilasi Rumah.
Upaya mempercepat arus keluar tidak lah berarti jika arus masuk dari Sistem Peradilan Pidana lebih besar, karena sistem pemidanaan yang menitikberatkan pada pendekatan retributive dari pada Restorative. Pendekatan retributive yang digunakan oleh Sistem Peradilan Pidana kita menjadi salah satu penyumbang arus masuk yang besar ke dalam Lapas/Rutan, karena hampir semua perkara akhirnya bermuara ke penjara.
Restorative Justice pada pelaku dewasa sebagai salah satu solusi untuk memperkecil arus masuk narapidana ke dalam Lapas/Rutan saat ini telah dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum. Namun pada prakteknya, pendekatan restorative saat ini masih bersifat sektoral sehingga muncul perbedaan persepsi yang mengakibatkan tidak terlaksananya Restorative Justice secara konsisten.
Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan HAM mencoba mengambil peran untuk membantu Penyidik, Jaksa dan Hakim dalam mempermudah dan memperlancar Restorative Justice bagi pelaku dewasa melalui jabatan fungsional Pembimbing Kemasyarakatan yang ada di Balai Pemasyarakatan maupun Pembimbing Kemasyarakatan yang ada di Kantor Wilayah.
Peran yang dapat diberikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam Restorative Justice bagi pelaku dewasa pada tahap pra ajudikasi dan ajudikasi antara lain menyajikan data yang akurat dalam bentuk penelitian kemasyarakatan (Litmas), melakukan Assesment Resiko Residvis untuk menilai tingkat pengulangan tindak pidana, melaksanakan pendampingan bagi tersangka atau terdakwa dewasa dalam proses Restorative Justice dan melakukan pembimbingan serta pengawasan terhadap tersangka atau terdakwa dewasa yang mendapat pidana alternatif berdasarkan keadilan restoratif.
Berbeda dengan Rstorative Justice dalam Criminal Justice Sistem, Dalam konteks Pemasyarakatan sebagai institusi penegak hukum yang harus membina, melayani, dan membimbing pelaku kejahatan, maka keadilan restoratif (restorative justice) adalah pelaksanaan pelayanan, pembinaan, dan pembimbingan bagi pelaku kejahatan dengan mengikutsertakan korban, keluarga, masyarakat, dan pelaku kejahatan dalam rangka perbaikan diri pelaku, serta perlindungan dan pemulihan korban serta masyarakat.
Dari definisi diatas, sebenarnya Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah mengeluarkan kebijakan pemberian asimilasi dan hak-hak integrasi (PB, CB, dan CMB) bagi narapidana yang tertuang dalam Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Secara khusus di masa pandemi Covid-19 kebijakan berorientasi keadilan restorative yaitu Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Anak dan Narapidana dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 dan Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Mencegah dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 yang kemudian diperbarui dalam Permenkumham Nomor 24 Tahun 2021.
Pada tahap ini, Pembimbing Kemasyarakatan dapat melakukan assessment dan penelitian kemasyarakatan terhadap narapidana untuk kegunaan program integrasi baik itu Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat dan Asimilasi untuk mempercepat arus keluar narapidana. Dengan keterlibatan PK dalam Restorative Justice pelaku dewasa baik pada tahap pra ajudikasi, ajudikasi maupun post ajudikasi, kontribusi yang diberikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan adalah dapat memperkecil arus masuk penghuni melalui keterlibatannya dalam proses Restorative Justice dalam Sistim Peradilan Pidana yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dan dapat mempercepat arus keluar melalui program integrasi sehingga tidak terjadi kepadatan penghuni didalam Lapas.
Jika melihat keberhasilan Pembimbing Kemasyarakatan mengurangi arus masuk di LPKA dalam Diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), maka tidak berlebihan jika keterlibatan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Restorative Justice bagi pelaku dewasa, diharapkan dapat mengurangi over kapasitas di Lapas/Rutan. Data menunjukkan bahwa timgkat hunian di LPKA Kelas I Palembang sebelum adanya Diversi dalam SPPA, menunjukkan penuruan tingkat hunian yang drastis sehingga tidak lagi terjadi over kapasitas di LPKA Kelas I Palembang setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yag melibatkan Pembimbing Kemasyarakatan.