Denny JA Tentang Masa Depan Kebebasan (18) Musim Bunga Untuk Dunia Muslim

  • Tahap Awal: Demokrasi Yang Tidak Liberal

Swakarya.com. Kapankah datang era itu? Kapankah tiba musim bunga untuk Dunia Muslim. Yaitu era ketika secara bertahap mayoritas Dunia Muslim hijrah mengambil jalan demokrasi dan kebebasan secara bertahap.

Data per- hari ini (2020), dapat diakses 50 negara yang mayoritas penduduknya Muslim (penganut agama Islam di negara itu di atas 50 persen). Sekitar 64 persen (32 negara dari 50 negara Muslim) hidup dalam politik yang paling terkebelakang: sistem politik otoriter.

Sekitar 30 persen (15 negara dari 50 negara Muslim) ada di Hybrid Regimes. Ini sistem campuran antara politik otoriter dan politik demokrasi.

Hanya 6 persen (3 negara dari 50 negara Muslim) yang sudah berevolusi menuju demokrasi setengah matang (Flawed Democracy). Namun NOL persen, tak ada satupun negara Muslim yang sudah berada di level demokrasi yang matang (Full Democracy).

Kapankah dunia menyaksikan gelombang besar 50 negara Muslim itu serentak hijrah? Yang otoriter berbondong-bondong menuju sistem politik campuran? Yang sistem politik campuran secara rombongan menuju demokrasi setengah matang? Yang demokrasi setengah matang berjalan sampai kepada demokrasi penuh?

Akankah terjadi revolusi di kawasan muslim itu, hijrah massal secara setentak? Ataukah perubahan di kawasan ini terjadi perlahan saja dan terpisah antara satu negara Muslim dengan negara Muslim lain?

Hijrah massal lebih dari dua puluh negara bukan hal yang asing. Dua puluh tahun lalu, dunia pernah menyaksikan hijrah massal di kawasan Blok Negara Komunisme. Di tahun 1989 hingga kini, terjadi Musim Gugur Blok Sovyet dan Eropa Timur.

Sovyet negara raksasa saat itu pecah menjadi banyak negara baru independen yang lebih kecil: Rusia, Armenia, Alzerbaijan, Belarus, Georgia, Kazakhtan, Kyrgyztan, Moldova, Tajikistan, Turkmeknistan, Ukraine, Uzbekhistan, Estonia, Latvia, Lithuania). Satu negara raksasa pecah menjadi 15 negara baru.

Dari blok komunisme yang sama, Yugoslavia pecah menjadi lima negara baru: Bosnia, Hergezovina, Croatia, Macedonia, Slovania. Chezekoslavakia pecah juga menjadi dua negara: Chech Republik dan Slovakia.

Musim gugur juga melanda blok komunisme Eropa Timur. Aneka negara di sana bergolak. Antara lain: Polandia, Hongaria, Rumania, Bulgaria, Jerman Timur, Mongolia, Albania. Tujuh negara Eropa Timur ini bergegas meninggalkan sistem politik dan ekonomi lama: Komunisme.

Satu hentakan dimulai tahun 1989, sekitar 29 negara di kawasan Uni Sovyet dan Eropa Timur bergolak. Musim gugur menimpa 29 negara itu, dan serentak secara bertahap menuju jalan demokrasi dan kebebasan.

Mengapa disebut secara bertahap? Resistensi atas sistem politik demokrasi apalagi kultur kebebasan tetap kuat bergolak pada 29 negara itu. Penjaga status quo yang menginginkan sistem lama komunisme masih bercokol.

Index Demokrasi tahun 2019 juga mencatat 29 negara itu tidak seragam hijrahnya. Tak ada satupun dari 29 negara ex komunisme itu yang sudah sampai pada tahap Full Democracy. Negara Estonia, Chech Republik, Slovenia, Lithuania, Latvia, Slovakia, dan Bulgaria lebih dahulu tiba berevolusi sampai pada level demokrasi setengah matang (Flawed Democracy).

Negara lainnya, termasuk Rusia, masih berada pada sistem politik campuran dan otoriter.

Begitulah evolusi pertumbuhan dan perubahan sistem sebuah negara. Perubahan sistemik berjalan lambat dan bertahap. Dalam wacana, dapat dipekikkan revolusi: lompatan seketika. Namun di dunia nyata, realitas membutuhkan adaptasi, penyesuaian, yang berjalan pelan.

Apa yang menybabkan musim gugur pada blok komunisme? Mengapa sebagian blok ini akhirnya hijrah massal memeluk jalan demokrasi dan kebebasan?

Banyak riset sudah mengeksplorasi hal itu. Ekonomi Komunisme gagal membuahkan janji. Kesejahteraan dan pemerataan ekonomi tak bisa diatur lagi oleh ekonomi dengan sistem komando. Pasar ekonomi semakin kompleks untuk disentralisasi oleh politbiro politik dan birokrasi pemerintah.

Sementara biaya persaingan militer terlalu tinggi. Negara terlalu banyak menghabiskan sumber daya menciptakan alat perang yang canggih. Dana untuk investasi usaha dan kesejahteraan rakyat tergerus.

Dunia semakin pula terbuka. Persaingan blok barat dan blok komunisme menunjukkan hasil yang semakin terbuka. Jerman Barat yang berada di blok barat, dan Jerman Timur yang berada di blok Timur, semakin jomplang pertumbuhannya.

Jerman Barat semakin meninggalkan Jerman Timur untuk aneka pencapain ekonomi. Padahal sebelumnya, Jerman Barat dan Timur berasal dari Ibu Jerman yang satu. Ekonomi negara itu awalnya kurang lebih setara.

Gorbachev juga menjadi faktor. Ia tak menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasinya di Uni Sovyet dan Eropa Timur. Ia bahkan ikut memulai reformasi di kawasan itu.

Gorbachev memperkenalkan kebijakan Peresteroika (Restukturisasi, Reformasi, Perubahan). Ia juga mengkampanyekan Glasnost (keterbukaan, transparansi).

Rakyat di Eropa Timur dan Uni Sovyet terlalu lama hidup sebagai api dalam sekam. Ketika pintu terbuka, kemarahan dan protes rakyat menjadi air bah. Arah perubahan itu bahkan tak bisa dikendalikan oleh Gorbachev sendiri.

Musim gugur dan hijrah massal menuju demokrasi pernah terjadi menimpa 29 negara blok komunisme. Bagaimana dengan kawasan Muslim? Musim bunga dan hijrah massal menuju demokrasi plus kebebasan dapat pula terjadi pada 50 negara muslim. Why Not?

-000-

Jika datang masa itu, musim bunga di kawasan Muslim, tentu memerlukan peta jalan. Hijrah massal sebuah kawasan pastilah terjadi secara bertahap pula.

Terminal pertama yang akan dicapai oleh hijrah massal dunia muslim adalah Demokrasi minus liberalisme. Ialah sistem politik dan ekonomi yang melaksanakan pemilu, tapi dengan sistem kebebasan terbatas.

Kultur kebebasan, yang sepenuhnya menjamin hak asasi manusia, tentu tak bisa diharap langsung tumbuh di kawasan ini. Demokrasi minus liberalisme adalah titik kompromi awal Dunia Muslim dan dunia Barat.

Misalnya, hak kaum LGBT untuk menikah dan disahkan negara. Kultur liberal ini tentu sulit diharap disahkan oleh negara Muslim. Setidaknya itu tak akan terjadi pada tahap awal hijrah menuju demokrasi pada dekade 2020.

Survei opini publik yang dibuat untuk populasi Dunia Muslim mendukung lahirnya demokrasi minus liberalisme. Kita bisa melihat data di bawah ini.

Pew Research Center di tahun 2012 menyelenggarakan survei di enam negara Muslim: Mesir, Jordan, Lebanon, Pakistan, Tunisia dan Turki. Kepada responden yang mewakili secara random populasi negara itu dieksplorasi. Apakah sistem politik demokrasi menjadi pilihan?

Di Jordania, Turki, Mesir dan Tunisia, mayoritas respon di atas 50 persen memilih demokrasi. Prosentasenya sekitar 61 persen hingga 84 persen. Di Pakistan yang memilih demokrasi sebesar 42 persen. Tapi demokrasi tetap menjadi pilihan tertinggi di Pakistan dibandingkan sistem politik lainnya.

Ketika dieksplorasi apakah sistem politik demokrasi lebih penting dibandingkan sistem politik lain dengan hadirnya pemimpin yang kuat, strong leader? Kembali mayoritas responden di negara itu memilih politik demokrasi. Hanya di Pakistan, responden lebih banyak memilih pemimpin yang kuat di atas demokrasi.

Megapa demokrasi dipilih? Jawaban responden beragam, mulai dari demokrasi memajukan ekonomi, hingga rakyat sendiri yang memilih pemimpin. Mulai dari demokrasi menjamin kebebasan berbicara, menjamin kebebasan agama, hingga media tidak disensor. Termasuk yang disukai dari demokrasi adalah tumbuhnya kultur persamaan hak pria dan wanita.

Info lain dari Gallup Poll. Lembaga ini di tahun 2006 melakukan survei di 10 negara Muslim, yang populasi Muslimnya di atas 80 persen. Antara lain: Indonesia, Iran, Jordania, Maroko, Bangladesh, Pakistan, Turki, Lebanon, Mesir dan Arab Saudi.

Ditanyakan apakah kebebasan berbicara bagi warga negara itu penting? Di atas 82 persen populasi di negara itu menyatakan penting.

Ditanya pula apakah ulama harus memainkan perang langsung atau tak langsung dalam pemerintahan? Mayoritas menjawab, peran ulama sebaiknya tidak langsung dalam pemerintahan. Prosentasenya beragam mulai dari 50 persen (Jordania) hingga 85 persen (Lebanon).

Dua isu di atas sangat penting untuk politik demokrasi. Kebebasan berbicara dan mengeritik pemerintahan menjadi syarat membatasi kesewenangan pemerintah. Peran ulama yang tak langsung pada pemerintahan itu juga fondasi memisahkan wilayah agama, dan wilayah negara.

Bagaimana dengan budaya liberal yang sepenuhnya menjamin hak asasi manusia? Bisakah Negara Muslim menerima? Hingga tahun 2020, budaya liberal yang bisa diterima dunia muslim masih terbatas.

Kebebasan dalam arti yang lazim seperti kebebasan bicara, beroganisasi, beribadah bagi pemeluk agama lain, bisa diterima. Tapi kebebasan paling baru seperti hak menikah kaum LGBT belum saatnya.

PEW Research Center mempublikasi survei di tahun 2013. Survei ini berlangsung pada 39 negara. Ingin dilihat dalam survei itu antara lain dukungan Muslim atas kultur liberal. Sebanyak 39 negara itu tersebar di aneka wilayah mulai dari Asia, Afrika dan Eropa.

Ketika ditanya apakah mereka menerima homoseks? Apakah homoseks itu salah secara moral? Mayoritas Muslim di wilayah itu, mulai dari 79 persen hingga 95 persen menyatakan homoseksual itu salah. Pemerintah di negara yang mayoritasnya Muslim tak bisa dipaksa melegalkan pernikahan LGBT, misalnya, jika penentangan masyarakatnya terlalu besar.

Di tahap ini, memang bentuk demokrasi yang paling mungkin tumbuh di negara muslim adalah ileberal democracy. Demoktasi minus kultur liberal.

Apakah seterusnya seperti ini? Apakah seterusnya di Dunia Muslim demokrasi hanya tumbuh dalam bentuk Iliberal Democracy?

Terbang dengan kacamata burung, melihat sejarah 5000 tahun peradaban, tak ada sejengkal tanahpun yang tidak berubah. Tak ada satu wilayahpun dalam umur 5000 tahun kontrak mati hanya memeluk satu sistem politik, ekonomi dan kultur tertentu saja.

Iliberal Democracry, Demokrasi minus kebebasan, Demokrasi minus hak asasi yang penuh, hanyalah terminal pertama hijrah Dunia muslim. Masih terbuka terminal lainnya.

Serial esai ini justru mulai dengan asumsi yang provokatif. Pada waktunya, Demoktasi plus hak asasi manusia yang penuh, demokrasi liberal juga sampai di kawasan Muslim. Terutama di negara yang kelas menengahnya kuat. Civil societynya tumbuh. Penerimaan dana negara banyak bersumber dari pajak swasta. Ekspose pada dunia internet, peradaban global, tinggi.

Pada bebrapa negara Muslim dengan karakter di atas, demokrasi plus kebebasan akan tumbuh dalam dekade mendatang. Tapi di dekade ini, Iliberal democracy, demokrasi minus kebebasan dibutuhkan sebagai terminal awal. ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait