Swakarya.Com. Masifnya kekerasan seksual yang terjadi baik kekerasan seksual secara langsung maupun kekerasan berbasis gender online yang dihadapi oleh perempuan, menjadikan Jurusan Sosiologi Universitas Bangka Belitung bekerja sama dengan Pusat Studi Perempuan UBB menggelar seminar online (Webinar).
Kegiatan Webinar bertajuk “Urgensi RUU PKS dalam Melindungi Hak-hak Perempuan” ini awalnya digagas dalam rangka mendiskusikan dinamika RUU PKS, yang mana rencananya RUU ini menjadi salah satu rancangan yang akan dibahas pada sidang DPR penentuan prolegnas untuk tahun 2021 pada Jumat, 9 Oktober 2020 nanti.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber yang pakar dalam bidang keilmuan dan pendampingan/advokasi dalam hal kekerasan seksual, yakni Prof. Dr. Alimatul Qibtiyah; Guru Besar Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga dan Komisioner Komnas Perempuan, dan Dian Puspita Sari, S.H; Advokat dan Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan.
Baca Juga: https://swakarya.com/dampak-pandemi-covid-19-angka-kriminalitas-di-bangka-meningkat/
Webinar yang dipandu oleh Luna Febriani, M.A, Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitun) ini dihadiri oleh 105 peserta yang tidak saja berasal dari internal Universitas Bangka Belitung, namun juga dari Organisasi Perempuan yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Tampil membuka acara ini Rektor Universitas Bangka Belitung, Dr. Ibrahim.
Dalam sambutan pembukaan acara, Rektor memberikan apresiasi dan menuturkan bahwa RUU ini memang menjadi perdebatan dalam masyarakat.
“Melalui seminar ini kita dapat memperbincangkan apa yang menjadi perdebatan tersebut sehingga dapat menjadi masukan dan perbaikan kedepan,” ujarnya.
Selain itu, kekerasaan seksual yang acapkali terjadi di tengah-tengah masyarakat ini menjadi tugas berat kita semua untuk mencari jalan keluarnya, bukan hanya perempuan saja, tapi juga laki-laki, tuturnya.
Dalam pemaparannya, Prof. Dr. Alimatul Qibtiyah yang bertindak sebagai narasumber menjelaskan latar belakang hadirnya RUU PKS yang tidak dapat dilepaskan dari tingginya kekerasan seksual yang terjadi, baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki.
“Dimana kekerasan seksual itu 69% terjadi dalam ranah personal (seperti KDRT, hubungan pacaran dan sebagainya), lalu diikuti dengan kekerasan di ranah komunitas dan kekerasan di ranah negara.
Perjalanan RUU PKS ini mengalami dinamika sejak mulai digagasnya RUU, bahkan hingga saat ini masih terus diperjuangkan untuk dapat menjadi prioritas prolegnas tahun 2021.
Sayangnya, info terbaru yang didapat, harusnya Jumat ini (9/10) akan diselenggarakan sidang penetapan, namun diundur menjadi November kedepan,” jelasnya memaparkan.
Ia berharap, meskipun diundur, tapi semangat tidak boleh kendor dalam memperjuangan penghapusan kekerasan seksual dalam masyarakat melalui dukungan RUU PKS ini.
Selain itu narasumber selanjutnya Dian menuturkan bahwa urgensi RUU PKS ini menjadi penting berdasarkan pengalaman yang dilakukan Komunitas Forum Pengada Layanan terhadap korban kekerasan seksual.
Baca Juga: https://swakarya.com/buruh-gelar-mogok-kerja-dan-aksi-damai-di-kota-cilegon-tolak-ruu-omnibuslaw/
Menurutnya, kurang lebih hanya 22% korban kekerasan yang melapor kekerasan seksual yang terjadi, hal ini disebabkan banyaknya hambatan (seperti aib, dikucilkan dan perlu alat bukti yang nyata dengan biaya yang tidak murah) serta minimnya solusi hukum ketika korban melapor akan kejadian kekerasan seksual.
Solusi yang acapkali diambil adalah jalan perdamaian dan menikahkan korban dengan pelaku, sehingga ini menimbulkan trauma mendalam bagi korban itu sendiri.
Maka dari itu penting dalam mendukung RUU ini, karena mulai dari pencegahan hingga pemulihan korban kekerasan seksual termaktub dalam RUU ini,” ujarnya menegaskan.
Kegiatan ini juga mendapatkan sambutan yang baik dan apresiasi dari ASWGI (Asosiasi Program Studi Gender, Perempuan dan Anak Indonesia) melalui sambutan penutup pada kegiatan webinar ini.
Ina Hunga, dari perwakilan ASWI menuturkan, rancangan hukum ini merupakan wujud nyata dalam memperjuangkan penghapusasn kepada perempuan.
“Mari satukan hati dan mantapkan langkan menuju Indonesia bebas dari kekerasn seksual,” ujarnya.
Senada dengan itu, Ketua Pusat Studi Perempuan (PSP) UBB, Sujadmi, M. A menuturkan, “kami berkomitmen dalam menghapuskan kekerasan seksual ini, maka dari itu akan ada rencana tindak lanjut dari kegiatan ini, seperti dengan berkomunikasi dengan para stakesholder terkait upaya-upaya pencegahan dan pemulihan kekerasan seksual,” imbuhnya.***