Merawang, Swakarya.Com. Dalam Diskusi Hukum Tata Negara yang mengangkat tentang Menafsirkan Ikhwal Kegentingan Memaksa Penerbitan Perpu, Kamis (24/10/19) di ruang Vikon FH UBB. Rahmat Robuwan, S.H., M.H., menyampaikan bahwa hingga kini belum ada penafsiran yang pasti mengenai ikhwal kegentingan memaksa.
Ia pun berasumsi bahwa meskipun berbagai penelitian dan kajian yang dilakukan tetap saja masih banyak perdebatan tentang penafsiran ikhwal kegentingan dalam penerbitan Perpu.
Diskusi hukum ini diinisiasi oleh Reko Dwi Salputra, SH, M.H., selaku Ketua Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB) dengan tujuan untuk menambah wawasan dan menyikapi isu-isu yang terjadi beberapa bulan belakangan.
“Lantas apakah situasi nasional tersebut belum memenuhi prasyarat mutlak untuk Presiden menerbitkan Perpu begitulah menjelaskan timbulnya ide membuat diskusi hukum dengan tema “Penafsiran Ikhwal Kegentingan Memaksa Penerbitan Perpu,” ungkapnya.
Dalam pemaparan makalah “Ada Apa Dengan Perpu?” yang dipaparkan oleh penulisnya secara langsung, Muhammad Syaiful Anwar, S.H, LL.M. bahwa pada saat ini Perppu merupakan polemik ketatanegaraan dalam berbagai hal.
Sehingga Ia menggap bahwa Perpu sendiri merupakan Peraturan Pengganti Undang-undang yang merupakan wewenang secara konstitusional yang dimiliki Presiden.
“Dalam penerbitan Perpu oleh Presiden harusnya memenuhi prasyarat ikhwal kegentingan yang memaksa. Hal tersebut di atur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945 sebagai penguasa ranah eksekutif ketatanegaraan Indonesia,”. Tuturnya
Lebih lanjut, Ia memaparkan bahwa wewenang dalam penerbitan Perpu ini merupakan hak progratif subjektif seorang Presiden berdasarkan prasyarat ikhwal kegentingan memaksa yang juga ditafsir secara subjektif pula.
“Frasa kegentingan yang memaksa diinterprestasi dalam berbagai bentuk penafsiran. Sehingga apabila dalam regulasinya tidak ada pengaturan yang jelas, Perpu bisa saja disalahgunakan,”. Ujar Syaiful Anwar
Selain itu, Rahmat Robuwan yang expert dalam bidang hukum ketatanegaraan, menegaskan dalam pemaparan makala nya, bahwa apabila pengaturan Perpu tetap saja tidak memiliki frasa tafsir yang jelas dan regulasi yang jelas pula, maka lebih baik ditiadakan saja, terlebih lagi wewenang Presiden dalam penerbitan Perpu bisa saja terindikasi serta terkontaminasi memasukkan kepentingan elit yang ada dalam konfigurasi politik sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dalam kegiatan ini dilibatkan 6 panelis dalam melakukan diskusi diantaranya, Suhargo yang merupakan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (FH), Universitas Bangka Belitung (UBB), Salisa sebagai perwakilan Pusat Informasi dan Komunikasi Hukum Mahasiswa, Erika sebagai perwakilan Duta UBB, serta Apriliana sebagai perwakilan mahasiswa konsentrasi Hukum Perdata,
Selanjutnya, Indah Agita sebagai perwakilan mahasiswa konsentrasi Hukum Tata Negara dan dalam mengambil pandangan yang berbeda, Yudha Kurniawan hadir sebagai perwakilan Mahasiswa Baru semester satu di Universitas Bangka Belitung.Diskusi tersebut berlangsung panas dan begitu hangat, terlebih lagi dalam menyikap isu-isu beberapa bulan lalu.
Armila selaku peserta diskusi memberikan pandangan bahwa perlu diterbitkannya perpu dengan seger.
“Berupa desakan terhadap Presiden untuk menerbitkan Perpu terhadap Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang tidak mendapatkan responsif yang baik dari masyarakat dan mahasiswa,”. Ujarnya.
Ditambahkan oleh Reko, bahwa diskusi tersebut diisi oleh dua narasumber yang ahli dalam bidang hukum tata negara serta merupakan akademisi muda dan praktisi handal dalam bidangnya. Diantaranya adalah Rahmat Robuwan, S.H.,M.H dan Muhammad Syaiful Anwar, S.H., LL.M dengan mengacu pada makalah dan jurnal yang dirancang secara eksklusif oleh keduanya.
Penulis : Suhargo
Editor : Tahir