Penulis: Msy. Siti Hajir, S.Si., PK Ahli Pertama BAPAS Kelas I Palembang
Swakarya.Com. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupaka anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Adapun Pengaturan HAM dijeaskan secara detil diatur “Pasal 28 UUD Negara Republik Indonesaia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 45), mulai dari Pasal 28A sampai Pasal 28J yang mencakup hak hidup, hak membentuk keluarga, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, perlakuan yang sama di mata hukum, hak memeluk agama dan beribadat, hak bermasyarakat, dan turunan-turunan lainnya.”
Dapat dipahami bahwa Negara Indonesia sangat menjunjung tinggi HAM yang melekat sejak lahir bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak terkecuali narapidana yang telah Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disingkat WBP). Meskipun WBP sedang menjalani sanksi pidana penjara di berbagai Lapas Indonesia, namun masih diberikan hak-hak dasar yang diatur dalam “Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan) seperti hak beribadah, hak mendapatkan perawatan, hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran, sampai hak mendapatkan pembebasan bersyarat sebagai salah satu rangkaian proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia.”
Hal tersebut bermakna bahwa sebenarnya fungsi pemidanaan lebih kepada proses reintegrasi sosial pelaku tindak pidana sehingga diharapkan dapat kembali menjadi pribadi yang positif dan berbaur dengan masyarakat luas. Namun yang menjadi persoalan adalah sulitnya menjalani program pembinaan sosial bagi WBP karena sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa mantan narapidana sulit menerima orang dengan stempel mantan napi.
Oleh karena itu, negara hadir dalam memberikan hak hidup dan bermasyarakat kepada narapidana yang telah menjadi WBP untuk dibina dan diawasi lebih intensif dengan peralihan status dari WBP menjadi Klien Pemasyarakatan di bawah naungan Balai Pemasyarakatan (selanjutnya disingkat Bapas). Salah satu program pembinaan yang dilakukan oleh Bapas melalui Pejabat Fugsional Pembimbing Kemasyarakatan (selanjutnya disingkat PK) adalah program reintegrasi sosial bagi WBP yang telah berubah status menjadi Klien Pemasyarakatan di akhir masa hukumannya.
Reintegrasi sosial merupakan sebuah proses sebuah proses pemulihan hubungan hidup, penghidupan, dan kehidupan narapidana dengan melibatkan peran PK dalam pembinaannya sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan.“Hadirnya PK dalam Sistem Pemasyarakatan diharapkan dapat memberikan pembimbingan yang tepat sesuai dengan kebutuhan Klien Pemasyarakatan saat menjalani reintegrasi sosial.
Salah satu elemen penting dalam suksesnya Program Reintegrasi Sosial bagi Klien Pemasyarakatan adalah keluarga yang dapat menjadi sebagai Penjamin selama Klien Pemasyarakat menjalani program tersebut.”
“Menurut Pasal 1 angka 7 Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat bahwa yang disebut sebagai keluarga adalah suami atau istri, anak kandung, anak angkat atau anak tiri, orang tua kandung atau angkat atau tiri atau ipar, saudara kandung atau angkat atau tiri atau ipar dan keluarga dekat lainnya sampai derajat kedua baik horizontal maupun vertikal.”
Pada dasarnya Penjamin bagi Klien PEmasyarakatan telah dipilih oleh Lapas, namun PK masih berperan memverifikasi calon penjamin bagi WBP yang akan diikutsertakan dalam Program Reintegrasi Sosial berbentuk asimilasi di rumah. PK menilai kelayakan penjamin berdasarkan hubungan kekeluargaan yang jelas antara Penjamin dengan WBP serta domisili penjamin yang valid. Adapun Peran Penjamin dalam Program Reintegrasi Sosial Klien Pemasyarakatan terbagi dalam 2 tahap, yaitu Pra Reintegrasi Sosial dan saat Pelaksanaan Reintegrasi Sosial.
Pada tahap Pra Program Reintgerasi Sosial, Penjamin berperan dalam memberi persetujuan dan kesanggupan menjamin narapidana yang masih menjadi WBP untuk diusulkan mengikuti Program mengikuti Program Reintegrasi Sosial. Tidak ada yang bersedia dan tidak memberkan persetujuan, atau bahkan tidak dapat menyanggupi penjaminan WBP dalam Program Reintegrasi Sosial, maka sudah dapat dipastikan bahwa usulan Program Reintegrasi Sosial akan ditolak dan tidak dapat diproses.
Pada tahap Pra Reintegrasi Sosial, Penjamin juga akan menjamin bahwa WBP akan melaksanakan wajib lapor diri dan bersedia dibimbing di Balai Pemasyarakatan setiap bulannya. Dalam hal ini, Penjamin akan diawasi langsung oleh PK dalam menjalani Program Reintegrasi Sosial.
Adapun dalam dalam tahap Pelaksanaan Reintegrasi Sosial, peran Penjamin adalah membantu PK dalam membimbing dan mengawasi WBP yang telah berubah status menjadi Klien Pemasyarakatan dan menjalani Program Reintegrasi Sosial berbentuk Asimilasi di di rumah dan membaur dengan masyarakat sekitar.
Salah satu persoalan besar bagi Klien Pemasyarakatan dalam melaksanakan Program Reintegrasi Sosial adalah kurang terpenuhinya kebutuhan dasar manusia seperti sandang, papan, dan pangan. Sehingga pada tahap awal program yaitu 1/3 dari masa reintegrasi sosial, sering terjadi pengulangan tidak pidana (residivis) yang dilakukan oleh Klien. Maka dari itu, tahap awal ini memerlukan koordinasi yang baik antara PK dan Penjamin secara intensif dan kontinyu.
Sebenarnya pada tahap awal reintegrasi sosial, PK membuat program bimbingan berdasarkan pengidentifikasiann kebutuhan selama bimbingan melalui instrumen Assessment Criminogenic. PK harus mengidentifikasi faktor-faktor kebutuhan Klien selama masa bimbingan agar program yang dijalani dapat efektif dan dapat cepat beradaptasi serta bertahan hidup di tengah-tengah masyarakat, sehingga masyarakat tidak resah dan akan menerima kehadiran klien dengan senang hati.
PK dapat mengarahkan Penjamin Klien dalam menyusun kegiatan-kegiatan penting dalam pelaksanaan program Reintegrasi Sosial bagi Klien Pemasyarakatan berdasarkan hasil Assessment Criminogenic yang dilihat berdasarkan identifikasi berbagai faktor kebutuhan, diantaranya pendidikan dan pekerjaan, keuangan, hubungan sosial kemasyaratan, serta faktor-faktor kebutuhan lainnya.
Dalam hal ini, Peran Penjamin sangat menentukan keberhasilan program Reintegrasi Sosial yang sedang dijalani oleh Klien Pemasyarakatan. Sebagian besar Penjamin tidak memahami bagaimana seharusnya Penjamin berperan dalam membantu pembimbingan dan pengawasan terhadap Klien. Oleh karena itu, PK harus mengarahkan Penjamin agar dapat berperan lebih aktif dalam mendukung program Reintegrasi Sosial yang dilaksanakan oleh Klien Pemasyarakatan.
Meskipun pada dasarnya Peran Penjamin Klien bukan merupakan kewajiban yuridis, sebab tidak ada sanksi hukum bagi penjamin yang tidak maksimal membantu Program Reintegrasi Sosial. Namun sanksi moral dapat diberikan oleh PK kepada Penjamin Klien sebagaimana disepakatinya beberapa ketentuan saat Pra Program Reintegrasi.***