Program Citarum Harum “Tidak Berhasil” Di Kabupaten Bandung


Penulis: Ari Muhammad Syafari, Pengurus HMI Cabang Kabupaten Bandung

Swakarya.com. Gunung teu menang di lebur, sagara teu menang diruksak, buyut teu meunang di rempak. Itulah pepatah sunda yang familiar pada jaman dahulu. Arti dari kalimat itu ialah “Tidak boleh meruksak alam dan tidak boleh melupakan nenek moyang”. Dalam peribahasa lain menyebutkan “kacang lupa kulitnya”.

Itulah narasi yang tersirat dari Alam untuk manusia yang sekarang sudah memiliki wisata baru (banjir) di Kabupaten Bandung.

Akhir-akhir yang lalu fenomena banjir kembali lagi bersua pada daerah Kabupaten Bandung, tepatnya air kembali lagi naik pada daratan untuk menemui manusia di pemukiman maupun pada jalanan yang ingin bertemu dengan pengendara. Selasa (28/1/2020) yang lalu, sebanyak enam kecamatan masih terendam banjir. Enam kecamatan tersebut diantaranya Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Rancaekek, Majalaya dan Ciparay.


Banjir terjadi karena disebabkan oleh hutan gundul, jalan yang tidak memiliki drainase, wilayah resapan air sudah digantikan dengan perumahan-perumahan, sampah menumpuk, penyempitan luas sungai, dangkalnya kedalaman sungai dan adanya pabrik-pabrik yang membuang limbah di sungai.


Seperti sudah menjadi langganan tiap tahun atau bahkan ketika hujan melanda ada pada daerah Bandung Selatan. Banjir selalu hadir pada daerah tersebut. Lantas apa yang menjadi keresahan penulis pada sebuah fenomena banjir yang terjadi pada daerah Kabupaten Bandung?


Peribahasa sunda diatas, kita sudah diingatkan bahwasanya kita harus bisa bersinergis dengan alam. Karena seyogyanya alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan serta fasilitas manusia saat hidup, yang tentunya harus ada etika terhadap lingkungan (alam) ini.

Disebutkan pula dalam kitab suci Al-Quran pada surat Ar-Rum ayat 41 yang artinya “Telah Nampak kerusakan didarat dan dilaut akibat ulah kedua tangan manusia”. Pada ayat itu kita sebagai kholifah fil ardl senantiasa diberikan sebuah rambu “kausalitas (sebab akibat)” yang tentunya ini menjadi sebuah cerminan untuk kita untuk mulai menjaga, merawat dan memelihara alam untuk tidak rusak.


Lunturnya budaya!


Warisan nenek moyan kita, ternyata sudah luntur. Jaman dahulu nenek moyan kita senantiasa tidak membuang sampah sembarangan, bercocok tanam, menjaga alur air (sungai) dan menghijaukan pemukiman-pemukiman rumahnya.


Secara realitanya, budaya atau tradisi tersebut sudah mulai tidak ada lagi. Hal ini mungkin menjadi cambukan kepada manusia yang hidup pada hari ini dimana tidak ada lagi budaya menghijaukan pemukiman sekitar rumah. Jangankan menghijaukan (reboisasi) pemukiman, buang sampah juga masih sembarangan.


Disini penulis, bukan berarti akan saling menyalahkan satu sama lain. Tetapi penulis mengajak semua kalangan untuk merefleksikan fenomena bencana banjir yang akhir-akhir ini terjadi.

Tentunya sebagai makhluk yang berakal, manusia ketika sudah diingatkan melalui teguran dari alam harus segera sadar serta mampu untuk berkomitmen menjaga bersama-sama alam ini yang secara tidak langsung sudah mulai ruksak.


Disamping itu dalam budaya sunda mengatakan “Hirup teh kudu ditungtun ku santun”. Dimana kita bersama-sama harus bermunasabah dalam segala aktivitas kita terhadap alam ini. Ketika ditelisik lagi ternyata ada etika pada alam yang harus dijaga.


Komitmen dalam menjaga alam pun yang harus digandrungkan baik oleh masyarakat sekitarkah, legislatorkah dan bupati yang memiliki power lebih untuk mengatasi permasalahan setiap tahun ini.

Asal semua kalangan diatas bisa tersentuh hati nuraninya untuk bersama-sama menjaga alam.
“Kacai jadi saleuwi, kadarat jadi salogak”
Tentunya peribahasa ini bukan sekedar buaian kata-kata belaka, tetapi memiliki spirit yang akan melembaga pada manusia.

“Harus ada kekompakan dan visi yang sama dalam bekerja sama”, itu yang bisa menggambarkan peribahasa itu.


Permasalahan pada banjir ini, akan bisa terselesaikan ketika adanya kerja koleftif. Andil besar dari berbagai kalangan tentunya menjadi solusi yang realistis.

Bukan hanya sekedar mengandalkan program “Citarum Harum” saja, yang sampai saat ini masih tidak ada hasilnya.


Kerja sama dan sama kerja, sebuah acuan untuk kita dalam mengembalikan alam yang ruksak ini menjadi nyaman untuk kehidupan kita. Kerja nyata dan bukan kerja kata-kata yang harus kembali digalakan pada hari ini. Tanggung jawab bersama, menjadi tolak ukur dalam menyelesaikan permasalahan banjir ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *