Oleh : Goenawan Mohamad
(penanda insensitivitas bangsa ini – seakan santun tapi sesungguhnya keji)
AMARZAN LOEBIS (1942-2019)
Di depan liang lahat Amarzan Loebis tadi siang, sebelum tanah ditimbunkan, saya mengatakan, ia sahabat yang meninggalkan lobang, atau lebih tepat kekosongan, yang besar dengan kepergiannya.
Ia telah memberi banyak.
Ia sastrawan yang sekian puluh tahun yang lalu, di awal 1960-an, menulis puisi dengan idiom yang segar, tak terduga-duga , di tengah sajak-sajak yang mengulang slogan “revolusioner” masa itu. Solidaritasnya kepada yang tercekik lebih dalam justru karena ia bukan produser klise.
Beberapa tahun kemudian ia menghilang: ia, anggota Lekra, disekap di Pulau Buru.
Selepas dari pengasingan, setelah sekian tahun direnggutkan dari kehidupan, ia bekerja di majalah Tempo. Saya, waktu itu pemimpin redaksi, yang memintanya bergabung.
Semula tampak ia ragu — mungkin cemas: ia bekas “tapol”, dan bekas “tapol” dianggap penderita kusta oleh “Orde Baru”. Dengan menampungnya bekerja, begitu diperkirakan, Tempo akan dapat masalah.
Saya tahu keraguan itu lumrah: bahkan ada rekan wartawan mengerutkan kening mengetahui keputusan saya. Alharhum Rosihan Anwar menulis di Pos Kota, seperti memberi tahu penguasa bahwa ada wartawan-wartawan kiri yang ditampung “sebuah majalah”.. Dan tekanan yang deras memang datang.
Tapi kami di Tempo, bertahan — mencoba bertahan. Sebelum Amarzan, ada Martin Aleida, mantan reporter Harian Rakjat, koran resmi PKI. Ada Maniaka Thayeb, perupa Lekra. Mereka juga bekerja dalam tim kami. Begitu bebas dari P. Buru, Buyung Saleh, tokoh cendekiawan PKI, juga menyumbang tulisan (kolom dan resensi) untuk Tempo.
Saya tak berniat gagah-gagahan dengan itu semua. Bagi saya, kemampuan orang-orang itu layak dapat tempat — dan Amarzan Loebis lebih dari layak: ia cemerlang, “witty”, seksama dalam ketepatan kata — dan tak pernah molor dalam memenuhi tenggat.
Bagi saya, mereka berhak bekerja, menulis, bertukar ide. Mereka sudah menjalani “hukuman”, prosekusi — apa lagi?
Lagi pula kami, di Tempo, selalu berpedoman, agak nekad itu pantas dicoba dan perlu. Tiap kali kami harus “menguji” ketabahan diri dalam kekangan, untuk hal-hal dasar yang kami yakini: kemerdekaan bersuara yang setara, bagi semua.
Di bawah ‘Orde Baru”, itu tak mudah. Ini semacam perang gerilya yang panjang, dengan strategi: jika penguasa sedang lengah atau lemah, kami harus berani maju. Jika sedang kuat, waspada dan galak, kami mundur beberapa jurus. Saya sering mengatakan setengah bergurau: Ini ajaran klasik gerilya Mao Zhe-dong…
Amarzan memahami ini. Ia korban prosekusi yang tak pernah merasa jadi lebih suci ketimbang orang lain. Ia tak hendak merasa berhak jadi hakim.
Dan itulah pemberiannya yang luar biasa: tak ada “heroics”, tak ada kepongahan. Pengalamannya yang penuh sakit ia bagikan sebagai cerita yang kaya, dan saya tahu Laksmi Pamuntjak menulis novelnya, “Amba”, juga Leila S. Chudor menulis “Pulang”, dengan bahan yang berlimpah dari Amarzan.
Dalam obituarinya yang saya baca lewat WA, Laksmi menulis: “Selamat jalan, Bung AMZ. Hutang budiku padamu melampaui segala karena kau tak hanya memberiku sepasang mata baru tapi juga mengajariku sesuatu yang berharga tentang sejarah — terutama tentang pemaafan dan kehadirannya untuk senantiasa ditafsir dan dimaknai ulang.”
Laksmi juga mengatakan. “Kau juga mengajariku tertawa…”.
Humor adalah bagian sentral dalam percakapan dengan Amarzan. Agaknya itu yang mengikatkan kami berdua: humor — dan puisi.
Ada orang yang heran bagaimana saya, seorang perumus petisi “Manifes Kebudayaan”, bisa bersahabat dan bekerja bersama bertahun-tahun dengan Amarzan, seorang penyair Lekra yang utama. Bukanlah kedua “kubu” itu bertentangan? Amarzan selalu geli bila membaca ada orang yang dengan sengit ingin ikut bertempur, membela atau menyerang salah satu “kubu” itu. Saya pernah mengatakan kepadanya, orang seperti itu tak mengerti — atau merasakan — ada humor dan puisi: dua “dunia” yang tak hendak takluk kepada kebekuan hati dan pikiran. Dunia kami.
Amarzan dimakamkan tadi pagi. Bagi saya ia tak mati-mati. Bagi saya ia seakan-akan pergi jauh, untuk sesekali menulis surat kepada kami di kartupos-kartupos kuno, dengan lelucon dan sajak baru.