Penulis : Novelly Siregar, S.H. (Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas Kelas I Palembang)
Swakarya.Com. Anak sebagai generasi penerus, sering disalahartikan sebagai komoditas oleh orang dewasa. Sehingga pola asuh yang tidak sesuai dengan tumbuh kembang anak dapat memicu mereka menjadi anak konflik hukum. Keberadaan anak harus mendapatkan perlindungan baik dari orang tua, lingkungan maupun negara.
Anak yang berhadapan dengan hukum seringkali harus menyelesaikan permasalahannya di peradilan pidana anak. Sementara itu, peraturan dan perundang-undangan yang ada masih belum optimal dalam memberikan perlindungan, khususnya yang berkaitan perlindungan kepada anak sebagai saksi dalam peradilan pidana.
Perlindungan hukum kepada anak sebagai saksi dalam proses peradilan pidana antara lain berbentuk jaminan keselamatan, perlindungan jati diri, hak mendapatkan pendampingan,dan hak untuk didampingi pembela, hal ini diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak.
“Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri”
Keberadaan anak saksi dalam sistem peradilan pidana anak yang ada dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Bab VII pada Pasal 89 sampai dengasn Pasal 91 dalam ketentuan Pasal 89 disebutkan bahwa Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berikut ini hak-hak Anak Korban dan/atau Anak Saksi diantaranya :
a. Upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b. Jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial;dan
c. Kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Perlindungan terhadap saksi anak dalam menyelesaikan perkara anak sangat diperlukan sebagai jaminan akan perlindungan hak asasi anak dan pemenuhan akan hak-haknya, keterangan dan/atau informasi yang diberikan oleh anak guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pengadilan tentang suatu perkara yang terjadi.
Anak yang menjadi korban dan/atau saksi suatu tindak pidana bisa saja mengalami trauma yang begitu mendalam sehingga untuk memberi suatu kesaksian mengenai tindak pidana yang terjadi sering mengalami kendala, dengan demikian dibutuhkan cara khusus agar anak lancar dalam memberikan keterangannya akan tetapi tidak jarang juga anak mengalami trauma yang mendalam akibat dari suatu tindak, peranan saksi anak yang mengalami, melihat dan/atau mendengar dapat membantu mengungkap kebenaran.
Selanjutnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya sedikit sekali menyinggung tentang Anak, yaitu Pasal 153 ayat (3), 153 (5), 171 sub a. Pasal 153 (3) KUHAP menetapkan “Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwa adalah anak-anak”.
Pasal 153 (5) KUHAP menetapkan “Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang”. Pasal 171 sub a KUHAP menetapkan “Yang telah diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah ialah: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin”. Di dalam ketentuan KUHAP juga mengatur ketentuan yang tidak dapat menjadi saksi adalah
- keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
- Saudara dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
- suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menjadi acuan perlindungan terhadap anak tidak mengatur saksi anak secara khusus, yang diatur adalah saksi korban akibat dari suatu tindak pidana akan tetapi dalam kenyataannya, seorang saksi seringkali disamakan dengan korban karena korban dapat memberikan kesaksiannya untuk pembuktian dalam mengungkap kebenaran untuk proses peradilan. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Mengacu pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Perlindungan secara khusus terhadap anak sebagai saksi tidak ada diatur. KUHAP tidak memisahkan saksi dewasa dengan saksi anak. Pasal 113 KUHAP menyatakan bahwa : jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.
Dalam konteks penyesuaian isi maka Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengalami perubahan karena dipandang tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku saat ini. Dengan lahirnya Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan Pidana anak membuat dunia peradilan anak semakin nyata karena dalam undang-undang tersebut dipisahkan anak sebagai pelaku, saksi dan korban. Undang-undang tersebut telah memberikan kejelasan pengaturan anak sebagai saksi tindakpidana.
hak-hak anak sebagai saksi yaitu:
a. Sebelum Persidangan:
1) hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang tanggap/peka, tanpa mempersulit parapelapor;
2) hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan penderitaan fisik, mental dan sosial dari siapa saja karena kesaksiannya;
3) hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan sebagai saksi
b. Selama Persidangan:
1) hak untuk dapat fasilitas untuk menghadiri sidang sebagai saksi
2) hak untuk mendapat penjelasan mengenai tata cara persidangan.
c. Setelah Persidangan:
Hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan-tindakan mental, fisik dan sosial dari siapa saja.
Kemudian Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam hal Anak Korban dan/atau Anak Saksi tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, Hakim dapat memerintahkan Anak Korban dan/atau Anak Saksi didengar keterangannya: a. Di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan di daerah hukum setempat dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya; atau b. Melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual dengan didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendampinglainnya. Sebagaimana diketahui, saksi sangat berperan penting dalam membantu mengungkap kebenaran dari suatu tindak pidana.Termasuk pada anak-anak yang menjadi saksi. Akan tetapi, selama ini saksi anak belum mendapat perlindungan yang memadai. Perlindungan terhadap anak sebagai saksi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menunjukkan pentingnya perlindungan terhadap anak adanya pengaturan mengenai perekaman elektronik merupakan pelayanan saksi untuk mengurangi rasa “takut” dengan atribut-atribut peradilan secara formal disidang pengadilan. Dengan demikian si anak sebagai saksi dalam memberi keterangan akan lebih bebas dan leluasa disamping mereka didampingi oleh orang tua/wali maupun petugas pembimbing pemasyarakatan anak. Hal lain yang mengalami perubahan mendasar dalam perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yakni adanya penyelesaian perkara di luar peradilan yang dikenal dengan diversi dalam pelaksanaannya melibatkan semua pihak untuk secara musyawarah menyelesaiakan perkara anak dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative, artinya pembalasan bukan lagi merupakan cara yang terbaik dalam menyelesaiakan perkara anak yang berhadapan dengan hukum akan tetapi pemulihan keadaan yang harus diutamakan dengan menumbuhkan rasa tanggungjawab terhadap anak akibat dari suatu tindak pidana dengan demikian diharapkan dapat memberikan rasa keadilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum.***