- Kasus Afrika dan Asia
*Esai ini mengedit seperlunya tulisan yang dimuat di FB Esoterika-Islamika, Yang Diasuh AE Priyono*
Swakarya.Com. Banyak negara di Asia, Afrika, juga Amerika Latin, mengambil jalan demokrasi. Para elit di kawasan itu bereksperimen, walau mereka datang dari latar belakang sejarah dan kultur yang berbeda dibandingkan Eropa dan Amerika Serikat.
Namun yang tumbuh di kawasan itu bukanlah liberal demokrasi. Yang subur di sana justru iliberal demokrasi. Ini jenis demokrasi minus atau tanpa kebebasan. Ujungnya, wilayah ini malah melahirkan diktator jenis baru.
Sebelum tahun 2003, 42 dari 48 negara Afrika Sub Sahara menyelenggarakan pemilihan umum multi partai. Semula pengalaman ini diharap bisa menciptakan perubahan baru. Segera ditinggalkan reputasi aneka negara itu dengan despotismenya yang terkenal keji dan sangat korup.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Buah yang datang aneka kegagalan transisi menuju demokrasi yang penuh. Kegagalan ekonomi Afrika menjadi faktor utama penyebab gagalnya eksperimen pemilihan multi partai. Yang tercipta justru kekacauan sipil. Yaitu situasi negara tanpa hukum.
Buah dari pembaharuan politik itu justru merusak prinsip pemerintahan yang kuat dan efektif.
Transisi demokrasi di Afrika terbukti hanya lumayan berhasil di negeri yang pendapatan per kapitanya tinggi. Dari sekian puluh negeri Afrika, hanya Afrika Selatan dan Bostwana yang mampu menempuh transisi demokrasi dengan mulus. Afrika Selatan memiliki pendapatan per kapita $ 8.500. Sementara Bostwana $ 6.600 ketika mengawali proses demokratisasi.
Di banyak wilayah Afrika, di luar Afrika Selatan dan Bostwana, para elit dan cerdik pandai mulai mengembangkan opini yang mendelegitimasi demokrasi. Yang sesungguhnya lebih dibutuhkan Afrika adalah pemerintahan yang efektif. Bukan demokrasi.
Di Asia Tengah, variasi demokrasi illiberalnya sangat bervariasi.
Bahkan setelah pemilu diselenggarakan secara bebas dan jujur, seperti di Kyrgistan, hasilnya adalah kombinasi yang buruk. Yaitu eksekutif yang kuat, parlemen dan judikatif yang lemah, serta kebebasan sipil dan ekonomi yang terbatas.
Sebelum tahun 2003, pemerintahan negara di Asia Tengah itu, pasca Soviet, malah berjalan tanpa pemilu. Para otokratnya ternyata aman-aman saja. Bahkan mereka makin mendapatkan dukungan popular. Contohnya Azerbaijan dan Georgia.
Di Azerbaijan, Gaidar Aliyev tidak punya kesabaran demokratik. Aliyev mantan Ketua KGB dan mantan anggota politbiro Partai Komunis. Setelah Uni Soviet runtuh, ia kembali pulang kampung ke Azerbaijan.
Pembaharuan politik, lepas dari komunisme, dilakukan di sana. Tapi Aliyev menghendaki hasil yang segera: pembaharuan politik yang menumbuhkan ekonomi.
Karena tak sabar dengan hasil jangka panjang perubahan, Ia melakukan kudeta pada 1993. Padahal, tanpa kudeta, dia sebenarnya memiliki banyak mendukung untuk menjadi penguasa Azerbaijan.
Sebelum tahun 2003, di Georgia, pahlawan besar Uni Soviet, Edward Shevardnadze, tidak bisa melakukan apa-apa di kampungnya sendiri. Shevardnadze adalah Menteri Luar Negeri Uni Soviet pada masa pemerintahan Michael Gorbachev. Sebagaimana Gorbachev, Edward Shevardnadze dikenal reformis.
Setelah Uni Soviet bubar, dia juga pulang kampung ke Georgia, membantu mempersiapkan pemilu. Ia sendiri tidak mengikuti kontestasi. Meski seandainya ikut, dialah yang diperkirakan memenangkan suara terbanyak.
Sebagai politikus piawai dan pahlawan yang berhasil menyelamatkan Uni Soviet dari Perang Dingin, ternyata Ia tidak bisa banyak berbuat. Pasca lepas dari Uni Sovyet, sebelum 2003, Edward Shevardnadze merasa gagal menanggulangi korupsi yang meluas di negerinya sendiri.
Bukan demokrasi dengn kebebasan yang berhasil diciptakan di sana. Sebelum 2003, pembaruan politik justru berujung pada pemerintahan yang lemah dan korup.
Demokrasi Illiberal, demokrasi tanpa kebebasan, memiliki banyak sekali variasi. Jumlahnya makin membengkak selama dekade terakhir abad ke-20.
Salah satu ciri demokrasi illiberal karakternya campur aduk antara demokrasi dan otoritarianisme. Pertumbuhan demokrasi illiberal yang berlangsung antara 1990 hingga 1997 menunjukkan jumlah yang terus meningkat.
Pada 1990, hanya 22% dari seluruh dunia bisa dikategorikan sebagai demokrasi illiberal: demokrasi tanpa kebebasan. Pada tahun 1992, jumlahnya meningkat menjadi 35%. Pada 1997 meningkat lagi menjadi 50%.
Aneka negara yang sedang mengalami “demokratisasi” selama periode itu, sebenarnya sedang menuju demokrasi illiberal: demokrasi minus kebebasan.
Optimisme liberalisme konstitusional merupakan kondisi logis berikutnya bagi demokrasi illiberal adalah optimisme yang belum teruji.
Perubahan politik yang terjadi di aneka kawasan itu melahirkan jenis demokrasi setengah matang: Demokrasi Ileberal. Demokrasi minus kebebasan. Justru demokrasi minus kebebasan ini, walau ada pemilu, malah menghasilkan banyak diktator baru.
Setelah pemilu, tidak ada jaminan negeri yang menciptakan demokrasi illiberal, demokrasi minus kebebasan, bergerak ke arah reformasi menyeluruh sistem politik. Tak ada jaminan, demokrasi iliberal, demokrasi tanpa kebebasan, melahirkan pasar ekonomi bebas.
Fakta menunjukan lain. Hampir seluruh wilayah Asia Tengah, pemilu malah melahirkan aneka diktator baru. Di Afrika, pergerakan yang amat cepat menuju demokrasi malah membuat negara kehilangan otoritas. Ia menciptakan konflik etnis dan regional yang penuh kekacauan.
Memang diperlukan beberapa tahap menuju demokrasi yang otentik, demokrasi dengan kebebasan. Tapi di wilayah itu, Afrika dan Asia Tengah, tetap masih banyak praktek yang illiberal, yang memasung kebebasan. Yang tidak bisa dihilangkan.
Contoh praktek illiberal, demokrasi minus kebebasan, menjamur di mana-mana. Tak hanya di Afrika, dan Asia Tengah. Tapi juga berlangsung di Rusia, Amerika Latin, Eropa Timur, dan Asia Selatan.
Di Pakistan contohnya. Setelah Nawaz Sharif menggantikan Benazir Bhutto sebagai Perdana Menteri terpilih, dia dikudeta oleh Jenderal Parvez Musharraf. Fakta yang mengejutkan dari peristiwa itu bukanlah kudetanya itu sendir, tapi kelazimannya.
Rakyat Pakistan senang hidup belasan tahun tanpa demokrasi. Seperti di Rusia, demokrasi liberal juga nyaris menjadi cita cita yang mustahil dikembangkan di Pakistan. Di kedua negara itu, para otokrat menolak melakukan reformasi politik dan ekonomi menuju demokrasi plus kebebasan.
Di Rusia otokrat menentang oposisi dengan menggunakan kekuatan mafia bisnis. Di Pakistan, otokrat mematikan oposisi, dengan menggunakan sentimen Islam militan.
Sebuah esai pernah ditulis dan dimuat koran terkemuka Pakistan. Ia mengevaluasi pemerintahan demokratik Nawaz Sharif. Esai itu berjudul “Demokrasi Fasis: Merampok Kekuasaan, Membabat Oposisi.”
Esai itu menggambarkan pergantian kekuasaan politik di Pakistan selalu melibatkan kekerasan dan mengundang kekerasan berikutnya. Tak jarang, sentimen agama Islam dimainkan.
Apakah ini berarti demokrasi plus kebebasan tak bisa tumbuh di luar negara barat? Apakah demokrasi dengan kebebasan hanya cocok dengan sejarah dan kultur di Eropa dan Amerika Serikat?
Index demokrasi yang dibuat Economist Inteligence Unit tahun 2019 menunjukan data berbeda. Demokrasi plus kebebasan, yang disebut Full Democracy, dengan indeks score di atas 8, juga terjadi di luar Amerika Serikat dan Eropa Barat. Yaitu di negara Portugal, Costa Rica, Chili dan Uruguay.
Demokrasi plus kebebasan adalah bunga segala musim yang dapat tumbuh dimana saja. Hanya saja, bunga demokrasi dan kembang kebebasaan itu memerlukan prasyarat. Yaitu tercipta dulu kelas menengah yang kuat, civil society yang kokoh, dan elit politik yang berani mempertarungkannya.
(Bersambung)