Penulis: Joni Ihsan, SH.,MH., PK Bapas Kelas I Palembang
Swakarya.Com. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM mengambil langkah konkret dalam mencegah penularan Corona Virus Disease yang ditemukan pertama kali pada akhir tahun 2019 (selanjutnya disingkat Covid 19).
Langkah konkret yang diambil adalah kebijakan pengeluaran narapidana/anak berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi Dan Hak Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Corona.
Secara normatif, pertimbangan diambilnya langkah konkret ini dapat kita lihat pada konsideran peraturan tersebut yaitu: bahwa Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara merupakan sebuah institusi tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi, sangat rentan terhadap penyebaran dan penularan Covid-19, bahwa Covid-19 telah ditetapkan sebagai bencana nasional non-alam, perlu dilakukan langkah cepat sebagai upaya penyelamatan terhadap tahanan dan warga binaan pemasyarakatan yang berada di Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara, bahwa untuk melakukan upaya penyelamatan terhadap narapidana dan anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara, perlu dilakukan pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dan integrasi untuk pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19;
Pertimbangan Menteri Hukum dan HAM tersebut seirama dengan himbauan World Health Organisation (WHO) yang menyebutkan bahwa ada tiga tempat yang memungkinkan penyebaran virus corona lebih cepat dan masif, ketiga tempat tersebut yaitu: Tempat ramai atau kerumunan, tempat ramai atau kerumunan merupakan tempat yang ideal bagi penyebaran covid 19, batas jarak 1 meter tersebarnya virus susah dicegah, sehingga membuat penyebaran virus corona lebih memungkinkan dan cepat, kerumunan juga memungkinkan kontak fisik lebih besar.
Lapas dan rutan yang overcrowded adalah tempat yang cepat bagi penularan viru ini. Tempat sempit, tempat sempit tidak memungkinkan untuk menjaga jarak (sosial distancing), di Lapas dan Rutan mengharuskan orang berdekatan dan kontak fisik karena jumlah hunian yang overcrowded dan tempat tertutup terutama yang tidak memiliki ventilasi.
Hal ini membuat peredaran udara tidak sehat dan udara di dalam ruangan terus berputar dan berisiko membawa virus dari satu orang ke lain orang. Menurut penelitian WHO, covid 19 adalah virus yang bersifat airborne (dapat menular melalui udara), maka kamar-kamar di dalam Lapas dan Rutan yang merupakan ruang tertutup menjadi tempat yang cepat tingkat penularannya.
Berdasarkan data Ditjenpas, Overcrowded atau kelebihan kapasitas dalam Lapas/Rutan memperlihatkan persentase yang sangat tinggi. Jumlah Lapas/Rutan yang terdapat di seluruh Indonesia mencapai 528 unit dengan kapasitas sebanyak 130.512 orang. Sedangkan tingkat hunian (ocupancy rate) Lapas/Rutan saat ini mencapai 269.846 orang, hal tersebut mengakibatkan overcrowded hingga 107%, melihat angka ini tidak salah jika penulis mengatakan Lapas/Rutan di Indonesia mengalami extreme overcrowding.
Akibat extreme overcrowding ini berdampak akan munculnya masalah-masalah baru termasuk percepatan penularan covid 19 pada masa pandemi.
Terlepas dari unsur subjektif penulis sebagai Pembimbing Kemasyarakatan pada Bapas Kelas I Palembang, namun berdasarkan data yang penulis himpun, program ini telah membawa sejumlah dampak yang positif bagi Lapas/Rutan.
Dalam rapat dengar pendapat antara Dirjenpas Bapak Reinhard Silitonga bersama Komisi III DPR RI (Senin, 11 Mei 2020) terjadinya penurunan tingkat overcrowded di Lapas/Rutan yang semula 270.231 (overcrowded 107%) menjadi 231.609 (overcrowded 75%).
Namun tidak dapat dipungkiri, tidak semua WBP dan Andikpas yang dikeluarkan mematuhi peraturan selama asimilasi sehingga mereka mengulangi lagi tindak pidana (residive) dengan berbagai alasan.
Menurut Menteri Hukum dan HAM saat RDP dengan Komisi III DPR RI (Senin, 22 Juni 2020), sebanyak 222 orang WBP asimilasi mengulangi tindak pidana, jika dipersentasekan jumlah ini sangat kecil, yaitu hanya 0,6 persen nya saja. Terlepas dari unsur subjektifitas, penulis menganggap angka ini sangatlah kecil belum sebanding dengan dampak positif yang telah dicapai berkat kebijakan ini.
Selain itu, Ditjenpas tidak tinggal diam jika terjadi pelanggaran terhadap program ini, sanksi apabila melanggar program asimilasi dan integrasi siap diterima bagi para narapidana tersebut. Hak asimilasi dan integrasi akan dicabut bagi mereka yang kedapatan berulah kembali, juga kasus pidana yang baru akan turut serta ditambahkan dalam daftar kasus napi yang bersangkutan.
Selain itu, mereka juga akan dimasukkan ke dalam straft cell atau sel pengasingan dan tidak diberikan hak remisi sampai waktu tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Akibat langsung yang dirasakan karena pengulangan tindak pidana ini, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat, bagi narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang mengulangi tindak pidana akan di cabut dan kembali menjalani sisa pidananya didalam Lapas. Adapun pranata yang diberi kewenangan untuk melakukan pencabutan hak asimilasi adalah Balai Pemasyarakatan (disingkat Bapas).
Dari 222 orang Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan mengulangi tindak pidana dan di cabut hak asimilasinya, ada 1 narapidana yang menjadi berita hangat saat ini yaitu Bahar Bin Smith. Kasus Bahar bin Smith menjadi berbeda sebab pencabutan asimilasi bukan karena mengulangi tindak pidana.
Berita ini kembali menjadi sorotan karena Bahar Bin Smith melalui pengacaranya menggugat Surat Keputusan Kepala Bapas tentang Pencabutan Sementara Asimilasi Dirumah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Gugatan terhadap Surat Keputusan Kepala Bapas ini menjadi menarik untuk dikaji karena gugatan ini merupakan pertama dalam sejarah berdirinya Bapas di Indonesia. Tulisan ini mencoba mengkaji gugatan yang diajukan oleh Bahar Bin Smith terhadap Kepala Bapas Bogor terkait sengketa, obyek dan gugatan tata usaha negara.
Kronologi Gugatan
Bahar Bin Smith mendapat program asimilasi dirumah berdasarkan SK Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Cibinong Nomor W11.PAS.PAS.11PK.01.04-1473 Tahun 2020.
Namun baru beberapa hari menjalani asimilasi dirumah, Habib Bahar Bin Smith di jebloskan lagi ke Lapas oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas Kelas II Bogor sebagai PK diberi kewenangan untuk membimbing dan mengawasi program asimilasi. Habib Bahar Bin Smith dianggap melanggar persyaratan program asimilasi dirumah oleh PK Bapas Kelas II Bogor sehingga hak asimilasinya harus di cabut dan dijebloskan lagi ke Lapas.
Namun Habib Bahar Bin Smith tidak menerima hal ini, ia mengajukan gugatan perihal program asimilasi yang dicabut Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Bogor. Gugatan itu telah dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Kuasa hukum Bahar bin Smith, Azis Yanuar mengatakan, gugatan berkaitan dengan dicabutnya program asimilasi Habib Bahar melalui Surat Keputusan (SK) Kepala Bapas Kelas II Bogor Nomor. W11.PAS.PAS33.PK.01.05.02-1987 tanggal 19 Mei 2020 tentang pencabutan Surat Keputusan Kepala Lapas Kelas IIA Cibinong Nomor W11.PAS.PAS.11PK.01.04-1473 Tahun 2020 tanggal 19 Mei 2020 telah didaftarkan ke kepaniteraan PTUN Bandung 01 Juli 2020.
Menurut pengacaranya, alasan pencabutan dinilai kurang jelas dan subjektif yaitu melanggar PSBB dengan mengumpulkan massa dalam ceramahnya dan isi ceramah yang dianggap meresahkan masyarakat.
Gugatan tersebut terdaftar dalam perkara nomor 73/G/2020/PTUN.BDG. Sidang perdana gugatan pembatalan SK Kepala Bapas yang mencabut asimilasi Habib Bahar telah dilaksanakan Kamis pukul 10.00 WIB di kantor PTUN Jawa Barat di Bandung dengan agenda pemeriksaan berkas perkara. Pihak Bapas Kelas II Bogor pun melalui PK Bapas Bapak Budiyana, siap menghadapi gugatan ini.
PK Bapas Kelas II Bogor menilai, Habib Bahar telah melakukan sejumlah tindakan yang dianggap menimbulkan keresahan di masyarakat, yakni menghadiri kegiatan dan memberikan ceramah yang provokatif serta menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian kepada pemerintah.
Selain itu, Habib Bahar juga dinilai melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah kondisi darurat Covid-19 dengan mengumpulkan massa dalam pelaksanaan ceramahnya.
Sengketa Tata Usaha Negara
Pasal 1 UU No. 51 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan pejabat TUN menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan berlaku.
Berdasarkan bunyi pasal-pasal diatas, subjek hukum (pengugat dan tergugat) dalam sengketa TUN adalah perorangan atau badan hukum perdata (Habib Riziq yang diwakili oleh pengacaranya) dan tergugat badan atau pejabat TUN dipusat maupun didaerah (Kepala Bapas Kelas II Bogor).
Kepala Bapas Kelas II Bogor adalah Pejabat Tata Usaha Negara karena melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan berlaku, maka sengketa ini merupakan sengketa Tata Usaha Negara.
Gugatan Tata Usaha Negara
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan. Sehingga yang menjadi tergugat adalah badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Habib Bahar menggugat Surat Keputusan (SK) Kepala Bapas Kelas II Bogor Nomor: W11.PAS.PAS33.PK.01.05.02-1987 tanggal 19 Mei 2020 tentang pencabutan Surat Keputusan Kepala Lapas Kelas IIA Cibinong Nomor: W11.PAS.PAS.11PK.01.04-1473 Tahun 2020 tanggal 19 Mei 2020. Kepala Bapas Kelas II Bogor adalah Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya, maka gugatan Habib Bahar termasuk kedalam kategori Gugatan Tata Usaha Negara.
Objek Sengketa
Objek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara, Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi objek sengketa adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Bersifat konkret diartikan bahwa obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. SK Kepala Bapas Kelas II Bogor jelas tidak abstrak, karena ia berwujud, tertentu atau dapat ditentukan sehingga terpenuhi syarat konkret sebuah keputusan.
Bersifat individual, diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi ditujukan tertentu baik alamat maupun orang yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari satu orang, maka tiap-tiap individu harus dicantumkan namanya dalam keputusan tersebut. SK Kepala Bapas Bogor jelas ditujukan kepada Bahar Bin Smith sebagai individu yang namanya tertera dalam keputusan tersebut, oleh karena itu SK Kepala Bapas Bogor merupakan objek sengketa dalam PTUN.
Bersifat final, diartikan keputusan tersebut sudah definitif yang mengikat, keputusan yang tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya keputusan ini dapat menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum, sedangkan peristiwa hukum itu sendiri disebabkan oleh perbuatan hukum. Apakah SK Kepala Bapas Kelas II Bogor berakibat hukum bagi Bahar Bin Smith? Iya, berdasarkan SK tersebut akibat hukumnya Bahar Bin Sminth harus kembali mendekam kedalam Lapas, namun apakah terdapat peristiwa hukum yang disebabkan oleh perbuatan hukum Bahar Bin Simith (melanggar PSBB, ceramah provokatif dan meresahkan masyarakat)?, hal inilah yang menjadi alasan gugatan Bahar Bin Smith melalui pengacaranya dan menarik untuk diikuti.
SK Kepala Bapas Kelas II Bogor tersebut memang bersifat konkret dan individual, namun menurut hemat penulis SK tersebut belum final karena bersifat sementara masih menunggu persetujuan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, SK pencabutan sementara tersebut hanya salah satu syarat dari pengusulan pencabutan yang diajukan oleh Kabapas kepada Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham setempat untuk kemudian diteruskan ke Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
Adapun dasar hukum kewenangan Kepala Bapas untuk mengeluarkan SK pencabutan sementara adalah pasal 142 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 03 Tahun 2018 yang berbunyi “Dalam hal Kepala Bapas menyetujui usulan pencabutan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepala Bapas mencabut sementara pelaksanaan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat”.
Sementara pasal 143 ayat (4) berbunyi “dalam hal direktur jenderal menyetujui usulan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3), Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan HAM RI menetapkan keputusan pencabutan keputusan kepala Lapas/Rutan”.
Berdasarkan bunyi pasal diatas, SK pencabutan Definitif (yang final and binding) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan HAM R.I. setelah memeriksa usulan pencabutan atas nama Habib Bahar yang diusulkan Kabapas Kelas II Bogor melalui Kakanwil Kemenkumham Jawa Barat.
Artinya, keputusan final ada pada Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan HAM R.I. bukanlah kewenangan Kepala Bapas, berarti juga bahwa jika Direktur Jenderal Pemasyarakatan berpendapat lain dan tidak menyetujui pencabutan tersebut, maka SK Kepala Bapas tersebut dengan sendirinya batal demi hukum.
Jika batal demi hukum, SK Pencabutan Sementara Asimilasi Bahar Bin Smith yang diterbitkan oleh Kepala Bapas Bogor dianggap tidak sah dari awal, dengan demikian Bahar Bin Smith tidak perlu repot-repot menggugat ke PTUN karena dengan sendirinya SK Kepala Bapas menjadi tidak sah jika usulan pencabutan tidak dikabulkan oleh Dirjenpas.
SK Kepala Bapas Bogor yang digugat oleh Bahar Bin Smith merupakan SK yang belum final karena bersifat sementara masih menunggu SK Definitif yang bersifat final, pada pasal 142 dan 143 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 03 Tahun 2018 senada pula dengan bunyi Pasal 2 huruf c UU No. 9 Tahun 2004, berbunyi “yang tidak termasuk ke dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara dalam UU No. 5 Tahun 1986 berserta perubahannya adalah: c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
Dari kajian secara yuridis normatif tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa gugatan Bahar Bin Smith terhadap tergugat Kepala Bapas Kelas II Bogor, objek gugatan yang digugat adalah Surat Keputusan (SK) Kepala Bapas Kelas II Bogor Nomor. W11.PAS.PAS33.PK.01.05.02-1987 tanggal 19 Mei 2020 tentang pencabutan Surat Keputusan Kepala Lapas Kelas IIA Cibinong Nomor W11.PAS.PAS.11PK.01.04-1473 Tahun 2020 tanggal 19 Mei 2020 termasuk Keputusan Tata Usaha Negara bersifat konkret, individual namun belum final.
Walaupun keputusan tersebut konkret dan individual namun keputusan Kepala Bapas Bogor belum final, hanya bersifat sementara, masih memerlukan persetujuan atasan dan keputusan final akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan HAM R.I.***