oleh : Michelle Tania Lie (Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung)
Terlampau dari kehidupan bermasyarakat sebuah perbedaan dalam beragama, bersosialisasi, adat, dan kebiasaan dalam melakukan kegiatan sehari-hari akan selalu ada. Perbedaan perbedaan itulah yang disebut dengan keberagaman. Akan tetapi tidak semua keberagaman dapat diterima oleh seluruh masyarakat, ada juga konflik-konflik yang timbul akibat adanya perbedaan tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2021 dengan perkiraan di Indonesia sendiri terdapat jumlah penduduk 238,09 juta jiwa pemeluk agama islam yang jika dipresentasekan menjadi 86,93% pemeluk agama Islam terdapat di Tanah Air. Keragaman umat beragama yang terdapat di Indonesia dengan jumlah penganut agama Islam yang secara angka lebih banyak kerap menjadi salah satu penyebab konflik berlatar belakang agama yang terjadi di Indonesia. Peran multikultural sangat dibutuhkan guna menghadapi permasalahan serta perbedaan yang ada pada saat ini terlebih dalam sistem hukum di Indonesia.
Di setiap kehidupan bernegara terutama di Indonesia mengenal sebuah perbedaan yang seringkali disebut sebagai multikultural. Multikultural sendiri adalah suatu pembahasan mengenai perbedaan perbedaan yang terjadi pada setiap individu dari berbagai aspek yang ada seperti adat, agama, budaya, perilaku perilaku yang terjadi pada kehidupan sehari-hari, politik, dan beberapa aspek lainnya yang bisa menimbulkan sebuah perbedaan di antara satu individu dengan individu lainnya.
Beberapa negara mengembangkan multikultural guna menciptakan pondasi kekuatan untuk membangun sebuah negara yang satu tanpa memikirkan perbedaan-perbedaan yang ada terlebih di Indonesia memiliki enam agama/ kepercayaan.
Peradilan Agama merupakan salah satu peradilan yang sejak jaman kerajaan sudah ada. Pada masa kerajaan Islam, agama Islam bukan hanya menjadi agama resmi namun hukum yang diberlakukan juga menggunakan hukum Islam. Pada masa penjajahan khususnya masa kolonial belanda, Lembaga peradilan mulai dirapihkan bahkan memilisi susunan, wilayah serta kekuasaan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Pemerintah Belanda secara tegas telah membentuk Peradilan Agama berdasarkan Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Peradilan Agama di Jawa dan Madura.
Memasuki fase kemerdekaan peraturan hukum di Indonesia masih banyak mengacu kepada peraturan yang dibuat oleh kolonial belanda terutama Peradilan Agama saat itu masih mengacu kepada aturan peralihan UUD 1945. Pada tahun 1970 telah disahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang di tegaskan dalam Pasal 2 Tentang Pengadilan Agama menegaskan bahwa peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang. dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan
Fungsi peradilan agama antara lain Fungsi mengadili (judicial power), Fungsi pembinaan, Fungsi pengawasan, Fungsi nasehat, Fungsi administrative dan fungsi lainnya melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain dan juga pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya.
Akan tetapi setelah memasuki fase awalnya kemerdekaan indonesia sudah terdiri dari berbagai agama yang dimana tidak hanya umat beragama islam saja, namun jika ditinjau dari pandangan asas hukum pengadilan agama salah satunya asas personalitas keislaman merupakan salah satu asas umum yang melekat pada lingkungan Peradilan Agama.
Asas ini bertumpu pada kata keislaman yang berarti hanya mereka yang mengaku dirinya pemeluk agama Islam adalah yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama. Penganut agama lain di luar Islam atau yang non Islam, tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama.
Latar belakang munculnya asas personalitas keislaman dengan adanya teori Receptio in complexu yang dicetuskan oleh Van Den Berg. Asas ini merupakan pengembangan dari teori Receptio In Complexu. Dengan adanya teori ini, maka setiap orang berlaku hukum agama yang dianutnya yang kemudian melatarbelakangi lahirnya asas personalitas keislaman. Asas ini mengandung pengertian bahwa terhadap orang Islam berlaku hukum Islam dan jika terjadi pelanggaran sengketa diselesaikan menurut hukum Islam oleh hakim Pengadilan agama Islam.
Oleh karena itu, mengenai Perspektif Pengadilan Agama dalam Menanggapi Tantangan Multikulturalisme di Indonesia. Walaupun di indonesia sebagian mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam, dalam argumen ini Pengadilan Agama sebaiknya tetep memperhatiin prinsip multikulturalisme dalam setiap putusannya agar tetap bisa menciptakan keadilan yang merata untuk semua warga negara. hal tersebut di rasa penting agar Pengadilan Agama bisa memahami bagaimana adanya keberagaman budaya dan agama di Indonesia agar tidak ada diskriminasi dalam proses hukum serta keadilan.
Terkait pandangan mengenai pengadilan agama di Indonesia yang hanya untuk orang Islam dikaitkan dengan multikulturalisme dan dalam isi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 pada pasal 2, yang mana aturan tersebut memang sudah lama ada dan memang menuai pro dan kontra, dan ada beberapa orang setuju karena sesuai dengan prinsip negara kita yang mayoritas penduduknya Islam, tapi ada juga yang kontra (tidak setuju) karena dianggap diskriminatif. Namun hal tersebut kembali pada pandangan masyarakat sosial serta kebebasan dalam masing masing manusia dalam mencapai Kebhinekaan Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945, bahwa negara Indonesia menjamin kebebasan kepada setiap masing-masing rakyatnya untuk mempercayai agamanya masing-masing dan untuk beribadat sesuai dengan agamanya.
Maka dari itu, tantangan Pengadilan Agama soal tantangan multikulturalisme di Indonesia terlebih ekstrim mengenai Isu konflik antar agama dan konflik internal agama di Indonesia merupakan masalah yang serius. Banyak contoh konflik yang mengatasnamakan agama, baik antar sesama agama maupun dengan agama yang lain, yang kerap menghiasi kehidupan bangsa Indonesia. Sehingga hal ini konseptualnya sudah dipahami oleh masyarakat Indonesia yang dijadikan sebuah komoditas kehidupan di tengah-tengah negara yang multicultural, karena segala entitas pasti memiliki sisi positif dan sisi negatif.
Akar dari terbentuknya konflik antar agama tersebut terjadi dikarenakan 2 faktor, ada pengaruh dari dalam dan pengaruh dari luar. Dimana faktor internal sebagai variable pemicu yang berasal dari agama itu sendiri, seperti adanya perbedaan teologi agama dan kefanatikan agama yang berlebihan.