Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban dalam Tindak Pidana Hukum Melalui Restoratif Justice

Penulis : Novelly Siregar, S.H. Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas Kelas I Palembang

Swakarya.Com. Anak sebagai insan yang lahir di dunia dengan segala kelemahannya, seringkali dapat menjadi korban dalam pergaulan masyarakat hukum. Baik itu di lingkungan keluarga ataupun lingkungan masyarakat sekitarnya.

Oleh karena itu, Perlindungan khusus hendaknya diberikan oleh pemerintah kepada anak. Anak sebagai generasi penerus harus diberikan perlindungan dari perilaku menyimpang, seperti tindak pidana, kejahatan, kekerasan dan tekanan fisik, jiwa dan raganya.

Perlindungan terhadap anak korban kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 1 ayat (2) Perlindungan Anak adalah segala kegiatan yang menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta medapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Adapun tujuan perlindungan anak menurut undang-undang adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimisasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Perlindungan terhadap anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab kita semua, anak korban harus mendapatkan perhatian dan perlindungan terhadap hak-haknya. Penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum khususnya korban anak, harus ditangani secara khusus baik represif maupun tindakan preventif demi menciptakan masa depan anak yang baik dan sejahtera.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak membagi tiga bagian terhadap anak yang perkara dengan hukum, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa:


“Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut sebagai anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”


Dari ketentuan Pasal 1 ayat (4)tersebut dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami suatu tindak pidana.

Kasus yang dialami oleh anak akhir-akhir ini cendrung mengalami peningkatan hal ini dapat kita lihat dari pemberitaan yang ada baik melalui media cetak maupun elektronik, melihat kondisi yang ada dibutuhkan suatu upaya yang serius dalam menanggulangi tindak kekerasan terhadap anak.

Peran aktif dari para aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan terhadap anak sangat diperlukan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat. Dalam Undang-Undang disebutkan bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain :


a. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. Pemisahan dari orang dewasa;
c. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. Pemberlakuan kegiatan rekreasional;
e. Penghindaran dari penangkapan, penahanan dan/atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang palingsingkat;
f. Pemberian keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
g. Penghindaran publikasi atas identitasnya;
h. Pemberian pendampingan orang tua/wali dan orang yang ddipercaya olehanak;
i. Pemberian advokasisosial;
j. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi anak penyandang disabilitas;
k. Pemberian pendidikan;
l. Pemberian pelayanan kesehatan;dan
m. Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 90 ayat (1) menjelaskan bahwa Anak korban dan Anak saksi berhak atas “upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga”. Yang dimaksud dengan rehabilitasi medis tersebut adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu dengan memulihkan kondisi fisik anak, anak korban dan atau anak saksi.

Kemudian yang dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar anak korban, dan atau anak saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat. Selain hak-hak anak sebagai korban yang didapat berupa ganti kerugian, terdapat beberapa hak anak sebagai korban untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.


Adanya proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum di luar proses peradilan merupakan langkah maju dalam menyelesaikan perkara anak, pembalasan bukan lagi merupakan cara yang efektif dalam menyelesaikan perakara anak yang lebih penting adalah pemulihan keadaan dengan melibatkan semua pihak untuk duduk bersama dalam menyelesaikan perkara yang terjadi dengan harapan baik pelaku, korban mendapatkan keadilan yang memang sudah menjadi haknya.


Disamping itu, dalam pemulihan terhadap korban anak peran keluarga sangat penting karena mereka merupakan orang-orang terdekat korban (anak) mempunyai andil besar dalam membantu memberikan pemulihan kepada korban. seluruh komponen masyarakat dengan ikut mengayomi dan melindungi korban dengan demikian diharapkan pemulihan terhadap korban dapat terwujud secara maksimal.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *