Oleh: Abriel Rumi/ Mahasiswa Hukum
Dilansir dari pengertian parlemen dalam rumusan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa sejatinya parlemen diartikan sebagai badan yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang dipilih dan bertanggung jawab atas perundang-undangan dan pengendalian anggaran keuangan negara. Selain itu, KBBI juga memahami parlemen sebagai padanan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam sistem demokrasi modern, parlemen merupakan badan yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui Pemilu untuk menyuarakan kepentingan rakyat serta memiliki fungsi membuat undang-undang (legislasi), fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan terhadap kinerja dari pemerintah. Di Indonesia, lembaga parlemen dapat dilihat sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan terbentuknya lembaga Volksraad tahun 1918. Kemudian pada masa awal kemerdekaan, lembaga parlemen diwakili oleh KNIP. Periode KNIP berlangsung sejak 29 Agustus 1945 hingga 15 Februari 1950.
Setelah itu, lembaga parlemen masuk periode DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (RIS), yaitu 15 Februari 1950 – 16 Agustus 1950. Selanjutnya, selama periode 16 Agustus 1950 – 26 Maret 1956, parlemen Indonesia terdiri atas DPRS dan MPRS. Setelah pemilu pertama tahun 1955, nama lembaga parlemen kembali menjadi DPR hingga Dekrit Presiden 1959. Setelah Dekrit Presiden yang kembali menggunakan konstitusi UUD 1945, Presiden menggunakan kewenangannya, membubarkan DPR dan kemudian memilih dan mengangkat anggota parlemen baru dalam wadah DPR Gotong-Royong. Lembaga parlemen itu menjalankan tugasnya hingga periode akhir rezim Orde Lama dan awal Orde Baru.
Sejak tahun 1971, anggota lembaga parlemen dipilih melalui proses Pemilu. Lembaga parlemen ini terdiri dari MPR dan DPR. MPR sendiri terdiri dari DPR, utusan golongan, dan utusan daerah. Sementara, pada era Reformasi, parlemen Indonesia terdiri dari lembaga MPR, DPR, dan DPD. Lembaga MPR sendiri terdiri atas DPR dan DPD.
Pemilihan anggota parlemen menurut aturan regulasi Ketentuan yang mengatur masa jabatan anggota dewan yang termaktub dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dinilai tidak tegas. Sebab, pasal tersebut tidak mencantumkan batasan berapa kali seseorang dapat menjabat sebagai anggota dewan.
Selain itu, terdapat aturan regulasi juga pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Yang mana dalam aturan UU MD3 tersebut menyatakan tidak adanya batasan limitasi bagi para anggota dewan dalam menjabat. Hal ini menurut penulis tidak sejalan dengan presiden yang dibatasi masa periode jabatannya sebanyak 2 kali periode. Sehingga para anggota parlemen dapat dipilih berulang kali.
Pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat menjadi perlu dikarenakan melihat keadaan Indonesia saat ini. Tidak adanya kemajuan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, salah satunya juga bersumber dari anggota lembaga perwakilan rakyat yang tidak memiliki inovasi serta perbaikan sistem kerja. Kenyataan penulis sejatinya bersejalan dengan pandangan Giovanni Sartori yang menyatakan, masalah dalam sistem pemerintahan presidensial bukan terletak di lingkungan kekuasaan eksekutif, tetapi lebih pada kekuasaan legislatif. Argumentasi penulis ini bermaksud untuk menguraikan pendapat perihal perlunya pembatasan periodisasi keanggotaan lembaga legislatif dengan sejumlah alasan atau pertimbangan.
Pandangan penulis bahwa pembatasan periodisasi jabatan lembaga legislatif ialah untuk menjamin hak asasi warga negara. Hakikaktnya, Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, termasuk untuk menjadi anggota dewan perwakilan rakyat.
Adanya kaidah yang memberi kesempatan yang sama bagi warga negara untuk terlibat dalam pemerintahan menggambarkan adanya dimensi keadilan dalam
sebuah peraturan perundang-undangan. Hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan tidak hanya dijamin oleh konstitusi, tetapi juga Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik. Konvenan ini tidak hanya menjamin hak-hak dan kebebasan karakter pribadi, namun juga melindungi hak-hak individual sebagai warga negara, sebagai peserta dalam urusan umum, sebagai pemilih, dan sebagai pelayan masyarakat.
Penulis memaknai klausul “harus mendapat perlakuan universal dan seimbang” dalam Pasal 25 huruf b Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik sebagai dasar untuk melakukan pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat. Tidak adanya pembatasan periodisasi menyebabkan adanya ketidakseimbangan antara orang yang baru mencalonkan diri sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat dengan calon yang lama.