Penulis: Denny JA
Grup kecil itu diberi nama KLUB AKTIVIS BAKAR LEMAK. Setiap minggu pagi, jam 7.00- 10.00, kami berkumpul di pantai Ancol. Didahului jalan pagi. Setelah itu senam dengan musiknya. Ditutup dengan makan pagi, kadang sambil guyon, kadang sambil debat politik yang keras.
Pesertanya para aktivis usia 50 tahun ke atas.
Awalnya percakapan sambil lalu. Ujar Agus, ia punya masalah dengan jantung. Tapi kata dokter, kesehatannya tak memenuhi syarat untuk pasang ring. Belum bisa juga jantungnya dioperasi bypass.
Dokter menyarankan ia menyegarkan badan, dengan menghirup udara laut sambil jalan pagi. Jika badan sudah lebih segar, terapi pasang ring atau bypass, bisa ditest lagi.
Program pun dibuat. Kami teman temannya di Kelompok Studi Proklamasi dan di Guntur 49 menemani Agus jalan pagi setiap minggu. Tak ada tempat lain yang punya pantai bagus di Jakarta kecuali Ancol.
Kadang Agus mengajak tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Bagi mereka jalan ke Ancol itu sekalian semacam tamasya. Kadang Agus juga mengajak istrinya.
Pantai Ancol cukup indah. Udara pagi segar. Berjumpa pula di sana para aktivis dan sahabat yang sudah saling mengenal sekitar 35 tahun. Ketika senam dengan musik, banyak pengunjung lain di Ancol yang bergabung spontan. Kegiatan minggu pagi di pantai Ancol sempat menjadi acara favorit kami.
Seringkali gerak senam itu cukup mengeluarkan enerji. Tapi Agus menggerakkan badan seadanya saja, yang penting sesuai dengan irama musik. Sakit jantung membuatnya hanya bisa bergerak pelan pelan.
Kegiatan jalan pagi di Ancol itu dimulai tahun 2018, dan terus melewati pilpres 2019. Walau kami semua bersahabat lebih dari 35 tahun, sejak mahasiswa, tapi tak pernah satu suara soal pilihan politik. Agus termasuk paling semangat jika menyindir dan membuat guyon.
Saat pilpres 2019 itu pembelahan politik cukup keras. Banyak grup WA pecah. Persahabatan rusak. Bahkan tak jarang hubungan keluarga menjadi tak nyaman. Apalagi isu agama dimainkan pula.
Tapi setiap minggu pagi itu, kami lebih santai. Tiap minggu memang kami berdebat. Tiap minggu memang kami saling kritik kubu masing masing. Tiap minggu memang perbedaan pilihan politik semakin keras dinyatakan.
Tapi menyertai debat politik yang kadang sangat keras, selalu dihadirkan tawa dan ledek ledakan.
Agus berbisik ke telinga saya. Beginilah nikmatnya bro, jika berteman di atas politik. Walau kita berhadapan secara politik, tapi pertemanan tetap hangat.
Ya bro, saya menimpali. Politik pilpres itu acara rutin lima tahun sekali. Justu di situ kematangan kita berpolitik. Boleh dong beda politik, bertentangan ideologi. Tapi berteman jalan terus.
Teman di atas politik bro, ujar Agus menegaskan pendiriannya.
Saya mengenal Agus Edy Santoso sejak 36 tahun lalu. Di tahun 1984, era saya mahasiswa, Agus seringkali memakai kacamata bundar seperi John Lennon. Itulah awal ia dipanggil Agus Lenon.
Itu era ketika Pak Harto sedang kuat-kuatnya.
Pak Harto juga sangat keras dan tegas terhadap “Eka dan Eki.” Eka itu ekstrem kanan: Islam radikal. Eki itu ekstrim kiri: komunisme.
Tapi Agus punya banyak teman baik dari kalangan “kiri” dan “kanan.” Pernah suatu malam, saya diajak Agus bertandang ke salah satu tokoh kiri. Kami ke sana berjalan diam diam. Aguspun memperbanyak dan mengkopi buku Tan Malaka untuk ia sebarkan.
“Gus,” tanya saya, “dirimu simpatisan kiri?” Ini buat bacaan saja bro, jawab Agus santai.
Saya pernah pula diajak Agus jumpa para aktivis yang dulu aktiv peristiwa Tanjung Priok. Ini aktivis dari jalur Islam keras. Agus malah memberi mereka buku Ali Shariati. Kata Agus, ini supaya mereka lebih revolusioner tapi juga visioner.
Aguspun dekat dengan tokoh moderat. Pernah suatu ketika Agus menemukan tumpukan surat di kantor HMI, tempatnya menginap. Tarnyata, itu surat menyurat sangat penting antara Nurcholish Madjid dan Mohamad Roem. Agus dengan tekun membukukan surat itu.
Dengan izin Noercholis Madjid, buku itu disebarkan, menjadi pembicaraan luas. Isu utama buku tersebut, bahwa tak ada negara Islam, mencuat.
Pergaulan Agus juga meluas ke aneka kalangan. Ia aktif di Lazizmu Muhammadiyah. Tapi Agus juga pendukung aliran kepercayaan suku Badui. Aguspun aktif bermeditasi dalam tradisi Budha.
Intensnya Agus bersahabat dengan aneka kelompok yang beragam, bahkan saling bertentangan, membuat Agus lebih mudah mengatasi perbedaan. Ia punya banyak teman yang dekat dari aneka kubu politik. Ini pula yang menumbuhkan spirit Agus bahwa beda politik itu biasa. “Teman di atas Politik!”
Setahun belakangan ini, Agus sering bertandang ke kantor saya. Ia sering curhat. Kesehatannya menurun. Ia tak bisa selincah dulu. Ia terpikir membuka usaha bisnis, tapi yang bisa ia jalankan dengan duduk di rumah saja.
Dari semua teman aktivis, Agus melihat saya yang ia anggap juga sukses berbisnis, dari urusan konsultan politik, restoran, properti, hingga kebun. Ia pun acap kali menjadikan saya sebagai teman diskusi usahanya.
Itulah awal lahir Kafe Tjiliwoeng di rumah Agus. Kafe itu tak hanya menjual kopi, tapi juga diskusi politik. Kadang ada pula acara budaya, membaca puisi.
Bersama teman teman, kita launching Kafe milik Agus dengan diskusi masalah yang sedang hot saat itu: Pergolakan Papua. Liputan media cukup luas.
Dua minggu lalu, sebelum saya liburan akhir tahun, Agus kembali datang ke kantor. Ujarnya: Kafe saya mulai ramai, bro. Kadang tamu datang mengobrol sampai jam 1 pagi. Asyik ya punya usaha sendiri, ujarnya senang.
Mempunyai usaha kafe di beranda rumah sendiri, sambil bisa diskusi politik, menjadi usaha ideal Agus, karena kesehatannya.
Ia seringkali berkata, “Bro saya tak bisa membalas kebaikan bro. Saya membalasnya dengan mengirim kopi dan makanan saja untuk bro ya, ujar Agus lagi.
Saya menjawab dengan memplesetkan ucapan Agus. Jika agus berkata: “Teman Di Atas Politik.” Saya membalasnya: Santai saja bro. Kan “Teman Di Atas Bisnis!”
Selamat jalan Agus Edy Santoso.
Ditulis pada Pagi hari 11 Januari 2020, jam 1. 54 subuh, setelah mendengar wafatnya Agus Edy Santoso.