Pemikiran Kuno Standar Kecantikan


Penulis: Kartika Chandra Anastya, Mahasiswi Akuntansi FE UBB

Cantik itu fisik? Sikap? Pemikiran?
“Cantik itu pakai makeup, jelek itu hitam.” Dika (Anak laki-laki bermur 7 tahun).
“Cantik itu putih, langsing sama gak sukamarah-marah.” Akbar (Anak laki-laki berumur 12 tahun).

Perempuan dan kecantikan merupakah dua hal berbeda yang sulit dipisahkan. Label cantik sengaja diciptakan karena terdapat beberapa kepentingan dibelakangnya. Sehingga memunculkan standar kecantikan yang berlaku luas di masyarakat.

Salah satu bentuk kepentingan yang menciptakan standar kecantikan adalah kepentingan bisnis. Bisnis fashion dan kosmetik menjadi pemicu terbesar dari standar kecantikan.

Tubuh, kosmetik, dan kecantikan menjadi saling terkait lalu membentuk satu kesatuan representasi akan kesempurnaan perempuan. Keterpaduan antara tubuh dan kosmetik yang dilekatkan kepada perempuan menghasilkan sebuah tanda baru yaitu kecantikan (Adlin & Kurniasih, 2006: 217-239).

Iklan adalah salah satu tayangan media yang menyebarkan kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh perempuan (Fitryarini, 2009). Jika melihat iklan kosmetik yang sedang menayangkan keunggulan produknya maka figur perempuan yang ditampilkan (kebanyakan) adalah wajah tirus, bibir sensual merah muda, hidung mancung paripurna, kulit putih, dan tampilan yang bersih.

Pada bidang fashion tentu saja yang menjadi modelnya adalah perempuan langsing dan tinggi.

Dengan adanya konsep cantik dari iklan (Perwujudan strategi pemasaran dari sebuah bisnis) yang diputar secara terus menerus dan dikampanyekan secara bersamaan maka menimbulkan konstruksi sosial dari kecantikan itu sendiri.

Secara tidak sengaja atau bahkan sengaja, konsep cantik menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan yang tidak memenuhi standar kecantikan yang digaungkan itu.

-curhatan 1 “Menjadi cantik itu berat. Butuh uang banyak buat beli skincare, facial di klinik kecantikan, butuh krim siang malam dari dokter biar glowing. Pengin juga sulam alis, botox, pasang benang sama suntik putih.”
-curhatan 2 “Bosen dikatain jelek. Aku harus ikut program pelangsingan badan, ngegim, aerobik, juga zumba.

Aku mau water fasting diet ah, minum air aja biar cepet kurus. Aduh aku juga pendek, dimana sih tempat les renang? Atau fisioterapi aja ya narik tulang.”

Dari curhatan 1 dan 2 tentunya akan menciptakan keuntungan bisnis pihak lain. Adanya gagasan mengenai kecantikan dalam kaitannya berkembang bersamaan dengan konsep uang sehingga keduanya secara nyata menjadi paralel dalam tingkat ekonomi konsumen atau masyarakat (Wolf, 2004: 43). Jadi, tanpa disadari perempuan merupakan alat/objek bisnis dan mesin handal pencetak uang?

Yang menjengkelkan dari pemahaman standar kecantikan adalah beauty privilege. Perbedaan perlakuan yang memuakan antara si cantik dan si buruk rupa. Tidak cantik maka sulit diterima dalam masyarakat.

Pertemanan, dunia kerja, bahkan lingkup percintaan dengan serentak menolak perempuan yang cacat pada nilai cantik. Dari penolakan itu terciptalah rasa insecure dan parahnya dapat menimbulkan depresi terhadap sosial.

Sehingga perempuan yang ingin diterima dalam kondisi masyarakat yang seperti itu mereka akan berlomba-lomba memperbaiki diri agar mendekati standar cantik seperti curhatan 1 dan 2.

Lalu, harus diapakan standar kecantikan yang penuh diskriminasi itu?

Perkembangan zaman menunjukan peradaban sebuah pemikiran manusia. Kini banyak organisasi atau komunitas yang memiliki ideologi kritis untuk menentang standar kecantikan.

Beberapa produk kecantikan juga memberi pemahaman baru pada standar cantik dengan beralih terhadap kulit sehat dan bersih terlepas dari warna pigmen bawaan. Begitu juga terkait kesetaraan gender, perempuan memiliki hak untuk berbicara sekeras dan sekencangnya

Penumpasan diskriminasi pada pemikiran kolot perlu dilakukan secara bersama-sama. Bilapun setiap wanita memiliki impian cantik yang berbeda-beda, perempuan tetap menginginkan perlakuan adil dalam masyarakat.

Bukankah menerima karena kecerdasan, good attitude, dan karya lebih baik dibandingkan menerima karena cover cantik dari standar kecantikan? Sayang sekali, penduduk bumi nusantara ini masih sedikit yang berpikiran terbuka. Pun menjadi ironi jika perempuan lebih mementingkan pencapaian “Cantik” dari pada menghawatirkan kualitas diri dari sisi kecerdasan, kemampuan beradaptasi, menciptakan karya, dan memasuki lini pekerjaan penting di organisasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *