Pangkalpinang, Swakarya.Com. Berbagai kebijakan di era pandemi serta ketepatan sasaran dibidang pendidikan menjadi perbincangan hangat. Terlebih lagi Mendikbud Nadiem Makarim menjadi buah bibir diberbagai kalangan terkait dengan pengelolaan pendidikan Indonesia saat ini.
Disampaikan oleh Faisal sebagai Direktur Eksekutif Collaboration Network Institute bahwa dalih asas gotong royong yang digaungkan Mendikbud saat ini sebagai inovasi reformasi pendidikan nyatanya tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Bahkan salah satunya Program Organisasi Penggerak (POP) dirasa publik tidak tepat sasaran dan bermasalah.
Menanggapi Nadiem dalam pengelolaan dan pengawalan pendidikan di Indonesia, Faisal dengan tegas menyampaikan ketidakterampilan Nadiem dalam menelaah sejarah panjang pendidikan di Indonesia serta sikap tuna sejarah Nadiem yang seolah tak ingin disalahkan dan juga merasa paling paham tanpa bertanya dan mendengar. Ditambah lagi dengan ketidak jelasan Program Organisais Penggeran (POP) yang di gadang-gadang sebagai gerakan bersama masyarakat dan merupakan program kolaborasi yang sangat disanyangkan mengapa mengandeng konglomerasi.
“Gotong royong kok bareng konglomerasi, itu jelas bukan kolaborasi tapi investasi” ungkap Faisal dengan kegelisahan melihat kekacauan tata kelola program POP tersebut.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Faisal bahwa dalam hal ini kebijakan Program Organisasi Penggerak (POP) terlihat begitu terang sebagai bagian dari kepentingan terselubung yang bahkan sangat jauh dari kata Merdeka Belajar dan gerakan bersama masyarakat yang diutarakan Nadiem, lantaran dunia pendidikan terutama Kemendikbud sebagai pengawal dan pengelola pendidikan Indonesia haruslah bebas dari kepentingan titipan atau ditunggangi kepentingan.
Selain Program Organisasi Penggerak (POP), begitu banyak kegaduhan yang telah di populerkan oleh Nadiem sebagai Mendikbud beberapa waktu belakangan ini. Tentunya hal tersebut membuat kegelisahan tersendiri bagi saya dan rekan-rekan Collaboration Network Intitute memandang wacana-wacana yang fana tak bermakna hingga akhirnya timbul bencana program POP yang tidak jelas dalam menentukan kriteria mitra penggerak bahkan cenderung tidak transparan.
Wacana mengutamakan gotong royong dalam pembangunan pendidikan Indonesia dan pemulihan kualitas pendidikan di masa pendemi terlihat semakin tidak berujung solutif oleh Nadiem sebagai Mendikbud, hal ini membuat Faisal mempertanyakan apakah gotong royong dalam pembangunan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan NU bahkan sebelum indonesia merdeka diabaikan begitu saja oleh Mendikbud, dan ia malah memilih rekan gotong royong yang rekam jejaknya dibidang pendidikan jauh dibawah dua ormas NU dan Muhammadiyah.
“Kolaborasi itu untuk kebaikan, bukan sebaliknya malah menggandeng korporasi yang baru muncul memiliki rekam jejak di bidang pendidikan”, ungkap Faisal.
Senada dengan itu Faisal juga menegaskan bahwa sudah selayaknya Nadiem sebagai Mendikbud tidak hanya di evaluasi oleh Presiden dan jika pun Nadiem sebagai Mendikbud masih berikhtikad baik untuk memajukan pendidikan Indonesia maka selayaknya berkaca atas kegaduhan yang terjadi dan memilih mundur saja sebagai Menteri, karena tuna sejarah perjalanan pendidikan Indonesia. (***)