Oleh Mohammad Reivendra
Bandung, Swakarya.Com. Book Review: P. Swantoro Perdagangan Lada Abad XVII; Perebutan “Emas” Putih dan Hitam di Nusantara
P. Swantoro dan Persembahan Terakhirnya
Drs. Polycarpus Swantoro, ialah seorang jurnalis senior sekaligus sebagai pendiri Kompas Gramedia Group bersama kolega sekaligus sahabatnya Jacob Oetama, ia juga merupakan dosen sejarah pada fakultas sastra di salah satu universitas ternama Gajah Mada.
Barangkali kombinasi keduanya memberikan warna tersendiri dalam melahirkan karya-karyanya dalam dunia literatur. Setidaknya ada dua karya tulisnya yang dikenal public yaitu Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, dan buku terakhirnya sebelum ia tutup usia pada bulan Agustus 2019, di umur 87 tahun, yaitu Perdagangan Lada Abad XVII; Perebutan “Emas” Putih dan Hitam di Nusantara.
Adapun buku terakhirnya tersebut memberikan sudut pandang lain terhadap dinamika rempah terutama lada yang terlanjur terbentuk sejak lama dalam persepsi masyarakat pada umumnya, bahwa perputaran serta pengaruh lada hanya di bagian timur Indonesia yaitu Maluku dan Banda saja. Sehingga Swantoro berinisiasi untuk membuka “ruang” lain dalam “bangunan” nusantara tentang dinamika lada di bagian barat Indonesia yang mungkin belum terekspose sebelumnya pada abad ke-17.
Berbicara tentang lada seakan lekat dengan aspek kolonialisme, demikian juga tentu akan banyak ditemukan pada bukunya. Namun demikian ia pun memberi interpretasi berbeda tentang lada, yang tidak melulu atas kepentingan perusahaan dagang Belanda (VOC) tersebut.
Tetapi juga bagaimana aspek lokal yaitu kerajaan-kerajaan di belahan barat nusantara itu, yang justru menggunakan jasa VOC itu sendiri sebagai langkah ekpansi kerajaan/kekuasaannya demi memperluas spektrum dagangnya terutama komiditas lada itu sendiri.
Demikian pula pemaparan Swantoro terhadap lada dapat disampaikan dengan cukup ciamik dan kaya akan data dari berbagai sumber terdahulu.
Struktur serta Aspek Metodologis
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, boleh jadi latar belakang Swantoro yang pernah menjadi dosen sejarah sekaligus wartawan sebagai profilnya, maka cukup terlihat jelas bagaimana ia menuangkan tulisannya pada buku tersebut.
Layaknya seorang jurnalis yang memberikan reportase atau mungkin seakan kita seakan sedang menyaksikan sebuah film documenter tentang jejak “sang lada” di nusantara.
Buku ini hanya terdiri dari tiga bab saja namun bernas. Tiga bab tersebut ia utarakan yaitu bab pertama, terkait kedudukan lada pada abad ke-17, bahkan ia mengulasnya hingga ke belahan benua Eropa, bagaimana lada menjadi sebuah komoditas prestis setara emas.
Pada bab kedua, bagi penulis (red; pembaca) ini menakjubkan. Ketika Swantoro mendeskripsikan evaluasi lada dengan berbagai kurs yang ia lengkapi istilah satuan dalam bidang perdagangan, seperti tael, sockel, candy dan lain sebagainya.
Adapun bab ketiga, Swantoro menjabarkan berbagai peristiwa sejarah yang berkenaan dengan lada itu sendiri. Pada bagian ini pun Swantoro memberikan peta konstelasi politik yang cenderung bertumpu di bagian Barat Nusantara, hingga bagaimana kemudian lahirnya politik monopoli yang dipraktekan oleh VOC sebagai perusahaan dagang Hindia Belanda.
Pun begitu, Swantoro masih memberikan indeks pada bagian akhir bukunya sebagai rujukan dalam beberapa istilah penting terkait terma lada itu sendiri. Setiap alinea dari uraiannya ia konfirmasi menuju sumbernya langsung melalui cacatan akhir di bagian akhir buku.
Tidak berlebihan jika langkah heuristik yang Swantoro terbilang cukup baik. Ia pun memberikan bagian lampiran yang berisi diantaranya perjanjian antara pihak kerajaan nusantara (di belahan Barat seperti Sumatera dan Banten) dengan VOC terkait kesepakatan dagang terhadap komoditas lada.
Pada bab Kesimpulan, Swantoro menegaskan bahwa sangat pentingnya kedudukan lada dalam bidang perdagangan di berbagai belahan dunia pada era tersebut.
Bila diperhatikan, karya Abraham Arnold Lodewijk Rutgers, De Landbouw in de Indische Archipel, lalu Eenige Beschouwingen betreffende den Ouden Aziatischen Handel dan Indonesian Trade Society yang merupakan karya dari J.C. van Leur cukup sering untuk dikutip Swantoro. Rutgers, boleh jadi menjadi rujukannya karena memiliki rekam jejak dalam praktik perdagangan industri, dan pertanian, sebagai direktur pada era kolonial Hindia-Belanda tahun 1923-1928.
Begitu juga Swantoro merujuk van Leur, sebagaimana yang kita ketahui ia memiliki peran penting dalam historiografi terutama Indonesia. Ketika para sejarawan merekam peristiwa tanpa mengetahui secara bagiamana kondisi real wilayah Hindia Belanda, Van Leur memberi perspektif baru dalam historiografi Indonesia dengan cara pandang orang Indonesia, atau kemudian disebuut sebagai Indonesianisentris.
Sudah barang tentu alat analitis diperlukan Swantoro untuk menafsirkan berbagai peristiwa yang ada. Setidaknya pendekatan politik serta social-ekonomi ia gunakan. Interpretasi Swantoro yang kemudian ia ketengahkan dalam disiplin sejarah dapat terlihat jelas seperti yang ia sampaikan pada bagian pendahuluan.
Ada kalimat menarik yang bagi penulis (red; pembaca) dapat menjadi catatan penting dalam proses kita merekonstruksi sejarah. Sawntoro menyampaikan; bahwa interpretasi sejarawan selain tidak dapat dilepaskan dari aktualitas tempat ia berada, juga tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebutkan dalam bahasa asing feitlijke geschiedenis (sejarah sebagai peristiwa).
Karenanya, bila unsur ini dilepaskan, kedudukan sejarawan akan berubah menjadi pengarang roman belaka. (Lihat, Swantoro, 2019:4). Meskipun demikian dengan tiga bab (bahkan) terlampau tipis untuk pengungkapan berbagai fakta sejarah terhadap lada.
Beberapa Temuan
Ada beberapa temuan penting, setidaknya dapat menajdi catatan penting sebagai fakta sejarah yang ada dalam buku tentang “emas” putih dan hitam ini.
Pertama, Sebagai fakta sejarah, bahwa lada merupakan alat tukar yang ideal, ia berharga bagaikan emas. Berbagai aspek social-ekonomi lada sebagai alat transaksional mulai dari alat pembayaran denda, membeli senjat hingga membeli pulau. (Paul Hermann; The Great Age of Discovery dalam Swantoro 2019:12) Bahkan lada menjadi parameter valuasi berbagai komoditi, sehingga jika harga lada naik, maka berbagai rempah dan barang lainnya ikut naik.
Kedua, Ibnu Batutah mencatat bahwa Malabar (wilayah anak benua India) merupakan “Negeri Lada”. Tetapi Tome Pires menyebutkan pada awal abad ke-16 Lada Sunda merupakan lada terbaik. (Swantoro 2019:14) Lampung yang kemudian menjadi lumbung lada Nusantara pada saat itu. Adapun komiditas lada paling mahal adalah lada putih dari pada lada hitam.
Ketiga, Diantara berbagai komoditas seperti beras (dalam konteks komoditas Nusantara), kain, rempah-rempah, logam berharga serta barang bernilai lainnya, lada-lah yang memiliki tingkat stabilitas terbaik dalam menghadapi berbagai dinamika valuasi bisnis global pada abad ke-17. (Lihat, Swantoro 2019:18-36)
Keempat, Politik-Dagang monopoli, menurut Swantoro, jika diperhatikan melalui sumber-sumber yang ia teliti, an sich terhadap VOC sebagai perusahaan dagang Hindia-Belanda.
Akan tetapi justru memiliki relasi erat terhadap perilaku para raja dalam rangka memperluas ekspansi dagangnya (terutama komoditas lada), dengan menggunakan jasa VOC para sultan seperti; Sultan Haji di Banten, Iskandar Muda di Aceh. Mereka membuka hubungan dengan VOC untuk membantu dalam hal perjanjian regional kewilayahan demi memperluas monopoli dagangnya dengan kerajaan lainnya.
Langkah tersebut kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk menguasai keadaan demi kepentingan VOC itu sendiri. Karena di sisi lain VOC pun bersaing pula dalam politik dagangnya dengan badan dagang Inggris, East Indian Company (EIC). (Lihat, Swantoro 2019:37-60).
Penutup dan Catatan
P. Swantoro, nampaknya telah memberi persembahan terbaik sebagai sejarawan sekaligus jurnalis senior. Melalui bukunya ini, kita telah mendapatkan kontribusi tentang bagaimana pentingnya peran lada sebagai komoditas berharga pada abad ke-17 yang ia rekonstruksikan melalui melalui “reportase” sejarah.
Meskipun begitu, cukup disayangkan bahwa penggunaan diksi Nusantara sepertinya tidak tercakup sebagiamana mestinya di dalam bukunya tersebut. Sehingga, mungkin inilah yang mempengaruhi jumlah halamannya karna penyampaiannya justru lebih bertumpu di wilayah Barat Nusantara.
Dan ternyata, penulis (red; pembaca) baru menyadari setelah memperhatikan (tanpa sengaja) bahwa pada sampul bukunya, secara semiotik memang menyisipkan peta Indonesia namun terpotong pada bagian wilayah Timur-nya.
Data Buku
Penulis : Polycarpus Swantoro
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Pertama
Tahun Terbit: Januari, 2019
Tebal : x + 107 halaman
ISBN : 978-602-481-084-9
Harga Buku : Rp. 54.000