Swakarya.com — Pernah pingsan karena ngebut saat bersepeda tak membuat Ganjar Pranowo kapok.
Gubernur Jawa Tengah (Jateng) itu justru belajar teknik yang benar. Teknik yang membuatnya jadi antipingsan. Bersepeda juga menjadi caranya bertemu warga.
Kecintaan Ganjar Pranowo pada sepeda sudah bisa dilihat dari rumah dinasnya. Di kediaman bernama Puri Gedeh yang ada di Gajahmungkur, Semarang, itu, dipajang dua sepeda kayu buatan Jambi yang ditata berhadapan. Sementara di samping kanan ruang tamu ada sepeda antik beroda satu.
Ganjar sangat antusias diajak bicara soal hobinya bersepeda. Masih mengenakan baju dinas lengkap dengan tanda pengenal di sakunya, dia mulai bercerita.
“Saat kecil sepeda merupakan barang mewah,” kata pria kelahiran 28 Oktober 1968 itu saat ditemui Senin (1/7) lalu.
Saat itu Ganjar tinggal di Tawangmangu, Karanganyar. Ketika orang tua akhirnya membelikan sepeda, dia harus memakai bergantian dengan empat saudara yang umurnya berdekatan dengannya.
“Kalau naik sepeda dimenitin atau dihitung berapa putaran. Kalau ada yang melebihi dikit aja, semua teriak woiiiii… gantian,” ungkap anak kelima di antara enam bersaudara tersebut mengenang.
Masuk SMP, Ganjar pindah ke Kutoarjo, Purworejo. Sepeda keluarga itu diserahkan sepenuhnya untuk dia demi kepentingan transportasi ke sekolah.
Saat masuk SMA di Jogja, kebiasaan bersepeda nyaris tak pernah dilakukan karena ngekos di dekat sekolah. Ganjar bersepeda lagi ketika kuliah. Dia mendapat pinjaman dari teman.
“Sepeda itu sudah dikasih ke saya dan sekarang disimpan juga di rumah ini,” ucap Ganjar.
Lulus kuliah, Ganjar kembali jarang sepedaan. Hingga muncul tren sepeda lipat, dia pun tergoda untuk membeli sekitar 2010. Meski tidak rutin, sesekali kakinya kembali mengayuh sepeda.
Semangat bersepeda menggebu lagi di periode awal dirinya menjabat gubernur.
“Waktu itu waton (asal) beli sepeda di simpang lima. Harganya Rp 3 juta. Rumangsaku (menurut saya, Red) apik,” papar alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Dengan percaya diri Ganjar ngebut bersepeda di Semarang. Saat rute pulang dia menyusuri tanjakan.
Ternyata tidak kuat hingga pingsan. Dalam kondisi antara sadar dan tidak, Ganjar dijemput mobil dinas.
“Ya, ternyata nggak kuat saat itu,” katanya tergelak.
Informasi gubernur hobi sepedaan sampai ke telinga komunitas sepeda di Semarang bernama Samba. Mereka lalu bertemu. Ganjar diajari naik sepeda yang benar.
Dari mengayuh, bernapas, hingga memilih sepeda yang tepat untuk posturnya.
“Selama ini ternyata semua teknik saya salah,” akunya.
Kini Ganjar rutin bersepeda setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu. Belajar teknik bersepeda tidak membutuhkan waktu lama.
Ganjar menerangkan, orang yang tidak biasa bersepeda biasanya mengayuh dengan cepat dan napas yang berlebihan. Yang benar menggunakan teknik penarikan napas panjang.
“Dengan cara ini ternyata nggak pingsan.”
Ganjar tak mau memaksa pegawainya menyukai hal yang sama. Dia pernah membuat kebijakan larangan menggunakan kendaraan pribadi setiap Jumat.
Tujuannya, semakin banyak orang yang bersepeda atau jalan kaki. Suatu pagi, saat berangkat dengan sepeda, dia mendapati beberapa pegawainya tetap menggunakan kendaraan pribadi.
“Tapi diparkir agak jauh dari kantor. Lah kan malah ngapusi (bohong). Akhirnya saya cabut (kebijakan itu),” paparnya.
Hobinya bersepeda tidak menurun ke anaknya. Ganjar pernah mengajak anak tunggalnya, Muhammad Zinedine Alam Ganjar, menempuh rute Solo-Tawangmangu.
Anaknya langsung kapok. Dia lebih suka main sepak bola dan bola basket. Berbeda dengan sang istri yang justru ketagihan.
“Waktunya dia banyak, pit-pitan (sepedaan) terus,” cerita suami Siti Atiqoh Supriyanti itu.
Total sepedanya saat ini sembilan. Harganya macam-macam. Mulai Rp 8 juta hingga puluhan juta rupiah.
Jarak sepedaan terjauh yang pernah ditempuh sekitar 180 km dengan rute Borobudur-Demak. Menurut Ganjar, yang terpenting dari bersepeda bukanlah jarak.
“Namun seberapa menantang jalur yang ditempuh,” tuturnya.
Dalam satu rute biasanya ada yang disebut king of the mountain. Jaraknya pendek, tapi menanjak dan balapan. Di rute spesial itu dia mengaku tidak pernah ikut karena berat.
Ganjar punya kebiasaan menutup kegiatan bersepeda dengan makan. Dia tak menyangka bahwa hobinya tersebut sampai diganjar penghargaan.
“Saya kaget dapat penghargaan sebagai gubernur penggerak olahraga dari Kemenpora,” ungkapnya.
Cita-cita yang belum kesampaian adalah bersepeda keliling Eropa. Waktu itu sudah sempat menyewa karavan untuk aktivitasnya tersebut.
Namun, dia keburu kembali dilantik sebagai gubernur sehingga urung terlaksana.
Untuk mengobati keinginan, akhir Juni lalu Ganjar mengambil cuti. Kebetulan pula ada undangan ke Amsterdam dan Berlin. Kesempatan itu dia gunakan untuk bersepeda.
“Cita-cita dalam arti berkeliling berhari-hari (di Eropa, Red) belum. Tapi, sepedaan di Amsterdam dan Berlin sudah cukup menghibur,” ujarnya.
Kegiatan ngonthel juga dimanfaatkan Ganjar untuk bertemu dengan masyarakat. Termasuk saat perayaan hari besar keagamaan.
Dia biasa berkeliling untuk mengucapkan selamat kepada yang merayakan. Dia mencontohkan saat Natal. Keliling ke sejumlah gereja dengan sepeda, dia justru dimintai pidato. Ganjar sungkan karena masih memakai jersey sepeda ketat.
“Kalau Bapak nggak apa-apa,” ungkapnya menirukan permintaan agar mau berpidato.
Salah seorang anggota Samba Hery Widjaja, 49, mengatakan bahwa komunitasnya termasuk yang tertua di Semarang.
Terbentuk pada 1992, Samba merupakan singkatan dari Semarang Bicycle Association. Anggotanya saat ini 80 orang dengan 30 anggota yang aktif.
“Gubernur sama ibu menjadi anggota,” ujarnya saat ditemui di toko sepedanya.
Dengan bersepeda, imbuh Hery, Ganjar lebih mudah masuk ke gang-gang dan menyapa masyarakat.
Menurut Hery, Ganjar konsisten menjalankan hobinya.
“Kami juga sering bertemu komunitas lain. Kalau ada yang sakit, dijenguk. Kadang sambil sepedaan,” ceritanya.
Anggota komunitas sepeda dari Ditreskrimum Polda Jateng Jerry Gatot Rubihandrika mengatakan, Ganjar mereka anggap sebagai bapak. Mereka biasa ngumpul bareng untuk bersepeda.
“Dengan sepeda bisa cek langsung kondisi masyarakat,” ucapnya.
Sumber : Jawa Pos
Editor : Abdul Fakih