Wabup Bangka Enggan Menandatangani Petisi Warga Mendo, Ini Alasannya!

Bangka, Swakarya.Com. Wakil Bupati Bangka, Syahbudin menegaskan enggan menandatangani petisi penolakan terhadap PT SAML yang disampaikan perwakilan warga Desa Mendo, sebelum pemerintah daerah ini mendapatkan informasi secara utuh terkait keberadaan PT SMAL.

“Saya tidak mau dipaksa untuk menandatangani apapun sebelum saya mendapatkan informasi yang utuh,” katanya kepada massa aksi di halaman Kantor Bupati Bangka, Senin (4/11).

Wabup juga menegaskan, aspirasi warga Mendo lewat petisi yang disampaikan tersebut, tetap akan ditindaklanjuti oleh Pemkab Bangka agar permasalahan yang terjadi dapat segera terselesaikan.

“Petisi ini sudah kita terima mengingat ini aspirasi masyarakat. Tapi ini tidak dalam konteks untuk menandatangani. Karena saya tidak akan menandatangi sesuatu yang tidak saya pahami secara utuh,” katanya.

Menurut Wabup, atas permasalahan yang terjadi di Desa Mendo ini, pihaknya sudah melakukan upaya persuasif dengan cara memanggil pihak perusahaan dan pihak lainnya yang diduga telah membeli lahan di Desa mendo yang masuk kedalam izin lokasi PT SMAL.

“Kita sayangkan ketika kita ingin berusaha menyelesaikan permasalahan ini. Karena kita sudah beritikad baik dengan mengundang kedua belah pihak namun salah satu pihak tidak hadir,” katanya.

Untuk itu kedepannya, Wabup meminta masyarakat Desa Mendo untuk bersabar dan menyerahkan penyelesaian masalah ini ke Pemkab Bangka.

“Yakin dan percayalah kita tidak diam. Dan hari Rabu ini pihak yang dimaksud akan hadir,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bangka, Kemas Arfani Rahman membenarkan atas izin lokasi yang dikeluarkan Bupati sebelumnya kepada PT SMAL berlokasi di Desa Mendo, Kecamatan Mendobarat dengan luas lahan seluas 700 Ha.

Hanya terkait sosialisasi yang tidak dilakukan oleh pihak perusahaan usai mengantongi izin lokasi karena saat itu sedang berlangsung proses Pileg dan Pilkada sehingga sosialisasi tersebut baru bisa dilakukan di tahun 2019.

“Kami dari Dinas Pertanian jika diminta kami akan datang dan melaksanakan sosialisasi. Soal siapa yang diundang, kami tidak ikut campur,” katanya.

Dikatakan Kemas, izin lokasi yang dimaksud adalah izin yang diberikan oleh pemerintah daerah dalam rangka untuk melakukan pembebasan lahan seperti dengan melakukan ganti rugi tanam tumbuh atau sistim jual beli atas persetujuan masyarakat yang memiliki lahan.

“Jadi izin lokasi yang kita berikan bukan dalam bentuk kegiatan usaha tapi dalam rangka untuk membebaskan lahan itu sendiri,” katanya.

Ditambahkan dia, setelah izin lokasi itu dikeluarkan, pihaknya mensosialisasikan izin lokasi tersebut ke masyarakat, dimana saat itu secara aklamasi masyarakat menerima sehingga izin lokasi tersebut diteruskan dalam rangka kegiatan ganti rugi tanam tumbuh dan jual beli antara perusahaan dengan masyarakat.

“Kalau masyarakat menolak, izin lokasi itu tidak bakal terjadi. Nah pada saat kita sosialisasi, masyarakat secara aklamasi menerima,” katanya.

Hanya saja saat di lapangan, Kemas mengaku ada aktifitas lain oleh oknum pribadi yang melakukan pembebasan lahan di lokasi yang dimaksud dan sudah melakukan aktifitas sehingga masyarakat berasumsi PT SMAL juga akan melakukan hal serupa seperti yang dilakukan oknum yang dimaksud.

Terkait ada land clearing yang terjadi di lapangan, Kemas mengaku belum mengkroscek sejauh mana kebenarannya dan belum mengetahui apakah hal tersebut dilakukan pihak perusahaan atau oknum yang dimaksud.

“Land clearing saya belum cek, apakah dilakukan pihak PT atau yang tadi (oknum yang dimaksud),” katanya.

Namun jika land clearing yang dimaksud dilakukan oleh pihak perusahaan yang sudah mengantongi izin lokasi, Kemas menegaskan perusahaan tersebut bisa melakukan itu dengan catatan sudah mendapatkan izin dari pemerintah desa untuk melakukan land clearing di lokasi yang dimaksud.

“Itu dalam rangka untuk me-tracking, mem-plot segala macem dan bukan dalam rangka melakukan kegiatan,” katanya.

Kemas juga mengatakan, untuk izin lokasi yang telah dikeluarkan masa berlakunya cukup panjang yakni 3 tahun ditambah 1 tahun dengan ketentuan pihak perusahaan sudah melakukan ganti rugi terhadap tanam tumbuh serta jual beli lahan milik masyarakat yang persentasenya mencapai 50 persen. (Lio)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait