Penulis: Agnes Vebriani.SH
Penata Muda /III.a
Swakarya.com-Persoalan hukum pidana mati atau hukuman mati yang bersifat merenggut nyawa seseorang masih menimbulkan diskursus perdebatan yang tiada henti antara para pihak penegak hukum dan penegak hak asasi manusia. Hal ini disebabkan bila dilihat dari perspektif hukum pidana dan hak asasi manusia, hukuman mati bertujuan untuk memberikan efek jera terhadap pelanggar hukum akan tetapi di lain sisi hukuman mati juga melanggar hak manusia untuk hidup dari seseorang.
Sebagai negara hukum, Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati bagi terpidana pada kasus-kasus tertentu. Setidaknya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan terdapat 31 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Tanah Air pada Oktober 2021 hingga September 2022. Tercatat Kasus narkotika masih mendominasi vonis hukuman mati, dengan mencapai 23 orang, disusul dengan masing-masing empat kasus untuk pembunuhan dan pemerkosaan.
Hukuman mati merupakan bentuk sanksi tertinggi dan khusus yang sifatnya merenggut nyawa seseorang sekaligus wujud keadilan yang tertinggi sehingga tidak berat sebelah antarpihak korban dan pelaku, namun di lain sisi hukuman mati bagi sebagian orang dianggap melanggar hak asasi manusia karena merampas hak untuk hidup dari seseorang. Tujuan dari hukuman mati sebetulnya adalah upaya untuk mewujudukan keadilan yang tertinggi di tengah masyarakat. Dalam Islam sendiri hukuman mati sudah diatur yakni dikenal dengan hukuman qishas (setimpal) yang singkatnya dapat dikatakan nyawa dibayar nyawa.
Pihak yang setuju terhadap pelaksanaan hukuman mati beranggapan bahwa sudah selayaknya hukuman mati diberikan kepada kejahatan yang mengancam hak untuk hidup orang lain. Dimana rasa keadilan bahwa hak untuk hidup dari pelaku kejahatan pembunuhan berencana, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, terorisme dan pengedar narkotika itu harus dihapuskan dengan mengabaikan hak hidup korban dari kejahatan mereka?.
Kelompok yang pro terhadap hukuman mati beranggapan bahwa isu HAM tetap mempunyai batasan yaitu HAM orang lain. Hal mendasar adalah bahwa antara HAM dengan kewajiban asasi manusia itu seharusnya sama. Ketentuan dalam hukum positif kita bahwa seseorang tidak bisa dipidana sebelum ada aturannya, sementara aturan saat ini diatur sampai hukuman mati, dalam kasus-kasus tertentu diatur maksimal hukuman mati karena saat ini masih berlaku dan sah.
Sementara itu, menurut kelompok yang menolak hukuman mati, didasarkan pada alasan beberapa alasaan yang pertama yakni bahwa hukuman mati itu bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh pasal 28A ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Hukuman mati juga dianggap pengingkaran terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun seperti termuat dalam pasal 28I ayat (1) UUD 1945 bahwa “Hak untuk hidup, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Mengingat hak hidup merupakan hak asasi manusia, maka perampasan nyawa orang lain berupa pembunuhan dalam bentuk penjatuhan hukuman mati adalah pelanggaran HAM.
Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005 dalam Pasal 6 ayat (1) yang menegaskan hak hidup adalah suatu hak yang melekat kepada setiap individu, tanpa memandang perbedaan status kewarganegaraan.
Kedua, hukuman mati merupakan salah satu bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Hukum internasional hak asasi manusia, termasuk juga yurisprudensi pengadilan di beberapa negara dan kawasan telah menegaskan bahwa praktik eksekusi hukuman mati merupakan suatu tindakan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat seseorang. Ketiga, rapuhnya sistem peradilan pidana, sehingga sangat terbuka peluang kesalahan penghukuman. Dalam banyak kasus, termasuk di Indonesia, kesalahan penghukuman (wrongful conviction) menjadi sesuatu yang seringkali tak terhindarkan dalam praktik hukum pidana.
Keempat, tidak sejalan dengan arah pembaruan hukum pidana. Pemberlakuan pidana mati cenderung menekankan aspek balas dendam (retributive). Padahal di sisi lain, paradigma dalam tatanan hukum pidana telah mengalami perubahan ke arah keadilan restoratif (restorative justice). Kelima, Menurut pandangan konvensional, hukuman mati dianggap perlu untuk mencegah seseorang agar tidak melakukan kejahatan.
Sebaliknya, survei komprehensif yang dilakukan oleh PBB, pada 1988 dan 1996, menemukan fakta tiadanya bukti ilmiah yang menunjukan bahwa eksekusi hukuman mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup.
Keenam, penderitaan mendalam yang dialami keluarga korban akibat eksekusi. Penderitaan yang dialami dalam pemberian hukuman mati tidak hanya dialami korban atau orang yang dieksekusi semata (terpidana), tetapi juga oleh keluarganya (co-victims).
Penderitaan tersebut terjadi dalam beberapa tahapan, mulai dari shock, emosi, depresi dan kesepian, gejala fisik distress, panik, bersalah, permusuhan dan kebencian, ketidakmampuan untuk kembali ke kegiatan biasa, harapan, dan penegasan realitas baru mereka.
Ketujuh, kecenderungan internasional yang semakin meninggalkan praktik hukuman mati. Laporan Amnesty International menyebutkan, sampai dengan April 2015, sedikitnya 140 negara telah menerapkan kebijakan abolisionis terhadap hukuman mati, baik secara hukum (de jure) maupun secara praktik (de facto).
Sedangkan yang masih menerapkan dan menjalankan praktik hukuman mati, tinggal 55 negara salah satunya adalah Indonesia.
Disamping perdebatan pro dan kontra di atas terhadap pelaksanaan hukuman mati. Sudah semestinya perlu menjadi perhatian juga bahwa terpidana hukuman mati juga seorang manusia yang melekat hak-hak lainnya sebagai makhluk tuhan yang maha esa.
Ada hak-hak dari terpidana hukuman mati yang harus tetap dilindungi dan dijaga agar dapat terpenuhi sebelum dieksekusi. Disinilah tugas dari Pembimbing Kemasyarakan (PK) guna memberikan pembimbingan kepada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) hukuman mati agar mendapatkan perlakuan yang tepat dan menjamin keamanan baik bagi WBP yang bersangkutan, WBP lainnya dan keamanan Lapas pada umumnya.***