Oleh: Deby Ramadhani/ Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Bangka Belitung
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, ODGJ merupakan orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Dalam pengertian tersebut, ada 3 (tiga) gangguan yang dialami yaitu pikiran, perilaku dan perasaaan, secara umum dikatakan mengalami gangguan jiwa.
Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga pertengahan Tahun 2020, ada 277 ribu kasus gangguan kesehatan jiwa di Indonesia. Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2019 yang hanya 197 ribu orang.
Di Indonesia orang dengan gangguan jiwa masih dianggap sebagai sebuah aib. Stigmatisasi pada ODGJ sudah berkembang sepanjang sejarah manusia. Stigmatiasi sering menghasilkan prasangka, ketidakpercayaan, stereotip, takut, malu, marah dan isolasi sosial.
Stigmatisasi juga dapat menghambat ODGJ (terutama pada penderita skizofrenia) dalam berhubungan dan bekerjasama dengan lingkungan sosial mereka (Purnama, Yani dan Sutini, 2016). Sebagaimana yang dikatakan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kementerian Kesehatan Siti Khalimah bahwa kurangnya informasi dan akses yang diberikan kepada masyarakat membuat gangguan jiwa dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan. Beberapa keluarga pada akhirnya memilih untuk diam, menyembunyikan, dan bahkan melakukan pemasungan. Tidak sedikit juga ODGJ yang pada akhirnya dibiarkan berkeliaran di jalan karena membuat malu keluarga.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes, Siti Khalimah mengungkapkan selama 2020 terdapat peningkatan kasus pasung akibat gangguan jiwa sebanyak 6.200 kasus. Jumlah ini mengalami peningkatkan jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang hanya 5.200 kasus. Fenomena tersebut terjadi karena besarnya stigma dan juga diskriminasi yang berkembang di masyarakat. Bukan hanya ODGJ nya saja yang tidak dianggap oleh masyarakat tetapi keluarganya pun akan dikucilkan oleh lingkungan sekitarnya. Stigma yang dialami oleh anggota keluarga berdampak negatif terhadap kesembuhan ODGJ karena menyebabkan sedih, kasihan, malu, kaget, jengkel, merasa terpukul, dan tidak tenang, saling menyalahkan (Subandi & Utami, 1996) yang tentunya akan memengaruhi kualitas pengobatan yang akan diberikan kepada ODGJ.
Berbagai upayapun telah dilakukan oleh pemerintah untuk membantu ODGJ, salah satunya dengan menyediakan fasilitas kesehatan jiwa. Selain itu pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Pemasungan pada Orang Dengan Gangguan Jiwa.
Selain pemerintah, media sosial juga dapat berperan dalam mengubah stigma negatif tentang ODGJ. Banyak cara bisa dilakukan untuk menyebarkan informasi anti-stigma. Media media massa merupakan alat penting yang sangat efektif dalam penyebaran informasi antistigma.
Düsseldorf Center di Jerman dalam studinya melaporkan bahwa media massa memiliki pengaruh besar dalam membangun sikap penerimaan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa di lingkungan sosial mereka (Florez og Sartorius, 2008). YouTube merupakan salah satu media yang dapat membangun perspektif publik tentang ODGJ melalui konten yang dibuat. Cara yang dapat dilakukan adalah membuat konten informasi terkait ODGJ menjadi lebih positif.
Channel YouTube dengan nama Riantv merupakan salah satu channel YouTube besar yang telah memiliki 4,12 Juta Subscriber yang mengangkat tentang berbagai kisah ODGJ. Lewat Youtube, ia berusaha mengubah perspektif masyarakat agar memiliki pandangan bahwa ODGJ perlu mendapatkan perhatian.
Rian Kiswanto sebagai pemilik Channel YouTube Riantv sering membuat konten tentang bagaimana cara ia berdialog dengan ODGJ yang terlantar di jalanan, memberi makan ODGJ, dan bahkan berkat Channel YouTubenya ia bisa mempertemukan ODGJ yang terlantar di jalanan kepada keluarganya kembali. Bagi ODGJ yang tidak diterima oleh keluarganya Riantv mengantarkan ODGJ yang ia temui untuk tinggal di panti agar tidak menggelandang lagi di jalan.
Selain Channel Riantv ada pula Channel YouTube bernama Pratiwi Noviyanthi dengan jumlah subscriber mencapai 676 ribu yang juga kerap membuat konten sosial tentang orang dengan gangguan jiwa terutama mereka yang dibiarkan terlantar di jalanan, bahkan ada ODGJ yang ia urus sendiri di rumahnya dan diberlakukan dengan baik sebagaimana manusia pada umumnya sampai dengan sembuh.
Kedua Youtuber ini sukses mengubah pandangan subscribernya mengenai ODGJ sebagai sosok yang menakutkan menjadi sosok yang perlu diperhatikan dan diperdulikan. Berbagai respon positif pun berdatangan dari para subcribernya setiap kali keduanya meng-upload tentang ODGJ yang ia bantu di jalanan. Hal ini menunjukkan bahwa selain peran negara dan masyarakat, media seperti YouTube mempunyai peran yang besar dalam mengubah stigma negatif tentang ODGJ.
Penulis berharap kedepannya akan semakin banyak orang yang peduli terhadap ODGJ. Walaupun tidak dipungkiri bahwa ada sebagian kecil ODGJ yang melakukan kekerasan apabila tidak menerima perawatan yang tepat sehingga keluarga memilih untuk melakukan pemasungan agar tidak mencelakai orang lain. Namun kenyataanya tindakan tersebut justru membuat tingkat gangguan ODGJ semakin parah. Saat ODGJ kambuh dan melakukan kekerasan inilah yang menjadi awal stigma negatif itu muncul kepada mereka.
Penulis berharap kedepannya akan semakin berkurang stigma negatif tentang ODGJ. Perlakukan ODGJ sama seperti kita jangan dikucilkan apalagi memberikan label gila kepada mereka. Perlakukan mereka dengan hormat dan jangan pernah menganggap mereka sebagai sebuah aib. Tidak semua ODGJ itu meresahkan, mereka hanya perlu dikasihi dan diberi perhatian lebih.