Oleh : Denny JA, LSI
Hari- hari ini, Malaysia dihebohkan oleh sebuah video dengan efek “wow” untuk politik nasional.
Setelah Mahathir Mohammad dan Anwar Ibrahim, Azmin Ali dianggap pemimpin generasi berikutnya. Ia berhasil di pemerintahan, cerdas, dan gagah pula. Publik menganggapnya sebagai pemimpin Malaysia setelah generasi Mahathir-Anwar Ibrahim.
Sebuah ironi jika bintang politik jatuh hanya oleh satu menit video. Namun memang itu bukan video biasa.
itu sebuah “upper cut” lawan politik, tuduhan skandal homoseks sang pemimpin Azmin Ali. Ditambah pula dengan video pasangan homoseksual Azmin Ali.
Ujar pasangan itu: “memang saya yang ada di video itu, bersama Azmin Ali.” lengkap ia sebut nama hotel dan kapan terjadi.
Di Malaysia, isu homoseks menerpa pemimpin nasional. Tak hanya Anwar Ibrahim yang terkena skandal homoseks yang menjadi bulan- bulanan publik. Tapi kini juga Azmin Ali.
Membaca berita itu, saya teringat perjumpaan dengan Azmin Ali. Itu ketika oposisis merancang untuk menumbangkan Barisan Nasional yang sudah bercokol 60 tahun.
Saya dan Tim LSI diundang datang ke Malaysia berjumpa dengan Azmin Ali, jauh hari sebelum akhirnya Mahathir mengalahkan Barisan Nasional.
Kisah ini sempat saya tuliskan di akun facebook saya, dan dimuat Republika Online, setahun lalu.
Tadi pagi saya sempat melihat sejenak aneka tuduhan video itu. Saya posting kembali memori saya dengan Azmin Ali ketika menyusun strategi menumbangkan Barisan Nasional
Tahun 2018, Mahathir pun membuat sejarah. Ia menumbangkan Barisan Nasional yang mendominasi politik Malaysia selama 60 tahun, tak pernah tergantikan sejak Malaysia merdeka.
Mahathir mencapainya dalam kondisi yang serba ajaib. Usianya sudah 92 tahun. Ia bekerja sama dengan Anwar Ibrahim, tokoh yang dulu ia penjarakan. Ia kalahkan Barisan Nasional, koalisi partai yang dulu membesarkannya.
Mengenang kejadian besar ini, sayapun teringat peristiwa 3 tahun lalu. Ketika itu saya bertandang ke Malaysia, jumpa tokoh oposisi, yang sedang menyusun barisan perlawanan.
Febuari 2016, saya diundang ke Malaysia untuk bertemu dengan Menteri Besar (sejenis Gubernur) Selangor: Mohamed Azmin Ali. Pesannya sederhana. Bagaimana caranya mengalahkan Barisan Nasional yang sudah bercokol di Malaysia, tak pernah terkalahkan.
“Kami sudah mempertimbangkan banyak konsultan politik, termasuk dari Amerika Serikat. Tapi kami merasa konsultan politik dari Indonesia lebih mengerti budaya Malaysia. Apalagi, ujar mereka, kami membaca berita pak Denny JA sukses ikut memenangkan tiga kali pemilu presiden di Indonesia. Sungguh kami ingin mendapatkan pencerahan,” ujar Mohamed Azmin,
Di ruangan itu, saya berdiskusi dengan Mohamed Azmin. Saya ditemani Adjie Farabie dan Ade Mulyana dari LSI. Azmin ditemani oleh team ahlinya.
Azmen mengkisahkan problem yang ia alami. Ia dianggap bintang oposisi. Ia masih muda, cerdas, tampan, dan kini menjadi pemimpin tertinggi di wilayah besar Malaysia: Selangor.
Tapi posisinya sedang sulit. Ia diajak masuk kedalam pemerintahan oleh Mahathir Mohammad. Mahathir sendiri yang meminta Azmin bekerja dengan Anwar Ibrahim. “Dua tokoh itu: Mahathir dan Anwar adalah guru saya.” Sungguh itu hal paling sulit dalam hidup Asmin ketika dua guru itu bersiteru. Anwar bahkan dipenjarakan oleh Mahathir.
“Saya harus memilih. Saya memilih bergabung dengan Anwar Ibrahim. Saya masuk ke dalam partai yang didirikan Anwar Ibrahim: PKR (Partai Keadilan Rakyat),’’ katanya.
Tapi datang soal kedua. Menurut Azmin,’’ Kemudian saya berhadapan dengan istri dan putri Anwar Ibrahim sendiri jika saya terlalu maju memimpin partai, apalagi jika menjadi pimpinan partai nomor satu.”
“Nah, kini Mahathir aktif kembali di dunia politik. Bagaimana Pak Denny melihat ini semua? Apa yang terbaik saya lakukan,’’ tanya Azmin dalam pertemuan berlangsung sekitar dua jam.
Pesan saya waktu itu ada tiga. Pertama, demi tumbuhnya demokrasi, Malaysia harus pernah mengalami pergantian kekuasaan. Barisan Nasional harus pernah dikalahkan, dan partai lain harus pernah pula merasakan kekuasaan. Tak ada demokrasi yang matang sebelum ia pernah mengalami pergantian kekuasaan.
Bahkan dalam satu teori demokrasi, ada variabel “Government Turn Over.” Itu test bagi demokrasi sebuah negara. Ia harus pernah mengalami kekuasaan yang berpindah sehingga semua kelembagaan menjadi fleksibel dan tetap stabil walau partai berbeda yang berkuasa.
Kedua, tak ada yang mustahil dalam politik. Apapun dapat terjadi dalam politik sejauh masih sesuai dengan hukum besi politik. Karena pemilu yang harus menjadi medium pergantian kekuasaan, dan rakyat banyak yang menentukan, rakyat sejak sekarang harus dikondisikan merasa perlu adanya pergantian kekuasaan.
Opini harus terus diciptakan. Harus ada kelemahan Barisan Nasional yang kasat mata atau dibuat kasat mata. Kelemahan itu harus terus disebar hingga rakyat berkata: Aha! Barisan Nasional harus dikalahkan. Kita harus bersatu mengalahkannya!
Ketiga, Barisan Nasional itu raksasa dalam politik Malaysia. Raksasa hanya bisa dikalahkan oleh raksasa yang lebih kuat. Oposisi harus bersatu. Cari semua cara agar Mahathir dan Anwar bersatu kembali.
Cari titik tengah. Hanya keyakinan agama yang tak dapat dikompromikan. Tapi tujuan politik selalu bisa dicari formula sehingga kepentingan Mahathir dan Anwar terakomodasi.
Apa daya di kalangan oposisi, hanya mereka berdua yang paling kuat: Mahathir dan Anwar. Mereka harus dicarikan formula agar bersedia kerja sama.
Apa mungkin? Tanya Mohamed Azmin. “Saya dekat dengan keduanya. Tapi perseteruan pribadi Mahathir dan Anwar sudah begitu dalam, hingga merasuk kepada pengikutnya masing masing. Semua merasa yang satu menghianati yang lain.”
Kembali saya jawab. Itu resepnya. Bagus jika Pak Azmin sendiri yang merekatkan mereka kembali. Jika Pak Azmin merasa kurang mampu, cari yang mampu.
Tapi jangan lupa, ujar saya, Pak Azmin harus ikut dalam kepemimpinan mereka, Mahathir-Anwar. Jangan kita melawannya. Mengapa? Jika kita belum kuat melawannya, kita sebaiknya bergabung, mencari kepentingan bersama.
Apa yang saya sarankan tentu juga menjadi gagasan banyak orang lain. Keajaibanpun terjadi. Dua musuh besar bersatu kembali untuk tujuan yang lebih besar. Anwar dari dalam penjara bersepakat dengan Mahathir dalam formula yang cantik.
Mahathir yang pimpin oposisi karena Anwar berada dalam penjara. Namun. jika Mahathir berkuasa, Mahathir akan mengeluarkan Anwar dari penjara, dan menjadikan Anwar penguasa berikutnya.
Inilah negosiasi tingkat tinggi dalam politik. Tak ada musuh atau teman yang abadi. Kepentingan yang lebih besar itu yang abadi.
Untuk menyatukan oposisi, Malaysia memanggil kembali politisi yang sudah berusia 92 tahun. Ia pun disatukan kembali dengan musuh besar yang ia penjarakan ketika ia berkuasa.
Jadilah Mahathir terpilih sebagai perdana mentri paling tua, atau bahkan pemimpin politik paling tua, dalam sejarah.
Banyak hal tak terduga dalam politik bisa terjadi. Karena itu jangan ragu untuk bermimpi sejauh masih sesuai dengan hukum besi politik.
Semoga mimpi Azmin Ali untuk menjadi pemimpin Malaysia berikutnya tidak terhalang oleh video durasi satu menit.