Jika Mudik Tak Dilarang, Denny JA: 450 Ribu Kasus Baru WNI Terpapar Covid-19

Pangklpinang, Swakarya.Com. Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terus berupaya melakukan pencegahan penyebaran virus Corona (Covid-19). Terlebih menjelang bulan suci Ramadhan dan Lebaran yang akan ada mudik.

Pendiri Lingkaran Survei Indonesia, Denny JA, menerangkan, mudik merupakan tradisi yang sangat melekat bagi masyarakat Indonesia. Di dalamnya ada silaturahmi.

Namun, di tengah pandemi Corona, mudik bisa menjadi media penularan besar. Dia memprediksi, jika mudik tidak dilarang, Indonesia potensial melompat ke lima besar negara paling terpapar Covid-19.

Saat ini, ada lima negara yang paling terpapar Covid-19. Amerika Serikat masuk pada rangking pertama dengan angka 245.380 kasus. Kemudian disusul Spanyol 117.710 kasus, Italia 115.242 kasus, Jerman 85.263 kasus, dan China 81.620 kasus.

“Jika Presiden tak melarang dengan keras mudik Lebaran, besar kemungkinan Indonesia segera melejit masuk ke dalam lima besar negara yang paling terpapar Covid-19,” ucap Denny JA, Jumat (3/4)

Denny memberikan hitung-hitungan sederhana. Tahun lalu, dari wilayah Jabotabek saja, jumlah yang mudik mencapai angka 14,9 juta penduduk. Angka tersebut membengkak jika ditambah penduduk kota besar lain.

Kata Denny, jika diasumsikan angka pemudik tahun ini sama dengan tahun tahun lalu, 14,9 juta, bahaya penyebaran Covid-19 tetap besar. Di kampung halaman, mereka akan berinteraksi dalam kultur komunal. Mereka berjumpa keluarga besar, tetangga, dan sahabat.

“Katakanlah, rata-rata 1 orang yang mudik berinteraksi dengan 3 orang lainnya. Maka mudik menyebabkan interaksi sekitar 45 juta penduduk Indonesia,” terang Denny.

Denny menyebutkan, jika 1 persen saja dari jumlah populasi pasca-mudik itu terpapar Covid-19, akan ada 450 ribu kasus baru. Angka itu bahkan sudah melampaui populasi terpaparnya warga di Amerika Serikat yang kini berada di puncak negara paling terpapar virus corona.

Menurut Denny, pemerintah tidak cukup hanya memberikan imbauan. Misalnya, mereka yang mudik diimbau untuk karantina 14 hari. Atau yang pergi atau pulang mudik statusnya menjadi Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pemantauan (PDP).

“Tapi jumlah sebanyak 14,9 juta penduduk itu akan diisolasi di mana? Cukupkah infrastuktur kesehatan kita mengurus populasi sebanyak itu?” urainya.

Kondisi sekarang saja, sambungnya, banyak rumah sakit dan tenaga medis yang menjerit kekurangan fasilitas. Bagaimana infrastuktur kesehatan kita siap dan mampu menampung lonjakan korban terpapar Covid-19 pasca-mudik.

Denny memuji Sekjen MUI cukup sensitif dan berani menyatakan mereka yang mudik dari wilayah pandemik hukumnya haram. Bukan dalil agama yang akan ditekankan di sini. Namun Sekjen MUI mencoba meminimalkan orang mudik menggunakan instrumen yang dia kuasai.

Namun, Denny menegaskan, tetap yang paling efektif melakukan intervensi mudik adalah pemerintah pusat. Denny menyerankan Presiden perlu mempertimbangkan dua hal. Pertama, melarang mudik, yang diikuti kontrol ketat pihak keamanan di semua jalur mudik.

Kedua, mencarikan solusi untuk mereka yang ingin pulang kampung karena kesulitan ekonomi untuk hidup di kota masa kini.

“Presiden sudah umumkan paket menyeluruh untuk Covid-19 dengan total Rp 405 triliun. Publik perlu diberi informasi secara rinci. Mereka yang tak bisa mudik, yang ekonominya merosot untuk kebutuhan dasar, bagaimana agar mereka mudah mendapatkan akses program itu,” pungkasnya.

Sedangkan, sebelumnya penyebaran virus Corona di dunia semakin cepat karena momen hari raya Imlek pada 25 Januari 2020. Di Indonesia, mudik dan lebaran mediumnya bukan Imlek.

“Ini memang situasi tak normal. Mudik biasanya begitu hangat dan menggembirakan. Kini, mudik justru menakutkan. Namun Presiden berada dalam posisi menentukan bagaimana mudik di Tahun 2020 akhirnya dikenang,” ulas Denny JA. (Rls)

Editor: Tahir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait