Penulis : Adhy Yos Perdana (Ketua Umum HMI Cabang Bangka Belitung Raya)
Swakarya.com. Kita mulai memasuki bulan mei bulan yang dalam kalender masehinya terdapat Hari Raya Idul Fitri 1442 H yaitu pada tanggal 13 mei. kita ketahui bersama bahwa bulan mei merupakan bulan yang tercatat dalam sebuah histori identik dengan suasana aksi menyuarakan hak buruh di tanggal 1 mei atau yang sering kita sebut dengan momentum may day.
Namun ada yang tidak boleh dilupakan oleh bangsa indonesia bahwa terdapat pula momentum besar di bulan mei ini selain peristiwa hari buruh yakni Hari Pendidikan Nasional yang sering kita peringati pada tanggal 2 mei.
Dapat kita lihat bersama, sejak pandemi covid 19 merebak ke seluruh penjuru dunia terlebih di indonesia maka praktis kondisi pendidikan di indonesia pun harus segera di berhentikan dari rutinitas proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang dilakukan di lingkungan pembelajaran seperti sekolah ataupun kampus.
Hal tersebut dikarenakan kegiatan belajar mengajar dilakukan secara tatap muka sehingga sangat mengkhawatirkan ketika kasus terpapar covid 19 sedang tinggi persebaranya di indonesia.
Hal tersebut merupakan titik awal dari melunturnya arah pendidikan di indonesia yang sejatinya menjadi potret peradaban sebagai identitas sumberdaya manusia yang berkualitas yang dimiliki oleh bangsa indonesia.
Tak lama berselang pemerintah melalui kementrian pendidikan mengintruksikan agar kegiatan belajar mengajar kembali berlangsung akan tetapi dengan nuansa yang berbeda yakni dengan pembelajaran dalam jaringan atau daring.
Proses belajar mengajar secara daring ini menuntut semua elemen dalam kegiatan KBM baik siswa ataupun guru sebagai tenaga pengajar memanfaatkan kemajuan teknologi dengan menggunakan smartphone ataupun menggunakan leptop dan komputer dengan login ke dalam aplikasi zoom metting.
Pada titik pembelajaran secara daring ini terdapat sedikit harapan akan kembali bergairahnya semangat dalam dunia pendidkan yang akan diterima oleh anak bangsa.
Namun seiring berjalanya waktu proses belajar mengajar secara daring ini memiliki banyak kendala dan hambatan. Baik dari faktor siswa seperti siswa belum memahami belajar daring tersebut, kondisi siswa yang tidak memiliki smartphone, hingga kebingungan siswa saat proses belajar daring berlangsung.
Dari sisi tenaga pengajar juga banyak para guru yang mengalami kesulitan baik dari sarana atau fasilitas yang di sediakan masih kurang, kurikulum atau proses penyampaian selain metode ceramah seperti biasa juga para tenaga pengajar di wajibkan untuk membuat video mengenai aktivitas pembelajaran hingga yang menjadi hambatan bagi kedua unsur tersebut adalah sinyal atau jaringan yang sulit bagi warga di perkampungan dan kuota internet yang memakan biaya yang tidak sedikit.
Dengan adanya berbagai hambatan tersebut pemerintah melalui kementrian pendidikan merespon dengan cukup baik yakni dengan di bagiknya kuota belajar dari kemendikbud.
Akan tetapi sangat di sayangkan jika pemerintah hanya memberikan solusi atau respon dari suatu permasalahan yang sifatnya begitu pendek tersebut.
Ketika hanya kuota pendidikan yang di bagikan maka tenaga pendidik masih mengalami kesulitan pada pemahaman dan capaian kurikulum yang menuntut banyak yang harus dikerjakan tetapi mobilitas tatapmuka di larang serta sistem pembelajaran masih daring sehingga target pembelajaran yang hendak di capai masih mengalami ketimpangan.
Bagi yang sedang di didik baik siswa maupun mahasiswa pun demikian mengalami sekelumit kesulitan, mereka berjibaku dengan tugas yang terlampau banyak di bandingkan dengan materi yang didapati padahal tujuan di adakanya pendidikan adalah guna mencerdaskan kehidupan bangsa yang kini bak tersulap menjadi komoditi yang hanya berorientasi pada kuantitas penyampaian bukan kualitas penyampaian , penyerapan, dan pemahaman akan proses belajar mengajar yang berlangsung di dunia pendidikan.
Apakah 20 persen dari APBN negara kita yang dialokasikan untuk pendidikan hanya ingin menciptakan manusia robot dari hasil pendidikan yang dijadikan seperti komoditas, atau kita sama-sama merefleksikan diri bahwa 20 persen anggaran dari APBN negara kita ini kita optimalkan sebaik mungkin dalam rangka menciptakan iklim pendidikan di tanah air yang memang sebagaimana visi dari pendidikan yakni untuk melahirkan generasi manusia sebagai manusia yang intelek dan berdaya cipta tinggi sebagai potret dari identitas pendidikan di indonesia.
Belum lagi tatkala kita menelisik lebih mendalam mengenai wajah pendidikan di indonesia jika kita lihat dari sisi pemerataan pembangunan infrastruktur di daerah-daerah yang ada di indonesia di bandingkan dengan infrastruktur pendidikan yang ada di kota.
Belum lagi persoalan capaian kurikulum tentu akan berbeda bagi instansi pendidikan yang fasilitasnya terpenuhi dengan instansi pendidkan yang fasilitasnya masih minim.
Jika kita membahas tenaga pendidik yang non PNS semakin banyak memikul rangkap kerja, selain harus mengajar dengan banyak materi dengan mobilitas tinggi juga biasanya merangkap tugas namun dengan honor yang tidak sebagaimana mestinya.
Maka akan kita jumpai berbagai polemik ketimpangan yang amat terlihat jelas dan belum dapat teratasi.
Deretan permasalahan di atas merupakan potret permasalahan yang terdapat pada instansi pendidikan negeri di bawah kementrian pendidikan dan kebudayaan di indonesia.
Belum lagi jika kita telusuri lebih mendalam potret pendidikan dibawah kementrian agama yang tentunya tidak sedikit instansi pendidikanya dan dengan permasalahan yang relatif sama bahkan di tambah ketimpangannya yakni instansi pendidikan di bawah kementrian agama menuntut berbagai hal yang berbeda dengan instansi pendidikan negeri.
Belum lagi jika kita menyoroti instansi pendidikan yang bukan dibawah naungan kemendikbud dan kemenag yakni instansi pendidikan swasta, maka terlihat ketimpangan yang teramat jauh serta memicu kecemburuan karena penganaktirian pada instansi pendidikan swasta padahal sama-sama dalam rangka menciptakan pendidikan guna melahirkan generasi hebat yang ada di indonesia.
Mereka harus berusaha dengan kemampuan sendiri guna menghidupi dan menjamin keberlangsungan pendidikan yang sedang dijalaninya dengan sedikit bantuan dari pemerintah.
Kita dapat lihat bagaiman lembaga yang menaungi dunia pendidkan masih tercecer di bawah berbagai lembaga atau kementrian sehingga terdapat perbedaan dalam visi perwujudan sumberdaya manusia yang diharapkan, tidak tersentralnya lembaga yang konsen di bidang pendidikan dalam ikhtiar membangun sumberdaya manusia yang berkualitas. Malahan banyak instansi pendidikan yang langsung di bawah naungan ormas.
Beruntung hanya beberapa ormas yang melakukan hal itu sebagai proses abdi cinta negara dan pendidikan dan dengan dana yang mandiri, bisa dibayangkan jika hampir seluruh ormas memiliki lembaga pendidikan dan tidak mandiri maka akan menjadi beban negara dari segi dana hibah dan malah memperumit lingkungan pendidikan dikarenakan memiliki kurikulum yang relatif berbeda.
Alih-alih dapat melahirkan generasi yang baik dari adanya pendidikan malah akan menjadi ajang pertunjukan siapa kuat dan siapa hebat dalam pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin memperuncing keadaan dinamika di tanah air.
Dari berbagai uraian permasalahan di atas yang merupakan permasalahan hasil warisan turun temurun yang hingga kini belum juga teratasi atau paling tidak sedikit demi sedikit terurai dapat kita lihat bahwa pemerintah masih gagap memahami kondisi pendidikan di indonesia dan pemerintah kurang cakap dalam memberikan berbagai stimulus untuk kemajuan dunia pendidikan yang tentunya tidak sama dengan bagian lain yang tata pelaksanaanya by proyek.
Maka potret pendidikan ini akan menjadi menarik tatkala pemerintah dan pihak-pihak terkait dapat mengilhami makna pendidikan yang berorientasi pada pembentukan paradigma berfikir dan bertindak bagi masyarakat indonesia, yang nantinya sebagai titik puncak adalah membangun suatu pondasi kebudayaan dalam membangun peradaban umat manusia yang berkualitas di indonesia.***