Perubahan Perilaku Manusia Kunci Dasar Keberlangsungan Lingkungan Hidup Berkelanjutan

Pangkalpinang, Swakarya.Com. Upaya untuk mewujudkan energi hijau dan aplikasinya, serta langkah-langkah menciptakan lingkungan hijau yang berkelanjutan, pada dasarnya terletak pada perubahan prilaku manusia itu sendiri ke arah tersebut.

Banyak penelitian telah berhasil menciptakan produk ramah lingkungan atau green produc, namun perubahan perilaku manusia tetap menjadi kunci utamanya, seperti inovasi mendaur ulang sampah organik menjadi produk yang ramah lingkungan.

Seperti penyampaian hasil penelitian lima profesor dari empat negara pada hari pertama 1st International Conference on Green Energy and Environment (ICoGEE) 2019 di Sahid Bangka, Selasa (3/09/2019) pagi.

Lima profesor tampil sebagai pembicara utama ICoGEE yang berlangsung dua hari (3-4 September) itu adalah Prof Wen Chien Lee (National Chung Cheng University, Taiwan), Prof Orawan Siriratpiriya (Chulalongkorn University), Prof Hadi Nur (Universitas Teknologi Malaysia), Prof Misri Gozan (Universitas Indonesia) dan Prof Brian Yuliarto (ITB).

Selain lima profesor yang tampil dalam satu panel, usai istirahat siang giliran puluhan akademisi dan peneliti pun dalam satu panel membahas hasil penelitiannya di empat ruangan terpisah.

ICoGEE digelar bersamaan dengan Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (SNPPM) ke tiga 2019.

ICoGEE resmi dibuka oleh Rektor UBB Dr Ir Muh Yusuf MSi, didampingi Dekan Fakultas Teknik UBB Wahri Sunandar ST. M.Eng, lima profesor pembicara utama, Ketua Panitia ICoGEE R Priyoko Prayitnoadi PhD, moderator Dr Edy Nur Tjahya, Direktur Center for Delevopment of Sustainable Region Dr Rachmawan, Wakil Rektor I UBB Dr Mizwan Zuhri, Wakil Rektor 2 UBB Dr Sri Rahayu, Wakil Rektor 3 UBB Dr Sucipto, Ketua Panitia SNPPM UBB Herman, dan wakil dari Pemda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Prof Orawan Siriratpiriya, satu-satunya wanita dari lima pembicara utama (keynote speaker), ketika membahas penelitiannya berjudul “Environmental Sustainability and Zero Waste for Green Energy through Environmental Science Approach” menggarisbawahi pentingnya menerapkan falsafah ‘zero waste’ (ketidakadaan sisa/sampah” yaitu “close loop system”.

Daur ulang sisa bahan organik, baik yang dihasilkan rumahtangga maupun organisasi atau lembaga produksi komersial, menurut Orawan, menjadi asas utama “close loop system” sehingga memudahkan terwujudnya energi dan lingkungan hijau yang berkelanjutan.

Ia mengatakan, sikap yang konsisten dalam menerapkan “zero waste” harus disemai sejak kanak-kanak. Caranya dengan semenjak dini melibatkan anak-anak bercocok-tanam dan mencintai lingkungan.

Di Thailand, lanjut Orawan, prinsip atau strategi “zero waste” telah diterapkan dalam bentuk program Bath Concept, organic waste, agri waste, “low carbon technology” dan menghijaukan atap kampus Chulalongkorn University. Temuan lain adalah menggunakan serum lateks (latex serum) untuk meningkatkan produktivitas lateks.

Bioplastik Sementara itu Wen Chien Lee ketika memaparkan penelitiannya yang berjudul “Production of Bioethanol and Bio-based Chemicals from Lignocellulosic Biomas”, mengemukakan penemuan bioplastik, atau plastik alami yang bisa didaur-ulang.

Penemuan ini sekaligus menjawab kerisauan atas penggunaan plastik yang dapat hancur setelah ratusan tahun. Sekarang, untuk media pembungkus atau peruntukan lain, bisa menggunakan bioplastik ramah lingkungan yang dibuat dari siswa (‘waste”) bahan organik.

Selain bioplastik, menurut President of Asian Federation of Biotechnology (AFOB) ini, sekarang juga telah ditemukan bahan bakar minyak (BBM) ethanol — sebagai alternatif penganti energi dari bahan fosil. Namun sayangnya, biaya produksi ethanol lumayan mahal.

“Bahan bakar ethanol terbuat dari ‘waste’ tandan buah segar kelapa sawit dan rumput-rumputan. Sayangnya, biaya produksinya mahal. Tapi hasil sampingan dari ethanol berupa xylitol itu harganya mahal, meng’cover’ biaya pembuatan ethanol,” ujar Lee.

Sedangkan Prof Hadi Nur, dosen Universiti Teknologi Malaysia (UTM) menjawab pertanyaan salah seorang dosen tentang apakah ada Titanium Oksida (Ti02) di dalam Logam Tanah Jarang (rare mineral) di bumi Bangka Belitung, mengemukakan Titanium Oksida memang terdapat di dalam Logam Tanah Jarang di daerah ini. “Mengenai banyak-tidaknya, itu perlu dikakukan katerisasi dulu,” ujar Hadi Nur yang mengupas panjang-lebar hasil penelitiannya berjudul “Structure Photocatalytic and Activities Relationship of some Solid Controlled Material”.

Titanium oksida berperan penting dalam banyak bahan manufaktur, seperti campuran cat dan pelapis berbagai bahan untuk menapi gangguan organisme. Titanium oksida berfungsi sebagai bahan ‘pembersih’ bahan atau media yang dilapisinya.

“Titanium oksida sudah banyak diterapkan. Tapi selebihnya masih terus di riset kemanfaatan lainnya,” ujar Hadi Nur, akademisi Indonesia yang sejauh ini mencetak 30 PhD di UTM, Skudai, Johor Bahru, Malaysia.

Prof Misri Gozan dalam penelitiannya berjudul “Prelimenary Plant Design of Biofuel from Algae in Balikpapan, South Kalimantan” mengemukakan biodiesel merupakan salah satu energi alternatif, yang menjanjikan menggantikan bahan bakar fosil: digunakan saat ini.

“Biodiesel yang berasal alga, lokasi budidayanya paling bagus di Karingau, Kalimantan Selatan. Diperlukan lahan sekitar 7.700 meter persegi,” ujar Misri Gozan.

Menjawab pertanyaan seputar pemanfaatkan lahan bekas tambang dari salah seorang peserta ICoGEE, Misri — yang membuka paparannya dengan menayangkan video perkebunan kelapa sawit — menjelaskan, sebelum digunakan kita harus tahu lebih dahulu mineral apa yang kurang di lahan bekas tambang tersebut.

“Selain dipupuk, kita harus lebih dulu tahu mineral apa yang kurang. Kalau kurang ya bisa diberi pupuk,” tukas Misri.

Prof Brian Yuliarto mengemukakan panjang-lebar tentang penggunaan sensor yang berasal dari metal oksida. Sensor yang menggunakan bahan itu ternyata setelah diteliti lebih sensitif..

Di Jepang lanjut Brian Yuliarto, sensor sudah tidak hanya digunakan untuk mendeteksi penyakit, tapi sudah dikenakan untuk kepentingkan olahraga.

“Di bagian belakang kaus atlet di Jepang telah dipasang sensor, yang berfungsi mendeteksi stamina atlet. Pelatih bisa meminta atlet itu ke luar lapangan apabila sensor menyatakan staminanya menurun,” ujar profesor berusia muda ini. (Rls/Eddy Jajang J Atmaja, Agus Susanto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait