Jakarta, Swakarya.Com. Peneliti Pandemi dari Griffith University, Queensland, Australia Dr. Dicky Budiman, M.Sc., PH., Ph.D (Can) menjelaskan, bahwa rentang waktu setiap 100 tahun terjadi dalam sejarah manusia wabah yang melibatkan banyak korban, saat ini yang kita alami Covid-19. Sebelumnya, 100 tahun yang lalu dunia menghadapi flu Spanyol, termasuk bangsa Indonesia.
“Indonesia mengalami dua gelombang pada flu Spanyol ini. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada daerah yang kebal terhadap pandemi,” ujar Dicky dalam Webinar DPP LDII bertajuk “Menjadi Pondok Pesantren Sehat pada Era Pandemi Covid-19” pada Senin, 10 Agustus 2020.
Sejarah singkat wabah dunia, dari berbagai penyakit yang terjadi pada manusia, pertama kali yang serius menjadi ancaman adalah penyakit disebabkan bakteri, sebelum ditemukannya antibiotik.
Saat Rasulullah masih hidup, ada wabah Justinian, pada saat itu yang menjadi korban total di dunia 50 juta orang. Biasanya periode wabah pada zaman dahulu dengan belum ditemukannya obat bisa mencapai 3-10 tahun. HIV misalnya, juga wabah pandemi yang sulit dikendalikan, dalam rentang waktu 30 tahun terakhir telah menelan korban 35 juta orang.
Saat ini umat manusia menghadapi pandemi Covid-19, saat umat manusia belum siap. Dampak Covid-19 sangat kompleks, sangat luas. Ternyata satu aspek saja dari kesehatan yang sifatnya mengglobal bisa meluluhlantakkan semua sektor. Untuk itu, investasi kesehatan digelontorkan sedemikian besar di negara maju. “Jadi pembelajaran kita, kesehatan sangat penting,” tegas Dicky.
Semua orang berisiko terdampak pandemi Covid-19, tidak ada risiko nol persen. Utamanya orang dengan usia lanjut dan memiliki riwayat penyakit komorbid (penyakit penyerta) memiliki risiko tinggi, sehingga sangat diwajibkan melakukan ikhtiar pencegahan infeksi Covid-19.
Riset terkini, dampak Covid-19 terhadap organ tubuh semakin luas, tidak hanya pada saluran nafas tapi juga berdampak dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Laporan terkini WHO, sedang dibangun 139 vaksin Covid-19, dan sedang diuji coba pada manusia 26 jenis vaksin. “Perlu dipahami bahwa vaksin tidak selalu cepat dan mudah ditemukan, maka jangan hanya berpandangan bahwa obat adalah vaksin, tetapi upaya pencegahan juga dapat disebut sebagai obat,” jelas Dicky.
Peran kita adalah dengan melakukan adaptasi pola kebiasaan baru. “Kita harus hidup lebih sehat, menjaga keseimbangan lingkungan dan mahluk hidup agar kita tidak merusak alam dan akhirnya dapat meminimalisir terjadinya pandemi,” ujar Dicky.
Kebiasaan baru dapat dimulai dari diri sendiri dan keluarga di rumah, fasilitas pendidikan, fasilitas perkantoran, fasilitas umum dan fasilitas kesehatan.