Sastra yang Membebaskan, Catatan Reflektif 8 Tahun Inovasi Puisi Esai Denny JA

Penulis: Ahmad Gaus AF

 
Setiap puisi merindukan pembaca. Tapi di mana-mana ia dipenjara oleh bahasa. Maka, apa yang oleh Riffaterre (1978) disebut sebagai dialektika antara teks dan pembaca, sesungguhnya tidak terjadi. Bahkan yang terjadi saat ini justru sebaliknya, yakni tumbuhnya sekat-sekat pemisah (bahasa) yang kian menebal antara puisi dan masyarakat.

Bahasa puisi, terus terang saja, lebih sulit dari bahasa asing. Sebelum memahami sebuah puisi, kita diingatkan oleh semacam adagium bahwa puisi ditulis bukan untuk dipahami tapi untuk dinikmati. Jadi terang bahwa preferensi bahasa seorang penyair sejak mulanya memang otoriter.

Dalam pemahaman seperti itu, setiap penyair mengalienasi karya puisinya dari publik, dan sekaligus mendiskriminasi publik melalui bahasa. Pandangan semacam ini ditunjang oleh persepsi keindahan yang eksklusif. Publik dipaksa untuk menikmati sesuatu yang tidak mereka pahami.

Tentu saja tidak setiap ekspresi keindahan (bahasa) harus diperoleh melalui proses memahami. Kitab suci, misalnya, bisa dibaca orang sambil menitikkan air mata walaupun ia tidak memahami sama sekali maknanya. Sebab, meskipun disampaikan melalui bahasa, ayat suci bukan semata-mata aktivitas bahasa melainkan juga aktivitas teologis.

Pembaca kitab suci meleburkan dirinya ke wilayah metafisika yang penuh rahasia. Tidak heran bila ayat-ayat suci lebih sering dibiarkan sebagai misteri yang tak terpahami. Pemahaman terhadapnya bahkan dinilai sebagai reduksi dan distorsi.

Namun, di dalam puisi, kasus semacam ini adalah tragedi. Sebab puisi sepenuhnya merupakan aktivitas bahasa. Dan yang dimaksud bahasa di sini ialah gabungan unsur-unsur kata dan konteks atau aktivitas non-linguistik di lingkungan masyarakat yang bersangkutan.

Maka untuk memahami sebuah kata kita harus melihatnya di dalam konteks sosial yang membentuknya. Hubungan antara keduanya oleh Wittgenstein disebut language games (permainan bahasa). Dan di dalam language games inilah bahasa dilihat sebagai aktivitas sosial yang diwujudkan, konkret, dan ekspresif terhadap kebutuhan manusia.

Language games tertanam dalam bentuk kehidupan. Membayangkan sebuah bahasa, kata Wittgenstein, berarti membayangkan suatu bentuk kehidupan.

Apa hubungannya dengan puisi? Sebagai aktivitas bahasa, puisi juga merupakan arena language games. Karena itu, para penyair tidak bisa membangun otonomi keindahan bahasa secara eksklusif di luar konvensi publik, sampai harus mengorbankan penalaran bahasa umum.

Jika itu terjadi, maka sebenarnya mereka tengah melakukan praktik monopoli bahasa atas nama estetika sastra. Dalam logika itu, perkembangan bahasa menjadi sangat elitis karena dikendalikan oleh rezim kesusastraan yang otoriter.
 

Hampir semua genre puisi modern memiliki karakteristik seperti itu, kecuali puisi esai. Secara historis puisi esai dilahirkan sebagai sebuah gerakan sastra untuk mengembalikan puisi ke pangkuan masyarakat. Sebab disadari, selama ini puisi dan masyarakat saling menjauh akibat “tembok bahasa” yang terpancang di antara keduanya, yang diciptakan oleh para penyair.

Puisi esai lahir pada 2012 lalu dengan terbitnya buku Atas Nama Cinta karya Denny JA yang memuat lima buah puisi esai bertemakan diskriminasi berdasarkan perbedaan ras, sekte agama, orientasi seksual, dan pandangan agama. Dari segi bentuknya puisi esai berbeda dengan puisi lirik.

Puisi lirik adalah puisi yang mengungkapkan perasaan melalui simbol dan metafor. Sedangkan puisi esai mengungkap realitas melalui bahasa konvensional, karena itu mudah dimengerti oleh pembaca. Dalam sejarah perpuisian di Indonesia, puisi lirik merupakan puisi arus utama, dan telah menjadi paradigma dalam penulisan puisi.

Puisi esai menawarkan genre baru penulisan puisi yang berusaha keluar dari arus utama tersebut dan membentuk tata bahasa sendiri di luar lirisisme.

Menurut perintisnya, Denny JA, kelahiran puisi esai diilhami oleh tulisan John Barr, pemimpin Poetry Foundation, Amerika Serikat, yang menerbitkan majalah Poetry: A Magazine of Verse. Dalam tulisannya yang berjudul American Poetry in New Century (2006), Barr menyatakan bahwa puisi semakin sulit dipahami publik.

Penulisan puisi mengalami stagnasi, dan tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi. Menurut Barr, para penyair asik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merespon penyair lain.

Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas. Barr merindukan puisi dan sastra seperti di era Shakespeare. Saat itu, puisi menjadi magnet yang dibicarakan, diapresiasi publik, dan bersinergi dengan perkembangan masyarakat yang lebih luas.

Jadi sekali lagi, puisi esai lahir sebagai kritik atas kecenderungan puisi modern yang mengalienasi diri dari publik, dan mendiskriminasi publik melalui bahasa. Dulu ada penyair besar yang membuat kredo puisi “membebaskan kata dari makna” sehingga puisi menjadi mantra. Kini, puisi esai “mengembalikan makna ke kata” sehingga puisi menjadi bahasa.

Dulu, seorang penyair mengatakan tentang puisi bahwa “yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Kini, puisi esai membuat kredo “yang bukan penyair boleh ambil bagian.” Dan faktanya, ratusan penulis puisi esai yang telah menerbitkan buku memang bukanlah penyair; mereka adalah guru, siswa, aktivis, wartawan, buruh, bahkan juga ibu rumah tangga.

Puisi esai adalah puisi panjang berbabak dan mengandung konflik layaknya sebuah naskah drama untuk dipentaskan. Puisi esai mengangkat isu-isu sosial yang bergetar dalam dinamika masyarakat Indonesia kontemporer.

Namun, bukan isu itu sendiri tampaknya yang menimbulkan kontroversi, melainkan penamaannya sebagai puisi esai yang dianggap orang sebagai janggal dan mengada-ada. Selama ini, dalam anggapan umum, puisi dan esai adalah nama yang masing-masing memiliki definisi tersendiri. Keduanya telah berdiri sebagai bangunan ontologis yang mapan. Menyatukan keduanya begitu saja adalah tindakan sewenang-wenang.

Tulisan ini tidak akan menyinggung lagi kontroversi tersebut karena sudah banyak ditulis orang, di antaranya tulisan-tulisan yang terhimpun dalam buku Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia (2014) dan Pergolakan Puisi Esai (2018).

Buku puisi esai Atas Nama Cinta diterbitkan sebagai salah satu program Indonesia Tanpa Diskriminasi yang juga diinisiasi oleh Denny JA. Karena itu, isi buku tersebut ialah isu-isu seputar diskriminasi agama, gender, ras, dan orientasi seksual. Semua isu tersebut, menurut Denny, tidak cocok bila disampaikan dalam tulisan biasa atau tulisan akademik karena hanya akan bernilai informatif belaka.

Sedangkan ia menginginkan sebuah tulisan yang menyentuh hati, menggugah rasa kemanusiaan sesuai dengan isu yang diangkatnya. Ia membutuhkan medium lain. Dan ia memilih puisi.

Namun, puisi-puisi yang ia kenal selama ini dirasa kurang bisa menampung gejolak batin yang mendesak-desak untuk segera ditumpahkan. “Saya seperti sedang hamil tua,” ujarnya, saat mencari medium untuk menyalurkan kegelisahannya menyaksikan kasus-kasus diskriminasi yang belakangan marak terjadi.

Dan sebagaimana diakuinya sendiri, melalui suatu permenungan yang panjang, akhirnya ia menemukan sebuah medium yang kemudian ia beri nama puisi esai. Sebagaimana umumnya karya sastra, puisi esai adalah fiksi.

Namun, Denny JA mencantumkan fakta peristiwa kongkrit dalam puisi-puisi esainya, yang dibuat dalam catatan kaki, sehingga secara keseluruhan puisi esai dapat dibaca seperti  sebuah karya  semi dokumenter. Jelas ini tidak lazim.

Kalaupun puisi konvensional bisa saja mencantumkan catatan kaki, biasanya catatan kaki itu hanya difungsikan untuk menuliskan keterangan istilah atau hal-hal teknis tertentu.

Tapi dalam puisi esai, catatan kaki ialah bagian integral dari tubuh puisi. Betapa tidak, kisah-kisah yang diangkat di dalam puisi esai justru dibangun dari fakta peristiwa yang ada di dalam catatan kakinya. Hal ini berbanding terbalik dengan karya-karya akademik dimana gagasan pokok membangun catatan kaki, dengan demikian catatan kaki hanya sebagai pelengkap, bahkan dalam suatu tulisan ilmiah popular catatan kaki itu bisa saja dihilangkan demi efisiensi atau tujuan lainnya.

Dalam puisi esai tidak bisa. Tubuh puisi dan catatan kakinya adalah satu kesatuan. Seperti raga dan jiwanya. Jika salah satunya hilang maka ia tidak menjadi puisi esai. Bahkan tidak menjadi puisi, dan tidak pula menjadi esai. Itulah ke-“celaka”-an puisi esai yang dituduhkan oleh banyak orang. Tapi tidak setiap ke-”celaka”-an adalah buruk. 

Dalam kasus puisi esai, jelas sekali bahwa kritik dan kecaman yang diarahkan kepadanya, termasuk dan terutama kepada Denny JA selaku penggagasnya, justru membuatnya semakin matang dan berwibawa.

Kredo puisi esai, “mengembalikan puisi ke pangkuan masyarakat” dan “yang bukan penyair boleh ambil bagian”, sejatinya merupakan concern segenap masyarakat bahasa yang mendambakan kembalinya jiwa bahasa yang selama ini dianggap menghilang.

Jiwa atau estetika bahasa telah terkubur oleh gejala birokratisasi bahasa dan alienasi puisi dari masyarakat. Yang terakhir ini merupakan ironi yang nyaris tidak pernah disadari, sebab seharusnya puisi berperan merawat dan mengembangkan estetika bahasa publik.

Namun yang terjadi, puisi justru menjadi aktor dalam diskriminasi estetika bahasa publik. Puisi juga tidak mampu melawan kecenderungan birokratisasi bahasa oleh rezim bahasa yang berpotensi mematikan kreativitas.

Sebenarnya sudah lama sastra kita, dan khususnya puisi, merampas keindahan bahasa publik. Apa yang disebut indah dalam bahasa akan selalu dirujuk ke puisi. Di luar puisi tidak ada keindahan bahasa. Di luar puisi hanya laporan penelitian atau paper akademik dengan bahasa yang keras, percakapan yang sumir, pidato yang tak bermutu, debat politik yang garing, lirik-lirik lagu yang buruk, dst., dst.

Sastra kita, lagi-lagi khususnya puisi, adalah satu-satunya pemegang hak cipta keindahan bahasa. Dalam paradigma estetika yang eksklusif dan otoriter itulah para penyair memisahkan sastra dari bahasa publik. Akibatnya, bahasa publik tumbuh terpisah di luar wilayah kesusastraan dan menjadi wilayah tersendiri di bawah rezim bahasa negara yang berkutat pada aturan kuno: “bahasa yang baik dan benar”. Ini jelas sebuah anomali.

Sebab dalam sejarahnya, bahasa dan sastra selalu menyatu dan menjadi milik masyarakat seperti dalam representasi pantun, syair, dan peribahasa. Tapi ketiganya telah menghilang pula dari bahasa kita.

Akibat lebih jauh dari terpisahnya bahasa dan sastra ialah, bahasa kita menjadi kaku dan “kering”. Belum lagi orientasi politik bahasa yang cenderung birokratis. Sekadar memasukkan tiga perubahan sepele saja, misalnya, negara harus mengeluarkan peraturan yang mengubah EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) yang telah berlaku sejak 1972, menjadi EBI (Ejaan Bahasa Indonesia) [Peraturan Menteri dan Kebudayaan RI Nomor 50 Tahun 2015].. Ini menunjukkan bahwa rezim bahasa lebih banyak berpikir tentang “peraturan”.

Politik “bahasa yang baik dan benar” adalah regulasi yang berorientasi pada penyeragaman. Seperti halnya rezim sastra, rezim bahasa pun tak kurang kejamnya dalam menindas bahasa masyarakat. Rezim bahasa tidak peduli kebiasaan lidah masyarakat yang selalu membunyikan konsonan ‘p’ dalam “mempengaruhi”, “mempunyai”, “mempesona”, dll.. Atas nama aturan semua bunyi “p” yang mengikuti awalan me- harus diluluhkan (memengaruhi, memunyai, memesona).

Cara pengucapan yang baru itu sungguh asing di lidah masyarakat yang sejak duduk di bangku sekolah terbiasa menyanyikan lagu, “Aku seorang kapiten, mem[p]unyai pedang panjang.” Rezim bahasa telah mengubah bentukan kata “terdiri dari” menjadi “terdiri atas”, “sekitar 10 meter” menjadi “sekira 10 meter”. Tidak peduli bahwa semua itu sudah menjadi bahasa tutur yang melekat dalam kehidupan masyarakat.

Kalau ada orang menulis “Selamat HUT RI yang ke-74” dia akan dibilang bodoh karena menganggap ada 74 negara Indonesia. Tapi apa benar ada orang sebodoh itu, yang menganggap ada begitu banyak Indonesia? Bukankah yang dia maksud adalah HUT RI, dan bukan RI-nya. Jadi siapa yang bodoh?

Maka, alih-alih tumbuh dengan sehat, bahasa Indonesia mengalami involusi — seperti tidak tahu harus berkembang ke mana. Ia tidak bisa digunakan dalam pergaulan, sehingga anak-anak muda merasa perlu menciptakan bahasa sendiri (bahasa gaul). Perkembamgan bahasa dalam paradigma “baik dan benar” pada gilirannya juga menjadi momok bagi masyarakat.

Dan akhirnya melahirkan perlawanan diam-diam. Bahasa alay, misalnya, tumbuh di kalangan remaja. Begitu juga bahasa pergaulan media sosial seperti mager, gabut, santuy, kepo, pansos, dll., yang bahkan telah menjadi bahasa masyarakat. Film-film kita juga tidak terlihat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Begitu juga lirik-lirik lagu yang kualitasnya kian hari kian buruk. Sudah tidak baik, tidak benar, tidak indah pula. Padahal dulu, lagu adalah puisi, dan puisi bisa diadaptasi atau langsung dijadikan lagu yang popular, dinyanyikan oleh masyarakat.

Mengapa sekarang kita sulit sekali mendapatkan lirik lagu yang memenuhi kaidah baik dan benar (ragam baku) sekaligus indah (ragam sastra) dan disukai masyarakat, seperti lagu-lagu Bimbo, Franky & Jane, Ebiet G. Ade, Chrisye, Iwan Fals, M. Mashabi, Rhoma Irama?

Jawabannya karena bahasa telah dipisahkan dari sastra secara struktural — seperti pemisahan TNI-Polri. Pendidikan bahasa pada gilirannya serupa belaka dengan latihan baris-berbaris. Ketika orang mencipta lagu, ia hanya berpikir tengah menggunakan bahasa sebagai alat komunkasi. Tidak menyadari bahwa ia tengah menulis puisi.

Tatkala orang membuat film, ia hanya berpikir tentang cinematografi, tidak berpikir bahwa film adalah juga karya sastra yang seharusnya disajikan dalam bahasa puisi. Film-film kita tidak maksimal mengeksplorasi kekayaan estetik bahasa Indonesia. Akibatnya film-film kita gagal menyajikan sentuhan seni yang paripurna, sebab kita hanya disuguhi cerita. Berbeda dengan film-film produksi luar negeri yang mampu mengintegrasikan kecanggihan cerita, sinematografi, dan sekaligus keindahan bahasa.

Logika ini bisa diteruskan ke bentuk-bentuk lain ekspresi bahasa seperti acara-acara televisi, pidato pejabat, debat politik, khutbah jumat, dll., yang semuanya tidak lagi merefleksikan keindahan bahasa Indonesia. Fungsi bahasa menjadi terbatas. Eksplorasinya pun sangat miskin. Krisis estetika dalam bahasa publik tampaknya tak terelakkan.

Hal ini, sekali lagi, terjadi akibat proses alienasi puisi dari masyarakat oleh rezim sastra, dan pada saat bersamaan menguatnya birokratisasi bahasa masyarakat oleh rezim bahasa.
 

Kalau puisi esai berhasil dengan dwitunggal kredonya: “mengembalikan puisi ke pangkuan masyarakat” dan “yang bukan penyair boleh ambil bagian”, maka ada harapan bahwa bahasa akan tumbuh dengan sehat. Bahasa dan sastra akan kembali menyatu, dan keduanya kembali menjadi milik masyarakat.

Dulu masyarakat kita adalah pencipta (kreator) bahasa, seperti yang terlihat dalam produksi pantun, syair, peribahasa, dll. Sekarang masyarakat hanya sebagai pengguna bahasa. Namun itu dapat dimaklumi. Karena dalam posisi ketertindasan struktural yang diciptakan oleh rezim sastra dan rezim bahasa, masyarakat tidak akan berminat pada dunia kreativitas, dan akan mendahulukan hal-hal yang lebih penting dalam hidup mereka seperti beras, minyak goreng, listrik, iuran BPJS, dan sejenisnya.

Puisi esai lahir untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan itu. Dengan merintis puisi esai, Denny JA telah membuka pintu ijtihad dalam sastra (dan khususnya puisi), yang selama ini dianggap tertutup rapat. Di ruang yang kini telah terbuka itu, berbagai kemungkinan baru dapat terjadi di tengah masyarakat dan dilakukan oleh masyarakat sendiri menyangkut kreativitas dalam bahasa maupun sastra.

Denny JA selaku perintis puisi esai mungkin orang yang paling bahagia saat ini, sebab inovasinya di bidang sastra itu telah membuahkan hasil. Delapan tahun silam, ketika ia menerbitkan buku puisi esainya yang pertama, Atas Nama Cinta (2012), ia menerima berbagai cemooh dan hinaan. Dan belakangan tudingan itu semakin deras dan keras ketika namanya masuk dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (2014). Ia dituduh berada di balik proyek buku yang menghebohkan itu.

Tapi ia bergeming, dan terus saja menulis, sambil memperluas kemungkinan teoritis baru bagi puisi esai yang sudah kadung dilahirkannya. Belakangan ia bahkan menyebut puisi esai sebagai genre baru sastra. Tentu saja dengan sejumlah argumen yang cukup meyakinkan.

Tak pelak, serangan terhadap dirinya atas klaim tersebut kian menjadi-jadi. Lagi-lagi ia bergeming. Alih-alih surut langkah menghadapi kritik dan cercaan, ia malah membuat proyek nasional penulisan puisi esai yang melibatkan 170 penulis dari 34 propinsi di Indonesia.

Gagasan ini mendapat sorotan tajam dan sekaligus penolakan dari berbagai komunitas sastra karena dianggap manipulasi sastra. Sejumlah petisi dibuat. Tidak tanggung-tanggung, petisi itu disampaikan pula kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Para penandatangan petisi meminta pemerintah untuk ikut menghentikan proyek manipulatif tersebut. Menyikapi derasnya penolakan tersebut, Denny JA dengan santai bertanya, di mana salahnya orang berkarya? Dan apa urusannya dengan intervensi pemerintah, bukankah kebebasan berkreasi merupakan milik paling berharga para seniman, mengapa harus diserahkan kepada pemerintah?

Tahun lalu buku-buku tersebut diterbitkan dan diluncurkan, terdiri dari 34 buku puisi esai dari 34 provinsi. Jumlah penulis yang terlibat adalah 176 orang, dan masing masing menulis puisi esai dengan tema kearifan lokal masing-masing provinsi. Dari 34 buku puisi esai di setiap provinsi akan lahir 34 skenario film dengan durasi @50 menit. Ini serial film mini pertama yang semua skenarionya berdasarkan puisi esai.

Dalam menyemarakkan gerakan puisi esai, berbagai lomba juga telah diselenggarakan, yaitu lomba menulis puisi esai tingkat Asean yang karya-karya pemenangnya sudah dibukukan; lomba resensi buku puisi esai terbesar dan pertama yang semua resensinya dimuat di Facebook, yang juga sudah diterbitkan dalam sebuah buku; dan lomba kritik sastra pertama soal puisi esai yang menggunakan Vlog.

Selain itu telah terbit pula 5 (lima) buku puisi esai karya para pelajar SMA dari lima pulau. Juga telah diluncurkan puisi esai hasil karya 10 penyair Indonesia dan Malaysia yang secara khusus mengangkat isu soal hubungan 2 negara. Jadi total telah terbit 80 buku puisi esai.

Pada 2020 ini genap 8 tahun sudah usia puisi esai. Berbagai reaksi pro-kontra masih terus bermunculan, seakan menyediakan ruang bagi dirinya untuk diuji dalam laboratorium sejarah sastra. Sejauh ia mampu menyerap berbagai kritik itu menjadi vitamin, sejauh itu pula ia akan tumbuh dan berkembang. Faktanya sudah 8 tahun terakhir polemik seputar puisi esai terus bergulir.

Kehebohannya seakan tak kunjung usai. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kegaduhan yang ditimbulkan oleh puisi esai dan perintisnya, Denny JA, merupakan yang paling keras sejak kemerdekaan.

Diakui atau tidak, Denny JA akhirnya menjadi fenomena tersendiri dalam sastra. Selain karena kegaduhan-kegaduhan itu, juga karena visinya tentang masa depan sastra, dan khususnya puisi, yang ia kaitkan dengan era baru yang meniscayakan kebutuhan pada puisi genre baru, dengan kemasan baru, cara penyajian baru, dan melibatkan seni marketing dalam pemasaran produknya, sehingga lebih dikenal masyarakat. Semua itu fenomena baru, belum pernah ada sastra Indonesia.
 
*) Ahmad Gaus AF, adalah dosen Bahasa dan Budaya, Swiss German University (SGU) Tangerang, dan salah seorang tim penulis buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (2014).

Sumber: https://ahmadgaus.com/2019/12/25/sastra-yang-membebaskan/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait