Jakarta, Swakarya. Com. Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi menanggapi disertasi Milkul Yamin. TGB menyatakan, abstraksi disertasi Abdul Aziz menunjukkan esensi desertasinya.
“Alinea kedua abstraksi tegas menyatakan kajian ini untuk mencari justifikasi seks nonmarital alias di luar nikah. Jadi disertasi ini lebih kepada amal tabririy dibanding amal ‘ilmy,” kata TGB di Jakarta, Senin (2/9) lalu.
Tokoh Nahdlatul Wathan (NW) ini menjelaskan, perbudakan marak jauh sebelum datangnya Islam. Syariat Islam bekerja melawan itu dalam dua jalur. Pertama, menjadikan pembebasan budak sebagai ibadah yang mulia, termasuk sebagai penebus dosa tertentu. Bahkan menjadi satu dari delapan saluran pemanfaatan dana zakat.
“Kedua, membatasi sumber perbudakan hanya pada peperangan. Itu pun apabila musuh mengadopsi hal tersebut,” katanya.
Menurut dia, pendekatan resiprokal alias perlakuan setimpal, bukan kaidah umum. Penculikan, perampokan, tidak boleh menjadi sumber perbudakan.
Sementara, saat ini seluruh dunia sudah meratifikasi penghapusan perbudakan secara total termasuk dalam peperangan sehingga pintu perbudakan sudah tertutup. Saat ini, seluruh perempuan (manusia) di muka bumi berstatus merdeka.
“Milkul Yamin istilah Alqur’an yang ditafsirkan para ulama sebagai, pertama, perempuan budak rampasan perang yang boleh digauli karena status budaknya,” kata TGB.
Kedua, sebagian ulama mengatakan kebolehan digauli harus dengan pernikahan. Menurut pandangan ini, budak harus dinikahi dulu baru boleh digauli.
“Beda dengan istri biasa adalah dari segi asal. Milkul Yamin berasal dari budak, istri dari wanita merdeka, namun keduanya harus dinikahi terlebih dahulu,” ujarnya.
Maka itu, menjadikan Milkul Yamin sebagai justifikasi seks luar di nikah jelas tidak memiliki dasar yang kuat. Setengah kuat pun tidak.
“Kalau pun pendapat pertama yang digunakan, kenyataannya seluruh dunia termasuk negara Islam telah sepakat menghapus perbudakan termasuk dalam peperangan dan mengkriminalkan pelakunya,” tuturnya.
TGB mengatakan, memperluas makna Milkul Yamin selain budak rampasan perang adalah kecerobohan sekaligus kebodohan. Persis seperti kecerobohan dan kebodohan Syahrur dalam menafsirkan banyak kosa kata dan istilah dalam Alquran.
Di mana tesis utama Syahrur, Alquran turun sebagai pedoman untuk semua manusia dan sepanjang masa. Karena itu, harus bisa disesuaikan dengan cara hidup apa pun dan di mana pun. Alquran harus sesuai, disesuaikan dan dipaksa sesuai.
“Dalam kasus ini, karena seks di luar nikah adalah jamak di banyak tempat maka Alquran harus menyesuaikan. Dengan ilmu cocokologi alias gothak gathuk, ketemulah Milkul Yamin,” ujarnya.
Khulasatul kalam, kata dia, membaca konsep Syahrur berujung pada ungkapan yang sering dikutip Imam Alusi dalam tafsirnya; “suara alu bertalu-talu, namun tak ada tepungnya. Wallohu a’lam.”
Sebelumnya, MUI meminta disertasi tersebut direvisi karena tidak sesuai dengan syariat Islam.
Penulis : Ahmad ZR
Editor : Tahir