Bangka, Swakarya.com. Kasus stunting di Kabupaten Bangka pada tahun 2013 tembus di angka 32,27 persen.
Angka yang dihimpun dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) itu dianggap oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau yang dikenal dengan World Health Organization (WHO) tergolong tinggi, mengingat ambang batas dari WHO hanya 20,00 persen.
Dengan kondisi tersebut, di tahun 2014 lalu, Pemerintah Daerah ini bertindak cepat dengan melakukan pencegahan terhadap kasus stunting lewat intervensi program dan kegiatan dalam rangka penurunan dan pencegahan stunting sehingga terjadi penurunan yang signifikan.
Hal tersebut dikatakan oleh Kepala Bappeda Kabupaten Bangka, Pan Budi Marwoto kepada sejumlah wartawan, Selasa (23/7).
Pan Budi mengatakan, dari hasil Riskesdas 2018, angka stunting di Kabupaten Bangka dari 18.2 persen mengalami penurunan sebesar 14.07 persen. ”Penurunan ini merupakan angka penurunan tertinggi di Indonesia,” katanya.
Selain dari hasil Riskesdas, Kabupaten Bangka juga melakukan pendataan secara mandiri menggunakan data Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) dari Dinas Kesehatan setempat, tercatat dari 6.627 anak usia di bawah dua tahun yang diukur, setidaknya terdapat 8.9 persen atau 588 anak stunting, dan angka tersebut jauh lebih kecil dari pada hasil Riskesdas 2018.
Ditambahkannya, locus intervensi stunting berdasarkan data pada anak usia di bawah dua tahun, termasuk desa yang persentase stunting lebih dari 20 persen kronis sebagaimana data e-PPGBM.
“Untuk itu, pemerintah mencanangkan program percepatan penanggulangan stunting melalui strategi nasional percepatan pencegahan stunting “Stranas Stunting” 2018-2024, yaitu sebuah strategi jangka panjang terintegrasi yang mengedepankan konvergensi upaya intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif,” katanya.
Selain itu lanjutnya, Kabupaten Bangka juga melakukan upaya penurunan dan pencegahan stunting melalui penyusunan dokumen Rencana Aksi Daerah (RAD) Stunting. Melalui Perbup RAD stunting tersebut, Pemkab Bangka melalui Organisasi Perangkat Daerah (OPD) masing-masing menjadi pedoman untuk diterapkan dalam rangka penurunan dan pencegahan stunting.
“Penanganan stunting dilakukan melalui intervensi spesifik dan intervensi sensitif, di mana pada penanganan intervensi spesifik ditujukan kepada ibu hamil dan anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan,” jelasnya.
Kegiatan intervensi spesifik umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan, intervensi spesifik bersifat jangka pendek, hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif singkat.
Sedangkan penanganan pada intervensi gizi sensitif ditujukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan sasarannya adalah masyarakat umum, tidak khusus untuk sasaran 1.000 hari pertama kehidupan.
Pan Budi menambahkan, kegiatan intervensi gizi sensitif dilakukan oleh berbagai lembaga atau dinas sebagai organisasi pendukung, seperti persoalan sanitasi dan air bersih yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum (DPU), Dinas Pendidikan, KB, dan Dinas Pangan.
“Kasus stunting secara makro dimulai dari urusan pengelolaan pernikahan, pengelolaan kehamilan, pengelolaan pengasuhan 1.000 hari pertama kehidupan yaitu sembilan bulan dalam kandungan plus dua tahun setelah bayi dilahirkan, serta urusan persoalan sanitasi lingkungan,” katanya. (Lio)