- Kasus India dan Dunia Ketiga
*Esai ini mengedit seperlunya tulisan asli di Facebook Esoterika- Islamika, yang diasuh AE Priyono*
Swakarya.Com. Ancaman kebebasan tak hanya datang dari pemerintahan. Ancaman itu dapat juga datang dari masyarakat sendiri. Pada pemerintahan, orang kuat acap lahir mengatas-namakan rakyat. Pada masyarakat, komunalisme sering muncul mengatas-namakan agama.
Lihatlah India dan banyak dunia ketiga.
Demokrasi memang berdiri atas paham suara mayoritas. Dalam pemilu, dan dalam voting, yang menang adalah mereka yang mendapat dukungan mayoritas.
Tapi prinsip mayoritas ini mudah dipelesetkan menjadi diktator mayoritas. Pemimpin yang merasa dipilih oleh suara mayoritas merasa memiliki legitimasi menindas oposisi yang minoritas.
Hal yang sama terjadi di masyarakat. Satu paham agama yang merasa dipeluk oleh mayoritas, merasa sah untuk menindas paham agama minoritas. Atau mereka merasa legitimate memerangi interpretasi agama yang minoritas.
Mengapa demokrasi dapat juga mengancam kebebasan?
Kebebasan itu tentang pembatasan kekuasaan. Sedangkan demokrasi adalah tentang cara memperoleh kekuasaan dan penggunaannya.
Pemimpin dari sebuah pemerintahan demokratik percaya bahwa ia dipilih rakyat banyak. Kekuasaannya sah. Ia dapat menggunakan kekuasaannya agar dapat memerintah secara efektif. Pemerintahannya harus kuat.
Masalahnya, pemerintahan yang kuat itu berbeda dari pemerintahan yang efektif.
Afrika memiliki banyak sekali pemimpin yang kuat, pemerintahan yang berkuasa penuh. Tapi pemimpin dan pemerintahan yang terkesan kuat itu tidak efektif. Banyak program untuk kepentingan rakyat banyak tak bisa berjalan. Pemerintahannya tidak “Get Things Done.”
Sebaliknya, Amerika Serikat memiliki sebuah pemerintahan dengan kekuasaan yang terbatas. Aneka lembaga di sana disusun dengan prinsip checks and ballances. Ini prinsip pemerintahan yang saling membatasi. Hadir pula kebebasan pers dan pengadilan independen untuk membatasi kekuasaan.
Tapi dalam kekuasaan yang dibatasi, penerintahan dapat berjalan efektif. Banyak program untuk kemaslahatan orang banyak yang “Get Things Done.”
Mencampuradukkan pemerintahan kuat dan pemerintahan efektif telah menyesatkan tak hanya elit di dunia ketiga. Bahkan banyak pemerintahan Barat dan para sarjana yang disponsorinya berpikiran sama. Mereka mendorong terbentuknya pemerintahan yang kuat dan sentralistik di Dunia Ketiga.
Memang benar pemerintatahan harus kuat. Tapi jika pemerintahan kuat diperlukan, ia kuat karena ia legitimate. Trust dari rakyat banyak yang membuatnya kuat.
Para pemimpin di Dunia Ketiga sering berpikir mereka memerlukan otoritas yang kuat untuk membongkar feodalisme. Mereka membutuhkan strong leader guna memecah koalisi lama yang jahat. Mereka menginginkan kekuasaan yang tersentralisasi untuk menciptakan ketertiban.
Tapi yang terjadi, otoritas yang kuat itu, karena tak ada check and ballances, tak ada kontrol, berakhir dengan terbentuknya diktator jenis baru yang korup.
Sebaliknya, pemerintah yang kekuasaannya terbatas tapi legitimate (absah secara politik dan legal) biasanya sanggup memulihkan ketertiban dan menjalankan kebijakan yang sudah digariskan. Meskipun pencapaiannya mungkin lebih perlahan.
Pajak menjadi satu instrumen untuk mengukur apakah suatu pemerintahan legitimate atau tidak.
Pengumpulan pajak tidak membutuhkan kekuatan kepolisian negara. Yang dibutuhkan agar pajak terkumpul ketataan hukum rakyatnya. Tidak ada pemerintah yang mempunyai cukup angkatan kepolisian untuk memaksa rakyatnya membayar pajak.
Aneka pemerintahan di Dunia Ketiga sering mengalami kesulitan menarik pajak. Itu bukan karena mereka tidak mampu menjalankan aparat kekerasan untuk menarik pajak. Tapi itu karena pemerintah tidak punya cukup legitimasi sehingga rakyatnya rela membayar pajak.
Tak hanya orang kuat di pemerintahan, orang kuat di level masyarakat pun dapat merusak kebebasan. Tirani mayoritas di level masyarakat menjadi sumber ancaman berikutnya bagi demokrasi dengan kebebasan.
James Madison menyatakan itu dalam risalahnya yang terkenal, Federalist Papers. Menurut Madison, bahaya penindasan” dalam demokrasi berasal dari “mayoritas komunitas.” Ini bahaya yang datang justru dari pemilik suara mayoritas di masyarakat.
Pandangan seperti ini juga diungkapkan oleh Tocqueville. Ia mengingatkan adanya “tirani mayoritas” dalam demokrasi. Dia mengatakan bahwa yang paling mengancam pemerintahan demokratik adalah kedaulatan mutlak kelompok mayoritas.
Tirani mayoritas khususnya menjadi ancaman di negeri-negeri sedang berkembang ketimbang di negeri-negeri maju. Di negara-yang sistem demokrasinya sudah maju, tirani mayoritas tidak lagi menjadi problem. Di negara itu, prinsip mayoritas sudah disempurnakan dengan prinsip lain: perlindungan atas minoritas.
Problem tirani mayoritas sangat terasa di negara berkembang yang belum mengatur perlindungan atas hak individu dan hak minoritas. Kelompok mayoritas bahkan bisa mengabaikan prinsip pemisahan kekuasaan. Mereka bisa melanggar prinsip hak asasi kelompok minoritas. Mereka berkuasa merusak tradisi toleransi.
Pengalaman India membuktikan itu. Tradisi demokrasi liberal modern yang diperjuangkan Partai Kongres, bisa dikalahkan oleh munculnya Partai Bharitiya Janata (PBJ). Partai ini lebih berorientasi eksklusif dengan paham fundamentalis Hindu.
PBJ memenangkan dukungan mayoritas Hindu. Segmen mayoritas ini tadinya termarginalisasi karena orientasi politik Nehru. Ia pendiri Partai Kongres yang kemudian menjadi PM India pertama. Nehru terlalu sekuler dan tak menyukai masuknya agama dalam politik.
Pendiri PJB sangat berbeda dengah Nehru. Kini PBJ menjadi partai terbesar kedua. Secara terang benderang, terbuka pada publik, Ia memperjuangkan nasionalisme militan Hindu. Untuk mendapatkan sentimen massa, tak jarang PJB mengobarkan kampanye anti-Muslim dan anti-Kristen.
Keunggulan PBJ karena Ia memperoleh dukungan mayoritas Hindu. Dukungan ini terutama justru dari kasta menengah dan atas. Itu karena Partai Kongres di bawah Indira Gandhi mulai menjalankan kebijakan-kebijakan populis yang membuat kasta rendah banyak terserap.
PBJ menjual retorik untuk “menghindukan” India. Ini berarti penulisan kembali teks sejarah untuk menghapus segala referensi mengenai peranan Muslim dan aneka kelompok minoritas lain.
Karena kasus kecil, PBJ, Partai Bharatiya Janata, sering sengaja meletupkan kemarahan besar kepada minoritas Muslim. Sebuah kampanye nasional pernah dilakukan partai ini untuk menghancurkan sebuah masjid di Ayodhya. Tempat masjid itu diklaim sebagai tempat lahir Rama, ikon Hindu.
Pada tahun 2002 di Gujarat, partai ini juga terlibat dalam provokasi perang untuk mengusir kaum Muslim. Ribuan orang dibantai, termasuk laki-laki, perempuan, anak-anak.
Pembersihan etnis Muslim berjumlah puluhan ribu orang akhirnya merembet di dearah-daerah sekitarnya. Inilah peristiwa di mana untuk pertama kalinya India menjadi negara yang – langsung atau tidak – membantu diskriminasi atas hak dan perlindungan warga negara.
Begitu sering rakyat diatas- namakan. Begitu sering paham agama diatas- namakan. Begitu sering prinsip dukungan mayoritas diatas-namakan.
Bahaya atas kebebasan memang tak hanya datang dari orang kuat di dalam pemerintahan. Bahaya yang lebih seram justru datang dari komunalisme masyarakat sendiri. Ia lebih berbahaya karena seolah datang dari kehendak suci agama.
(Bersambung)