Pangkalpinang, Swakarya.Com. Rizal Calvary Marimbo, salah satu pengamat ekonomi yang menyarankan penerapan single market untuk timah agar lebih bergairah lagi di lantai bursa pada 2020.
“Untuk kembali menggairahkan harga timah, perlu ada kajian terhadap keputusan yang diambil, salah satunya single market,” kata Rizal Calvary dikutip dari Antara, Jumat (27/3).
Rizal pun membeberkan bahwa, pada tahun 2020, harga timah terus menurun sampai di bawah USD 15.000 per metric ton, harga ini lebih rendah USD 5.000 per metric ton dari sebelumnya. Alhasil negara kehilangan pendapatan devisa sebesar USD 400 juta setara dengan Rp5,6 triliun.
“Saya kira kita perlu menegakkan single market saja. Benchmark jangan kebanyakan. Akibatnya, harga timah jeblok. Sementara di secondary market kinclong,” katanya.
Muncul dua bursa dinilai mempengaruhi acuan harga dan menyebabkan turunnya harga timah. Dampaknya, perdagangan timah Indonesia melalui secondary market di Singapura meningkat tajam, naik sekitar 100 persen sepanjang semester I/2019 disebabkan oleh menurunnya kepercayaan pihak asing terhadap pasar Indonesia.
Peningkatan perdagangan melalui secondary market di Singapura tersebut, juga mengakibatkan meningkatnya country risk perdagangan timah murni batangan di Indonesia.
Pelaku pasar timah, khususnya pengguna akhir, lebih memilih pembelian timah asal Indonesia melalui Singapura karena Indonesia dinilai rendah dalam kepastian hukum terkait dengan perdagangan timah murni batangan.
Sebelumnya, Pengamat perdagangan Asia Tenggara, Abi Rekso mengungkapkan, ketika terjadi bipolar perdagangan timah di Indonesia, maka banyak pembeli yang merasa bingung atas kebijakan tersebut.
“Di waktu yang sama pembeli timah Indonesia, kian beralih ke pasar perdagangan timah Singapura,” ujarnya.
Untuk itu, Abi merekomendasikan pemerintahan Jokowi untuk memperhatikan upaya pemulihan harga timah. Jika tidak ingin harga timah Indonesia terus merosot dalam pasar global.
Editor : Tahir