Penulis : Ahmad Gaus
Swakarya.Com. Anak-anak membakar petasan di ujung gang dan dilemparkan begitu saja ke arahku
Senyampang ledakan persis di wajahku, aku terlempar jauh sekali
Ke masa kanak-kanak, di bawah pohon kelapa
Ketika nenekku mengajari menganyam ketupat. “Nanti malam malaikat-malaikat akan turun,” katanya. “Kita beri mereka makanan enak supaya nanti kita ditunjuki jalan ke surga.”
Malam hari kulihat banyak sekali ketupat di mushalla tempat kami salat tarawih
Tapi usai qunut dan witir para jamaah melahap ketupat-ketupat itu dan sebagian dibawa pulang hingga tidak ada yang tersisa.
“Aku tidak melihat para malaikat makan ketupat, ke mana mereka?” Tanyaku.
Imam tarawih, yang tidak lain adalah kakekku, menjelaskan bahwa para malaikat akan datang di sepertiga malam. Maka malam itu aku dan teman-teman berjaga di mushalla. Sebagian memukul bedug dan yang lain saling memijat bergantian dengan cara menginjak badan. Tidak ada satu pun yang mengaji karena kami khawatir malaikat datang tanpa diketahui.
Lewat tengah malam listrik padam. Tapi langit begitu terang. Para malaikat beriringan membawa obor yang dibuat oleh nenekku. Menyebrangi sungai yang masih jernih dan luas di kampungku.
Penduduk mengikuti para malaikat itu dari belakang. Kakekku menyerukan agar semua berbaris rapi menuju sebuah bukit. Itulah tempat keutamaan, katanya, di mana para nabi telah menunggu ribuan tahun lamanya.
“Terus berjalan, terus!” Kakekku berseru lagi. Semua mengikuti perintahnya, menembus malam yang diterangi cahaya obor. Makin jauh kami berjalan suasana makin sunyi. Sampai ke lereng bukit. Kami mendengar rumputan dan batu-batu bertakbir.
Dari kejauhan aku mendengar sayup-sayup bunyi petasan berubah perlahan-lahan menjadi suara takbir. Melesap masuk ke lorong waktu yang sangat panjang, yang menghubungkan ruh dan jasadku.
Malam ini aku melihat almarhum kakek dan nenekku turun dari bukit membawa ketupat.