Jakarta, Swakarya.Com. Setahun terakhir, setiap 1 Maret, bangsa Indonesia memperingati Hari Penegakan Kedaulatan Negara (HPKN).
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistyono mengatakan, peringatan HPKN tidak lepas dari prestasi dan performa pemerintah Indonesia pada masa perang kemerdekaan, itu sudah menunjukkan suatu hasil yang sangat gemilang.
HPKN dihelat berdasarkan Keppres No. 2 Tahun 2022 Tentang Penetapan 1 Maret Sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
“Peringatan tersebut terkait dengan Serangan Umum 1 Maret 1949, yang merupakan upaya dari pemerintah saat itu, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih eksis dan berhasil membuat kejutan terhadap Belanda,” tutur Singgih yang juga Ketua DPP LDII.
Meskipun para pejuang menduduki Yogyakarta hanya beberapa jam saja, sebab tujuan utama serangan kilat itu, untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia merupakan negara yang merdeka dan berdaulat.
“Tidak mau lagi dijajah oleh Belanda ataupun kekuatan asing lainnya. Alhamdulillah Indonesia dapat menunjukkan pada Belanda dan dunia. Atas tekanan PBB, akhirnya Belanda mau berunding lagi dan pada tahun 1949 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia,” papar Singgih.
Namun sejarawan maritim itu mengingatkan situasi dunia yang sangat dinamis. Bukan berarti tantangan untuk menegakkan kedaulatan nasional tidak diperlukan lagi.
“Dan bahkan di dalam perjalanan sejarah, terkait kedaulatan, kita selalu bersinggungan dengan negara-negara tetangga yang berbatasan,” pungkasnya.
Dengan Malaysia misalnya, Indonesia kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan. Lalu dengan pemerintah Australia, yang kerap menangkap nelayan Indonesia karena dianggap melanggar batas. Demikian juga masalah Laut Cina Selatan yang sebetulnya bagi Indonesia persoalannya sudah selesai. Indonesia telah mematuhi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang mengatur batas teritorial laut, kemudian Zona Ekonomi Eksklusif maupun landas kontinennya.
Sementera pemerintah Cina menggunakan standar sendiri dan tidak mengakui UNCLOS. Untuk itu, Indonesia harus tetap bersikukuh untuk mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Pemerintah punya amanah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, artinya wilayah kedaulatan Indonesia harus dipertahankan.
“Untuk mempertahankan wilayahnya, tentu dengan cara-cara yang beradab, melakukan perundingan atau lobi dengan melibatkan negara-negara yang terlibat di situ. Melibatkan PBB dan sebagainya, tidak mengedepankan kekuatan senjata yang mencerminkan kebiadaban sebuah bangsa,” tutup Singgih yang meraih gelar doktor sejarah dari Universitas Leiden, Belanda.
Tantangan dari Dalam Negeri
Selain menyaksikan tekanan Cina terhadap negara-negara di Asia Tenggara terkait Laut Cina Selatan, menurut Singgih yang juga Ketua DPW LDII Provinsi Jawa Tengah, tantangan dalam negeri tak kalah seriusnya. Persoalan ideologi masih menjadi tantangan, meskipun era Perang Dingin telah berlalu.
Ia menegaskan, terkait persoalan ideologi, seluruh elemen bangsa harus menyadari Indonesia lahir dari konsensus ataupun kesepakatan.
“Kita punya empat konsensus yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Kalau kita masih komitmen, maka persoalannya sudah bisa dikatakan selesai,” ujarnya.
Dengan demikian ideologi komunisme yang bertentangan dengan Pancasila harus minggir dari Indonesia. Demikian juga radikalisme dan fundamentalisme agama, yang ingin mengubah ideologi Pancasila dan NKRI ini juga harus minggir dari Indonesia.
Bangsa Indonesia telah berkomitmen menjadikan NKRI sebagai rumah bersama, sebagai surga bersama, dasarnya adalah kesepakatan-kesepakatan yang sudah disepakati oleh Founding Father.
“Jangan sampai ada elemen-elemen yang menghianati kesepakatan itu, karena penghianatan terhadap komitmen dan konsensus tentu akan menimbulkan kegaduhan dan tidak mustahil akan menimbulkan konflik dan kekerasan,” tegas Singgih.