Penulis: Ahmad Fauzan Baihaqi, Tenaga Kependidikan STKB dan Pengamat Sejarah Kesehatan
Bandung, Swakarya.Com. Pandemi Covid-19 atau SARS-Cov-2 yang sudah berlangsung selama hampir 6 bulan sejak ditemukan di Wuhan dan tersebar ke seluruh dunia menyebabkan krisis lintas sektoral terjadi diberbagai belahan Dunia.
Dalam catatan sejarah, fenomena Pandemi bukanlah hal yang baru, sejarah telah mencatat bahwa pandemik adalah bagian tragedi kemanusiaan selain bencana alam dan peperangan.
Dalam siklus sejarah wabah terjadi setiap siklus 100 tahunan dan biasanya terjadi pada musim dingin dan hal ini tidak ditampik para sejarawan kesehatan.
Ada dua hal mendasar yang menjadi permasalahan pertama, walau dampak akibat wabah ini sangat besar namun jarang menjadi perhatian para penguasa dan kedua, edukasi yang kurang kepada masyarakat mengenai cara berfikir saintik untuk hidup sehat.
Di Indonesia hal ini sangat nyata sehingga kita tidak heran sulitnya mendisiplinkan aktifitas masyarakat kita dan faktor perhatian pemerintah menjadi problem mendasar.
Pandemi terbesar yang terekam dalam sejarah pada awal Masehi terjadi di Eropa yaitu pandemi Yustinianus terjadi tahun 541-562 M dan 1 abad kemudian muncul wabah amwash di Timur Tengah wilayah sekitar Syam tahun 688-689 M dan begitu seterusnya terjadi pada tahun 775 M di Mekkah mucul wabah Tha’un, yang kita kenal dalam literasi sejarah Islam klasik terjadi pada bulan Ramadhan.
Dalam penyelesaian wabah tersebut sebagaimana tertulis dalam manuskrip abad ke 11 M, “Ar Risalah Al Mughniyah al Sukuuri fil Baiti” karya Hasan Al Banna, terdapat sebuah peringatan bahwa dalam keadaan wabah
“Diam dirumah dan bahagia lebih baik ketimbang terlalu banyak aktifitas diluar”
Dalam catatan sejarawan Eropa M.Dools, menuliskan ketika pandemik ‘The Black Death’ melanda Eropa pada abad ke-14 selama 4 tahun mengakibatkan banyaknya kasus kematian bahkan proses pemakaman massal mencapai 1000 orang per hari. Saat itu rumah-rumah ibadah harus ditutup.
Fenomena wabah memang biasanya terjadi diawali kerusakan alam yang dahsyat, dan seperti evolusi kehidupan untuk kembali seperti semua, alam ingin meriset ulang dunia yang ingin sembuh dengan caranya sendiri.
Pandemi Flu Spanyol
Seperti juga terjadi saat Pandemi Flu Spanyol pada abad ke 20 menjelang berakhirnya Perang Dunia ke-1, sebuah pandemi influenza terganas jenis H1N1-1918 mulai merebak ke seluruh dunia pada tahun 1918 dimulai dari Eropa, lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Praktis populasi dunia saat itu yang hampir 3 Milyar, diperkirakan sepertiganya terjangkit virus influenza. Penyakit ini memiliki masa inkubasi yang cepat, dalam kurun waktu kurang dari tiga hari, pasien dapat meninggal dunia setelah mengalami kontak langsung dengan pasien yang tertular terlebih dahulu.
Karena hal tersebut menyebabkan banyaknya korban jiwa bahkan jumlah korban dalam setahun jauh melebihi pandemi The Black Death di abad ke-14 M. Di Amerika Serikat pemerintah menutup semua tempat-tempat umum yang memungkinkan terjadinya kerumunan.
Di Hindia Belanda virus influenza ini menyerang kota-kota internasional seperti Banten, Batavia, Cirebon, Semarang dan Surabaya melalui jaringan perdagangan.
Pemerintah kolonial sendiri awalnya menutup-nutupi namun karena korban semakin meningkat karena diketahui korban jiwa yang terenggut mencapai 1 juta jiwa.
Banyaknya korban jiwa dari penduduk asli salah satu penyebabnya adalah karena tidak memiliki uang untuk berobat, para dokter pemerintah lebih memilih melayani orang-orang Eropa dan China, akhirnya warga pribumi lebih memilih ke dukun atau ramuan tradisional.
Secara umum beberapa wabah yang terjadi pada masa lampau ada kemiripan dengan Sars Cov-2 atau Covid-19 seperti objek tubuh yang terjangkit adalah sakit paru-paru (pneumonia).
Dengan mengedukasi masyarakat untuk berprilaku sehat dan menguatkan jaring pengaman sosial bagi kelangsungan hidup masyarkat adalah sikap yang harus diwariskan untuk kebaikan generasi kita berikutnya.