Surakarta, Swakarya.Com. Sekitar 300 peserta menghadiri acara Temu Akbar Peternak bertajuk “50 tahun Eksistensi Peternak Broiler 1973-2023” yang berlangsung di Gedung Graha Saba Buana, Surakarta, Jawa Tengah pada Kamis (23/2).
Acara yang bertema “Perlindungan Hak Usaha & Pemberdayaan Peternak Indonesia” itu dihadiri pengurus asosiasi peternak mandiri, para pekerja, dan mereka yang terkait dengan industri perunggasan.
“Industri perunggasan nasional sedang tidak baik-baik saja. Kami berkumpul untuk berkonsolidasi membangun soliditas dan sinergisitas antarpeternak. Mengabaikan egosektoral, agar eksistensi peternak mandiri UMKM bisa bertahan dari kondisi bisnis yang tidak menguntungkan,” ujar Sekjen Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Sugeng Wahyudi yang bertindak sebagai Ketua Panitia Temu Akbar Peternak.
Sugeng mengeluhkan persaingan usaha perunggasan cenderung tidak sehat membuat banyak peternak berguguran, akibat kerugian berkepanjangan. Di sisi lain, perusahaan integrasi masih tumbuh dan untung.
“Padahal peternak bagian integral ekonomi nasional yang tidak bisa dikesampingkan. Karena telah menyerap ratusan ribu tenaga kerja dan membantu perekonomian pedesaan, perkotaan hingga nasional,” tutur Sungeng.
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (PINSAR) Indonesia, Singgih Januratmoko mengatakan, kondisi tiga tahun terakhir, membutuhkan uluran tangan pemerintah.
“Saat ini harusnya ditetapkan sebagai darurat peternakan. Peternak rakyat tergerus, hingga hanya 10 persen saja sementara peternak pabrik mencapai 90 persen. Pengangguran dipastikan juga meningkat,” tutur Singgih Januratmoko yang juga Anggota Komisi VI DPR RI.
Menurut Singgih, aturan pemerintah sudah bagus, namun aplikasi dan pengawasan di lapangan masih belum berjalan dengan baik, “seharusnya pemerintah memberi perlindungan dan pemberdayaan peternak untuk meningkatkan skala usaha. Sebagaimana telah diamanatkan konstitusi,” tegas Singgih.
Ia pun merujuk Undang-Undang No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) juncto UU No. 41 Tahun 2014. Pasal 32, pemerintah pusat dan daerah mengupayakan sebanyak mungkin masyarakat menyelenggarakan budidaya ternak, memfasilitasi dan membina untuk tumbuh kembangnya peternak, koperasi dan badan usaha bidang peternakan.
“Tapi tiga tahun terakhir keadaan tak menentu. Banyak peternak yang akhirnya dipailitkan atau dipidanakan, karena tak bisa membayar utang kepada pabrik pakan,” keluhnya.
Singgih melihat pascalahirnya UU PKH, justru perunggasan nasional cenderung melaju ke liberalisme. Kompetisi yang tidak imbang tersebut menyingkirkan peternak kecil.
“Kami menutut hak keadilan berusaha, perlindungan dan pemberdayaan peternak kepada pemerintah sebagai otoritas pemangku kepentingan dan kebijakan,” ujar Singgih.
Ia menambahkan, peternak mandiri tidak ingin mengalahkan perusahaan integrasi. Namun yang diharapkan adalah tumbuh bersama-sama, bukan berkompetisi tapi berkolaborasi.
“PR kita masih banyak, tanpa kolaborasi antara perusahaan integrasi dengan peternak rakyat, pasar bebas perunggasan akan merugikan peternak kecil yang juga anak bangsa yang memiliki hak berusaha dan memperoleh keadilan dalam berbisnis,” pungkasnya.
Senada dengan Singgih, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengingatkan pentingnya kehadiran pemerintah dalam melindungi peternak mandiri. Menurutnya, corak wajah industri peternakan hari ini, merupakan kelalaian pemerintah.
“Kami sedang menginvestigasi maladmisnistrasi. Saat ini ombudsman sedang mendalami dugaan mal adminisrasi kebijakan stabilisasi pasokan live bird yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian,” tuturnya.
Mal administrasi terjadi karena kelalaian atau ketidakmampuan lembaga negara menjalankan peraturan dan tugas-tugasnya.
Ia mencatat, pemerintah tidak hadir dalam kondisi perunggasan sangat genting, “Yakni pada 1998 ketika krisis moneter menyebankan 50 persen peternak kolaps dan tidak ada yang menyentuh. Dan akhirnya perusahan integrasi masuk ke budi daya,” ujar Yeka yang banyak melakukan kajian peternakan saat menjadi Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka).
Saat flu burung dan pandemi Covid-19, pemerintahan tidak sigap sehingga mengambil langkah impor yang besar untuk pangan, “Suplai yang mendadak tinggi mengakibatkan peternak kolaps,” pungkasnya.
PR lain, menurut Yeka adalah perlunya asosiasi peternakan unggas satu suara dalam meminta perlindungan kepada pemerintah. Dengan adanya Sekretariat Bersama Asosiasi Perunggasan, ia berharap kepentingan peternak mandiri bisa terlindungi.
Dalam kesempatan itu Sekber (Sekber) Asosiasi Perunggasan yang terdiri dari PINSAR, GOPAN, dan Komunitas Peternak Unggas Nasional (KPUN) menegaskan, 50 tahun peternak mandiri memutar perekonomian nasional mengingatkan para peternak harus bertransformasi ke arah modernisasi dari kandang open house ke closed house.
Sekber meminta dengan adanya kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) nilainya ratusan triliun rupiah, pemerintah membuat regulasi yang jelas. Agar industri perunggasan nasional terutama peternak mandiri bisa meningkat kembali hingga 50 persen, dan selamat dari krisis ekonomi dunia. (Rls)