PLTU Unit 2 Cirebon dan Teknologi Ultra Super Critical Lebih Ramah Lingkungan, Solusi atau Halusinasi?

Oleh: Cucu Rahmat Hidayat/ Direktur Hukum dan Advokasi Lembaga Bakornas Leppami PB HMI

Sebelumnya, Cirebon Power sejak tahun 2012 telah mengoperasikan PLTU Cirebon I 660 MW yang menggunakan teknologi batu bara bersih yaitu super cricital.

Disusul sekarang, Cirebon Energi Prasarana (CEPR) membangun PLTU Cirebon unit 2. Pembangkit ini direncanakan menggunakan teknologi ultra super critical (USC) dan merupakan salah satu proyek dalam program 35.000 MW dengan total investasi mencapai US$ 2,2 miliar. Menggunakan teknologi ultra super critical (USC) yang dapat mengurangi tingkat emisi, PLTU Cirebon unit 2 digadang-gadang lebih ramah terhadap lingkungan.

Teknologi Ultra Super Critical adalah teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi pembangkit listrik melalui proses pengaturan tekanan dan suhu uap yang masuk ke dalam turbin. Ketika tekanan dan suhu semakin tinggi, maka tingkat efisiensi akan menjadi semakin tinggi dan membuatnya semakin rendah emisi karbon. Teknologi ini juga diklaim mampu meningkatkan efisiensi pembangkit listrik hingga mencapai 15% dibandingkan teknologi non USC.

Lain dari itu, begitu pentingnya kesehatan lingkungan guna menunjang naiknya tingkat derajat kesehatan masyarakat. Kesehatan lingkungan juga menjadi sangat penting karena mendapatkan lingkungan yang sehat merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada setiap orang sejak ia lahir sampai meninggal dunia. UUD NRI 1945, mengamanatkan mengenai hak asasi manusia terhadap kesehatan yang diejawantahkan dalam batang tubuh yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Bukan hanya hak atas kesejahteraan hidup lahir maupun batin, orang juga berhak untuk mendapatkan lingkungan yang baik pula.

Kemudian, ada juga amanat pada Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB). Pasal 12 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:

  1. Negara-negara Peserta Perjanjian ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi
    yang dapat dicapai untuk kesehatan jasmani dan rohani.
  2. Langkah-langkah yang diambil oleh Negara-negara Peserta Perjanjian ini untuk mencapai pelaksanaan sepenuhnya atas hak ini termasuk :
    a) Ketentuan untuk penurunan angka kelahiran dan kematian bayi serta untuk perbaikan kesehatan
    anak;
    b) Perbaikan seluruh aspek kesehatan lingkungan dan industri;
    c) Pencegahan, perawatan dan pengawasan terhadap penyakit epidemik, endemik, penyakit karena pekerjaan dan penyakit lainnya;
    d) Penciptaan kondisi yang akan menjamin semua pelayanan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan seandainya menderita sakit.

Jaminan terhadap kesehatan dan hak atas kesehatan lingkungan telah tertuang juga pada batang tubuh UUD 1945 Amandemen ke IV, pada Pasal 28H ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Pasal tersebut memberikan mandat kepada negara untuk bertanggung jawab dan berkewajiban dalam pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan yang baik bagi seluruh warga negara dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang hidup sehat sejahtera lahir dan batin.

Salah satu tujuan dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia yang berarti konsep ini mengakomodir dua hak sekaligus, yaitu hak lingkungan atas kualitas lingkungan hidup yang baik dan hak manusia untuk menikmati lingkungan hidup tersebut sehingga kehidupan dapat berjalan dengan harmonis.

Perlu diketahui bersama, polutan yang dihasilkan PLTU yang dapat berupa Fly Ash dan sebagainya dikeluarkan melalui cerobong asap yang kemudian bisa dihembuskan oleh angin dan membawa debu ke masyarakat sekitar yang tinggal di dekat PLTU tersebut.

Di Indonesia sendiri, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti Harvard University–Atmospheric Chemistry Modeling Group menyatakan, bahwa kematian dini yang diakibatkan oleh polusi udara dari operasi PLTU Batubara telah menyebabkan sekitar 6.500 jiwa pertahun, dan akan meningkat menjadi 15.700 jiwa/tahun, jika pembangunan PLTU Batubara terus berlanjut. Polusi udara merupakan pembunuh senyap, yang mengakibatkan lebih dari 3 juta jiwa meninggal dunia.

Terlepas dari itu semua, PLTU sebagai salah satu pembangkit ketenagalistrikan yang diandalkan di Indonesia, selain murah, bahan baku PLTU sendiri yaitu batu bara cukup mudah untuk didapatkan karena tambang batu bara itu sendiri cukup banyak di Indonesia.

Dengan teknologi Ultra Super Critical (USC) yang dihadirkan pada PLTU Cirebon unit 2, Cirebon Energi Prasarana (CPER) mengklaim dengan tingkat emisi yang rendah maka akan ramah lingkungan. Ini akan menjadi solusi atau hanya halusinasi itu akan terjawab ketika sudah beroperasi. Nyatanya, masyarakat berharap hak hidup sehatnya terpenuhi.

CEPR menargetkan pembangunan proyek PLTU Cirebon rampung di Februari 2022, nanti kita akan analisa bersama berdasarkan presentase kesehatan lingkungan sekitar ketika nanti PLTU Cirebon unit 2 setelah beroprasi dengan mengakumulasikan berapa persentase pertumbuhan kesejahteraan, kenaikan derajat kesehatan lingkungan yang tentu kita berharap dengan hadirnya PLTU tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan listrik untuk setiap harinya, tetapi juga tetap memperhatikan hak hidup sehat masyarakat sekitarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *