WAKTU 14 hari kerja yang dimiliki Mahkamah Konstuitusi (MK) tidak ideal untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan sengketa Pilpres 2019 yang diajukan oleh pasangan 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Berdasarkan ketentuan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, MK hanya diberikan waktu 14 hari kerja untuk menuntaskan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden.
Waktu 14 hari kerja tersebut menurut penalaran tampaknya tidak akan cukup memadai.
Perlu diingat, di dalam waktu 14 hari itu persidangan nantinya akan dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu pemeriksaan pendahuluan, pembuktian dan pembacaan putusan.
Nah, yang paling penting dari tiga jenis persidangan itu tentu saja adalah sidang pembuktian. Sebab pada sidang itulah para pihak berkesempatan untuk saling menunjukan bukti serta beradu argumentasi hukum guna membuktikan benar-tidaknya Pilpres 2019 berlangsung dengan curang.
Kalau pemeriksaan pendahuluan itu kan hanya sidang untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan Permohonan serta pengesahan alat bukti saja. Sementara pada sidang pembacaan putusan para pihak hanya bisa duduk manis mendengarkan sikap Hakim.
Persoalannya, jangan dibayangkan dalam 14 hari itu MK nantinya akan menggelar sidang pembuktian sebanyak 14 kali. Jumlahnya pasti akan kurang dari itu. Pada PHPU Pilpres 2014 saja, misalnya, MK hanya menggelar tujuh kali sidang pembuktian dari total sembilan kali persidangan.
Padahal, pada saat itu MK hanya fokus pada sidang PHPU Pilpres, tidak dipusingkan dengan sidang PHPU Pileg seperti sekarang. Kalau sekarang, selain mengadili PHPU Pilpres, MK juga harus menyidangkan ratusan perkara PHPU Pileg. Sebab di tahap awal saja MK sudah menerima permohonan perselisihan dari hampir seribu daerah pemilihan.
Dengan kondisi itu dapat kita bayangkan betapa tidak mudahnya bagi MK untuk mengatur jadwal dan mengoptimalkan persidangan. Teknis sidang dengan menggunakan sistem panel yang direncakanan Mahkamah pun saya kira masih belum memadai untuk mengejar efektifitas sidang.
Efektifitas yang saya maksudkan terkait dengan kualitas persidangan. Kalau asal bersidang saja sih gampang. Tetapi yang kita harapkan nanti kan MK tidak sekedar menggelar sidang, tetapi bagaimana persidangan dapat betul-betul mengungkap berbagai permasalahan yang muncul didalam penyelenggaraan Pemilu.
Lebih dari itu, pendeknya masa persidangan PHPU Pilpres saya kira juga jauh dari ideal untuk memeriksa dugaan pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM), sebagaimana didalilkan oleh Paslon 02.
Kalau argumentasinya TSM, itu artinya MK diminta untuk memeriksa kembali semua proses pemilu sejak tahapan awal. Sebab, ketika disebut pelanggaran sistematis, misalnya, itu terkait dengan dugaan adanya rencana yang telah disusun atau dirancang jauh-jauh hari untuk memenangkan paslon tertentu dengan cara-cara yang melanggar aturan.
Belum lagi pembuktian terkait pelanggaran yang bersifat terstruktur. Di situ harus dibuktikan siapa saja aparat struktural, baik aparat pemerintah dan/atau penyelenggara pemilu yang secara kolektif atau bersama-sama diduga telah memberikan keuntungan atau merugikan paslon tertentu.
Nah, kalau untuk mengungkap semua hal itu MK hanya menggelar sidang pembuktian sebanyak tujuh kali seperti pada PHPU Pilpres 2014, atau bahkan mungkin kurang dari itu, misalnya, bagaimana mungkin waktu yang sempit itu bisa digunakan secara optimal oleh pemohon, termohon, pihak terkait, Bawaslu serta pihak lainnya untuk meyakinkan Mahkamah?
Sekali lagi, disini saya hendak menekankan pada aspek substansial dan kualitas persidangan, bukan hanya terkait dengan digelarnya sidang yang bersifat reguler-prosedural.
Oleh sebab itu, menurut saya ada baiknya jika waktu 14 hari yang dimiliki MK dalam menuntaskan perkara PHPU Pilpres, dipertimbangkan untuk diperpanjang. Sebab, secara logis waktu tersebut memang tidak ideal untuk memeriksa begitu banyak bukti dokumen, saksi, ahli, dan sebagainya yang diajukan oleh para pihak.
Agar masa persidangan PHPU Pilpres dapat diperpanjang sehingga sidang pembuktian dapat digelar dengan frekuensi yang lebih ideal, maka satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah dengan menguji konstitusionalitas Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 melalui acara pemeriksaan cepat di Mahkamah Konstitusi.
Sebagai pihak yang memiliki kepentingan langsung atas permohonan PHPU Pilpres, maka jika dipandang perlu kubu Prabowo Subianto saya kira bisa mengajukan diri sebagai pihak pemohon atas pengujian norma undang-undang dimaksud.
Pemerhati pemilu, politik dan kenegaraan, Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma). [Rmol]