Fungsi Assessment Sebagai Pencegahan Pengulangan Tindakan Pidana Dalam Upaya Percepatan Revitalisasi Pemasyarakatan

Penulis: Laysah Afrika,S.H.,M.H.

Swakarya.Com. Masalah pengulangan tindak pidana bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara lainnya. Oleh karena itu pada umumnya negara-negara di dunia mempunyai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sistem pemenjaraan di negaranya masing-masing.

Negara Indonesia melalui Menteri Hukum dan HAM RI mengeluarkan Peraturan Nomor 12 Tahun 2013 tentang Assessment Resiko dan Assessment Kebutuhan Bagi Narapidana dan Klien Pemasyarakatan, Assessment diharapkan dapat memudahkan PK dalam melaksanakan tugas pembimbingan sehingga dapat mencegah pengulangan tindak pidana yang menjadi tolok ukur berhasil tidaknya bimbingan yang dilaksanakan oleh Bapas sehingga membantu percepatan revitalisasi pemasyarakatan.


Melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan, jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM bertekad melakukan akselerasi (percepatan) revitalisasi pemasyarakatan.

Dalam peraturan Menkumham tersebut diatas, revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan adalah upaya mengoptimalkan penyelenggaraan pemasyarakatan sebagai bentuk perlakuan terhadap tahanan, narapidana, dan klien serta perlindungan atas hak kepemilikan terhadap barang bukti.

Revitalisasi meliputi pelayanan tahanan, pembinaan narapidana, pembinaan klien, dan pengelolaan barang rampasan dan benda sitaan.


Point pembinaan dan pembimbingan dalam rangka percepatan revitalisasi pemasyarakatan tersebut salah satunya dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yaitu Balai Pemasyarakatan (selanjutnya disebut Bapas).

Fungsi teknis Bapas (yang dilaksanakan oleh Pejabat Fungsional PK dan APK) adalah melakukan penelitian, pendampingan, pembimbingan, pengawasan dan Sidang TPP.

Hampir semua fungsi teknis Bapas tersebut diawali dengan assessment sebagai tolok ukur awal untuk melaksanakan penelitian, pendampingan, pembimbingan, pengawasan dan Sidang TPP.

Salah dalam melakukan assessment maka pembinaan dan pembimbingan yang dilaksanakan oleh PK dan APK akan sulit mencapai tujuan pembimbingan yaitu mengurangi jumlah pengulangan tindap pidana (residivis) sehingga mengurangi beban Lapas yang over kapasitas dengan segudang permasalahan yang over crowded.


Dalam upaya revitalisasi pemasyarakatan tersebut, jajaran petugas pemasyarakatan banyak menemukan tantangan dalam rangka pembinaan narapidana dan pembimbingan klien pemasyarakatan.

Tantangan tersebut tidak terkecuali dirasakan oleh Balai Pemasyarakatan. Salah satu tantangan yang dirasakan oleh PK adalah bagaimana melakukan assessment yang sesuai standar penilaian, baik itu assessment resiko maupun assessment criminogenic.

Ketidakcakapan seorang PK dalam melakukan kegiatan assessement resiko maka akan berdampak pada tingginya tingkat pengulangan tindak pidana, begitu juga dengan assessment criminogenic yang kurang tepat akan berakibat rencana pembimbingan (case plan) yang tertulis dalam rekomendasi litmas tidak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.


Assessment resiko yang dilakukan oleh PK dapat mengurangi tingkat pengulangan pidana dengan cara mengetahui dengan detail WBP dan klien mana saja yang mempunyai potensi besar akan mengulangi tindak pidana, yang dampak jangka panjangnya akan mengurangi over kapasitas WBP di Lapas yang berarti secara tidak langsung PK mengurangi beban anggaran Negara untuk mengurusi WBP dan Klien Pemasyarakatan.

PK harus bisa mencari tahu siapa saja yang paling berpotensi untuk mengulangi tindak pidana, karena kepada merekalah sebenarnya fokus pekerjaan yang prioritas, dengan merekalah PK bekerja, dengan demikian PK tidak akan menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan anggaran bekerja hanya untuk WBP atau Klien Pemasyarakatan yang berpotensi resiko rendah melakukan pengulangan tindak pidana, tetapi PK akan lebih fokus bekerja untuk mereka yang berpotensi resiko tinggi mengulangi tindak pidana.


Ketidakakuratan PK dalam melakukan assessment criminogenic mangakibat rekomendasi penelitian kemasyarakatan pembinaan awal tidak bisa memberikan rekomendasi yang tepat mengenai program pembinaan seperti apa yang tepat diterapkan kepada mereka, kebutuhan akan apa yang paling mereka butuhkan dan intervensi seperti apa yang dilakukan terhadap WBP dan Klien Pemasyarakatan.


Namun sebaliknya dengan assessment yang baik dan memenuhi standar, akan berdampak pada rencana pembimbingan yang tepat guna sesuai dengan kebutuhan, jika seorang PK sudah mengetahui apa kebutuhan yang tepat bagi kliennya, maka klien tersebut akan mendapat intervensi yang sesuai dengan apa yang ia butuhkan.


Assessment resiko maupun assessment kebutuhan, merupakan instrumen bagi PK untuk menentukan pembinaan terhadap narapidana yang sedang menjalani pidananya dan menentukan pembimbingan bagi klien pemasyarakatan yang sedang menjalani masa integrasinya kedalam masyarakat melalui rekomendasi Litmas.

Rekomendasi Litmas yang tepat sasaran, diharapkan dapat mengurangi angka pengulangan tindak pidana, oleh karena itu dibutuhkan assessment resiko dan assessment kebutuhan secara tepat dan berkelanjutan (continuitas).


Selain berfungsi untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana, assessment juga berperan sangat penting dalam mendukung percepatan revitalisasi pemasyarakatan.

PK akan melakukan penelitian dan assessment awal (menggunakan instrument assessment 5 dimensi) yang akan menilai pola perilaku warga binaan pemasyarakatan yang kemudian akan menjadi penentu dalam menetapkan kategori Lapas/Rutan yang sesuai untuk warga binaan pemasyarakatan yang bersangkutan.


Melalui rekomendasi litmas awal yang menggunakan instrument assessment 5 dimensi, maka PK akan menentukan kategori WBP kedalam diantaranya kategori dibawah ini; Pertama, Lapas Super Maksimum Security, merupakan Lapas yang ditempati oleh narapidana yang berisiko tinggi yakni narapidana yang dinilai dapat membahayakan keamanan Negara atau masyarakat.

Program pembinaan yang dilakukan berupa pembinaan kesadaran beragama, bernegara, berbangsa, sadar hukum, dan konseling Psikologi yang bertujuan supaya narapidana tersebut nantinya dapat dipindahkan ke Lapas maksimum security.

Kedua, Lapas Maksimum Security merupakan Lapas yang ditempati oleh narapidana dari Lapas Super Maksimum Security yang telah menunjukkan perubahan sikap dan perilaku serta penurunan tingkat risiko.

Program pembinaan yang dilakukan hampir sama dengan Lapas Maksimum Security tetapi fokus kepada rehabilitasi yang bertujuan agar narapidana tersebut menyadari kesalahannya, menumbuhkan kesadaran untuk patuh terhadap hukum dan tata tertib serta peningkatan disiplin, sehingga nantinya bisa dipindahkan ke Lapas Medium Security.

Ketiga, Lapas Medium Security merupakan Lapas yang ditempati oleh narapidana dari Lapas maksimum security yang telah menunjukan perubahan sikap dan perilaku yang sadar akan kesalahan, patuh terhadap hukum dan tata tertib serta disiplin.

Program pembinaan yang dilakukan pendidikan dan pelatihan tingkat pemula, lanjutan, dan tingkat mahir sehingga nantinya bisa dipindahkan ke Lapas Minimum Security.

Keempat, Lapas Minimum Security merupakan Lapas yang ditempati oleh narapidana dari Lapas Medium Security yang telah menunjukan perubahan sikap dan perilaku, peningkatan kompetensi dan kemampuan diri sesuai dengan hasil litmas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait