- Kasus Rusia dan Amerika Latin
(Esai ini mengedit seperlunya tulisan asli di Facebook Esoterika- Islamika, yang diasuh AE Priyono)
Swakarya.Com. Revolusi memakan anaknya sendiri. Dan reformasi menelan janjinya. Demikianlah kearifan yang lahir dari begitu banyak pergolakan politik.
Cita- cita sosial yang dibangkitkan bersama, melawan tirani, mengikrarkan kebebasan, kemakmuran, keadilan, melibatkan massa, media, menasbih seorang pemimpin, kadang bahkan belimbah darah, pada waktunya layu kembali.
Tanpa didukung oleh infrastuktur politik dan ekonomi yang memadai, cita cita demokrasi dan kebebasan itu ibarat bunga yang dicangkokkan pada besi.
Lihatlah Rusia dan Amerika Latin.
Di sepanjang sejarah rezim komunis, Uni Soviet memang tidak pernah menggantungkan diri pada pajak. Rusia memiliki seluruh kekayaan ekonomi. Negeri ini tidak pernah risau dengan persoalan pajak.
Ini yang menjelaskan mengapa sektor manufakturnya tak terurus, setidaknya hingga 1970an. Mereka lebih suka menjual bahan mentah daripada repot-repot mengolahnya. Sumber alam menjadi andalan ekonomi.
Karena itu, tidak seperti Korea dan Taiwan, Rusia tidak pernah menciptakan kebijakan atau aturan untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Jika negara kaya lainnya seperti Arab Saudi lebih suka menyogok rakyatnya agar tidak memberontak, maka Rusia memilih untuk meneror rakyat.
Sebaliknya Moscow lebih suka bikin industri berat untuk memperkuat militer. Untuk mempertahankan kesetiaan berbagai negara komunis di seluruh dunia, Rusia mengekspor beragam alat pertahanan. Ini memang kebijakan yang dipengaruhi oleh situsi Perang Dingin ketika itu.
Ketika Komunisme remuk, Gorbachev membawa perubahan zaman. Terkesan demokrasi dan kebebasan segera tiba. Dunia heboh menyambut pergantian zaman. Rakyat bergolak dan berpesta di Rusia hingga Eropa Timur.
Tapi apa yang Gorbachev punya? Ia memang mewarisi negara yang kuat. Tapi kuat dalam tradisi komunisme adalah kuat untuk meneror rakyat. Bukan kuat dalam pengertian menumbuhkan perekonomian modern, demokrasi dan kebebasan.
Tak ada tradisi panjang dalam sistem ekonomi politik wilayah itu untuk menopang agar demokrasi dan kebebasan tumbuh dan berumur panjang.
Tanpa tanah yang cocok, dan iklim yang mendukung, seindah apapun itu bunga, ia akan layu. Maka layu pula spirit kebebasan dan demokrasi yang seolah akan tumbuh setelah Gorbachev.
Pengganti Gorbachev, Yeltsin, memiliki para pendukung yang membujuknya agar ia tidak menjalankan pemerintahan otokratik. Yeltsin di masa awal seolah lebih maju soal kebebasan dan demokrasi.
Tapi Rusia tak memiliki kelas menengah yang kuat. Rusia tak memiliki civil society yang kokoh. Tak ada infrastruktur politik dan ekonomi yang perkasa untuk mempertahankan cita cita kebebasan dan demokrasi.
Apalagi Yeltsin ternyata datang dari karakter yang berbeda. Makin tua ia malah makin suka mabuk-mabukan. Ia menjalankan pemerintahan yang ngawur. Dengan kekuasaannya selaku Presiden; Ia bikin kepres macam-macam, lalu sakit-sakitan.
Yeltsin akhirnya menjadi problem politik Rusia. Ia menjadi problem di saat seharusnya ia menjadi solusi.
Rusia pasca Komunisme adalah Rusia tanpa politik, karena negeri itu tidak memiliki partai.
Sebagai Presiden, Yeltsin pemain individual yang besar kepala dan terlalu yakin diri. Secara aktif berbagai kebijakannnya membuat hampir semua lembaga kekuasaan negara jadi lemah: parlemen, pengadilan, dan kepala-kepala pemerintahan daerah.
Konstitusi yang diusulkannya pada 1993 makin membuat situasi kacau. Dengan konstitisi baru itu, ia menciptakan parlemen lemah. Ia membuat lembaga pengadilan begitu tergantung. Ia ciptakan lembaga kepresidenan tanpa kontrol.
Salah satu penyebab salah urus itu karena ia tidak memperkenankan berdirinya berbagai partai politik untuk check and balances.
Mengutip sejarawan Amerika, Clinton Rossiter, “tidak ada Amerika tanpa demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa politik. Dan tidak ada politik tanpa partai politik.”
Inilah yang persisnya berlaku di Rusia di bawah Yeltsin. Ia tak menghidupkan infrastruktur paling penting bagi tumbuhnya demokrasi kebebasan. Yaitu lahir dan tumbuhnya lebih dari satu politik yang kuat dan bersaing.
Pengganti Yeltsin, Putin, membuat langkah-langkah Rusia makin otokratik. Putin sama sekali tidak tertarik melakukan reformasi liberal.
Pada tahun pertama pemerintahannya, ia meringkus sebanyak mungkin lembaga di bawah kekuasaannya. Ia menjadikan lembaga presiden sebagai superpresiden.
Target utamanya menundukkan gubernur-gubernur daerah. Ia mengangkat tujuh orang supergubernur untuk mengawasi 89 pemerintahan daerah.
Ini cara efektif untuk menaklukkan aneka gubernur yang sebelumnya memiliki kursi di parlemen. Setelah itu, Putin mengganti posisi parlemen 89 gubernur dengan legislator yang diangkat Kremlin.
Di samping itu, dia mengeluarkan keputusan yang menetapkan. Setiap gubernur bisa dipecat jika Presiden yakin bahwa mereka melanggar hukum.
Setelah memperlemah kekuasaan eksekutif lokal, dan parlemen, target Putin berikutnya memperlemah media.
April 2000, sebuah konsorsium di bawah pengawasan Presiden mengambil alih NTV. Ini stasiun TV yang dikenal paling independen. Putin memecat para staf seniornya.
Ketika para staf ini pindah ke stasiun TV lain, TV itu kembali dilemahkan. Aneka cara digunakan. Termasuk aparat Putin mencari kesalahan pajak media itu. Ancaman kriminal ditukar dengan loyalitas politik.
Sejak era Yeltsin, tekanan atas media sudah dimulai. Yeltsin memerangi media televisi dengan cara bervariasi. Tak hanya intimidasi tapi juga pengenaan pajak yang tinggi.
Tapi di era Yeltsin itu, media cetak masih menikmati sebagian kebebasan pers. Sejak masa kekuasaan Putin, hampir semua hal mengenai public policy, media harus sesuai dengan sikap pemerintah.
Putin memang memiliki gagasan untuk membangun Rusia yang kuat. Tak penting apakah melalu jakan demokrasi atau bukan. Tak penting dengan kebebasan atau tidak.
Tak jarang, Putin memainkan sentimen massa. Bahkan Ia memanipulasi opini publik. Dalam sebuah polling yang diadakan menjelang pemilu 2000, 57% responden mendukung langkah-langkah Putin untuk mensensor media.
Ada lebih banyak lagi responden yang menyetujui langkah-langkah Putin untuk memperlemah kekuasaan di luar pemerintahan.
Hukum memang dibuat dan bagus di tingkat konsep. Tapi hukum itu hanya menjadi norma yang lemah dan estalase pajangan belaka.
Seorang anggota yunior kekuatan oligarki menyatakan. Di Rusia hukum biasa dilanggar. Orang tidak bisa menjalankan usaha tanpa harus melakukan pelanggaran hukum. Putin tahu itu.
“Kalau dia menyerang oposisi demi menengakkan hukum, itu omong kosong. Yang benar dia menggunakan hukum secara selektif sesuai dengan tujuan politiknya.”
Jalan demokrasi Rusia seperti ditempuh Putin adalah jalan menuju demokrasi illiberal, demokrasi tanpa kebebasan, melalui otokrasi liberal.
Naiknya Putin membuat oposisi Rusia dari kalangan oligarkh menghadapi kerepotan besar. Tapi Putin juga menggasak media, melarang partai-partai politik, dan menjadikan hukum sebagai alat politik.
Putin adalah seorang otokrat liberal yang lahir dari demokrasi illiberal. Atau sebaliknya, seorang otokrat liberal yang kekuasaannya menumpuk, dan hanya melahirkan demokrasi illiberal, demokrasi minus kebebasan.
Venezuela juga punya contoh bagaimana jalan menuju demokrasi liberal sulit dicapai.
Contoh menarik dari Amerika Latin adalah kisah Hugo Chavez. Ia seorang kolonel tentara . Ia dipenjara karena percobaan kudetanya yang gagal pada 1992.
Enam tahun kemudian, Chavez terpilih menjadi Presiden Venezuela dengan 56% suara mendukungnya. Setelah referendum untuk mengubah konstitusi, ia menang lagi dalam pemilu berikutnya dengan dukungan mutlak 92% suara parlemen.
Ia menjalankan pemerintahan dengan caranya sendiri. Antara lain memperluas peranan pemerintah dalam perekonomian. Pada 2002 sebuah komplotan jenderal yang didukung kalangan bisnis melakukan kudeta.
Chavez, yang memiliki ketrampilan untuk mengorganisasi “kekuatan rakyat,” merebut kembali kekuasaan hanya dalam waktu seminggu. Rakyat mendukung Chavez karena cita- cita keadilan. Ia membawa pesan kekuasaan yang lebih untuk rakyat dan oleh rakyat.
Chavez naik kembali ke pentas kuasa. Ia menjadi orang kuat. Orang yang sangat kuat. Sentimen massa yang rindu keadilan, kebebasan, berada di belakangnya.
Sebenarnya, Venezuela termasuk negeri kaya sumber daya alam. Tapi ini justru menyebabkan terjadinya mismanajemen ekonomi, korupsi politik. Terjadi pembusukan institusional.
Empat dari lima penduduk Venezuela hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal dua puluh tahun sebelumnya, Venezuela pernah memiliki standar hidup paling tinggi di seluruh Amerika Latin.
Apa daya. Venezuela adalah negeri yang menggemari revolusi. Kudeta dan kontra-kudeta berkali-kali terjadi. Chavez terlatih dan ingin menjadi super hero. Itu sebabnya ia selalu menunjukkan kekagumannya kepada Videl Castro, Saddam Hussein, bahkan Moamar Ghadafi.
Lebih dari itu, Chavez tidak percaya bahwa perubahan politik bisa muncul dari sistem politik pluralis. Kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat akan muncul dalam bentuk kepemimpinan tunggal mesianik.
Terlalu sering sentimen rakyat di atas namakan. Sepanjang sejarah, gelora keadilan, kemakmuran, kebebasan disuarakan rakyat. Lahir revolusi. Lahir reformasi. Lahir pemimpin yang kuat dan dicintai.
Namun tanpa infrastuktur politik dan kebebasan yang memadai, gelora rakyat itu segera layu.
Tanpa kelas menengah yang kuat. Tanpa civil society yang kokoh. Tanpa media yang dibiarkan bebas. Tanpa pengadilan yang dibiarkan independen. Tanpa opisisi yang dibiarkan tumbuh. Revolusi dan reformasi tak hanya memakan anaknya, tapi juga ibunya. Ibu yang melahirkannya. Ialah cita-cita sosial yang awalnya bergelora: keadilan, kemakmuran, kebebasan.
(Bersambung)