Menakar Peran Buzzer dalam Ruang Demokrasi di Indonesia

Oleh : Yudha Kurniawan / Mahasiswa Fakultas Hukum UBB

Di zaman sekarang yang serba canggih dan global dalam berkomunikasi serta cepatnya menerima informasi melalui sosial media, menjadikan tiap insan di negara manapun mempunyai kesempatan dengan mudah untuk berpartisipasi di dalamnya.

Dalam keadaan seperti ini, tentunya setiap orang akan dengan mudah untuk berpendapat dan mengemukakan aspirasinya di ruang publik, karena opini publik di era sekarang tidak hanya berada dalam tataran yang langsung di dunia nyata, namun mengalami pergersaran di dunia maya.

Fenomena ini melahirkan beberapa aktor dengan beragam istilahnya, seperti Netizen, Influencer, Buzzer, dan lain sebagainya yang sudah tidak asing bagi kita yang juga ikut serta dalam menggunakan sosial media.

Pada kesempatan ini penulis secara khusus akan membahas tentang istilah Buzzer, peran, dan dampaknya bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Pada sejarahnya, Buzzer dapat dimaknai sebagai sebuah profesi yang netral untuk kepentingan promosi produk ataupun merek tertentu di masyarakat, sehingga lebih cenderung berorientasi terhadap motif ekonomi.

Pada pemaknaan secara bahasa, Buzzer dimaknai sebagai lonceng, bel, atau alarm yang memberikan makna secara menyebar dengan tujuan tertentu. Berangkat dari hal itulah istilah Buzzer disematkan pada akun-akun yang ada di media sosial yang secara sistematis menyebarkan info-info untuk mempengaruhi opini publik.

Sedikit berbeda dengan Influencer yang memliki jejak digital dan latar belakang yang jelas, dalam hal  Buzzer ini sifatnya anonim, dan sulit diketahui siapa aktor yang berada di baliknya.

Menurut referensi yang penulis baca yakni jurnal Diakom, Vol 2 No 2, Desember 2019 yang ditulis oleh Rieke Mustika, di dalamnya terdapat kajian ilmiah mengenai eksistensi Buzzer, salah satunya yaitu tentang karakter umum daripada Buzzer  itu sendiri yaitu :
1. Jaringan luas; memiliki akses ke informasi kunci/ penting
2. Persuasif
3. Kemampuan produksi konten, mulai mampu mengemas informasi. Cakap menggunakan sosial media, dan memiliki latar belakang jurnalistik
4. Digerakkan motif tertentu baik bersifat bayaran maupun sukarela

Dari empat poin di atas, maka sejatinya Buzzer tidak perlu memiliki follower atau pengikut yang banyak dalam melakukan serangan opini atau Buzzing di sosial media, karena mereka hanya cukup memiliki akses dalam mengirimkan konten-konten mereka.

Pada umumnya konten yang disebar itu bertujuan mempengaruhi baik dalam bentuk bujukan maupun opini terhadap suatu hal yang membuat orang yang membaca konten tersebut seakan mau untuk mengikuti isi dari konten tersebut.

Karena peran Buzzer yang berciri seperti itu, maka dianggap mudah dalam menyebarkan pengaruh di sosial media, dimana tiap orang di zaman sekarang yang mayoritas memilki akun di media sosial.

Hal ini pun juga menjadi penarik bagi para politisi untuk menyebarkan pengaruhnya di ranah sosial media.

Hal ini bisa kita lihat pada setiap alur dinamika kehidupan demokrasi kita, dimana tatkala semakin mendaki pemilu, maka gerakan penyebaran pengaruh politik di dunia maya semakin masif dan sistematis oleh banyak akun yang bila kita cek datanya tidak memiliki latar belakang yang jelas.

Keuntungan yang luar biasa bisa diperoleh politisi, karena dalam hal ini mereka mendapatkan ruang dalam meningkatkan pengaruh dengan cara penyebaran citra dan ideologis mereka di ranah publik, dan itu lambat laun tentu akan menyebabkan opini publik terbentuk.

Sejatinya dalam hal ini penulis memandang sah-sah saja bagi siapapun termasuk Buzzer dalam mengemukakan kontennya, karena di dalam konten tersebut baik berupa foto, video, tulisan, maupun pesan suara adalah bagian dari pikiran dan sikap warga negara yang dijamin oleh konstitusi kita.

Hal tersebut tertuang dalam bab XA tentang Hak Asasi Manusia, lebih tepatnya terdapat dalam Pasal 28 E ayat 2, 28 E ayat 3, dan 28 F, yang secara eksplisit menyebutkan tentang hak menyatakan pendapat, dan penggunaan teknologi sebagai sarana komunikasi dan mendapatkan informasi.

Penggunaan Buzzer ini, bisa diibaratkan analogi pedang bermata dua, karena apabila yang disebar adalah konten yang berisi informasi dari ide-ide politisi dalam memajukan bangsa dan negara, maka tentulah hal ini baik, karena dalam ranah publik ide-ide tersebut saling kritik dalam mencari celah demi melahirkan solusi yang konkret bagi permasalahan yang ada di negara Indonesia ini, sehingga terciptalah penerapan salah satu cita-cita bangsa yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dalam tiap solusi yang ditawarkan oleh para politisi tersebut.

Namun yang perlu diingat dan digaris bawahi adalah resiko dari kebalikan peranan Buzzer di ranah politik, karena sifatnya yang anonim dan sulit diprediksi, maka bisa jadi yang disampaikan bukan lagi perihal ide-ide sebagai solusi, melainkan mencari data apapun untuk menjatuhkan lawan politik dengan cara menghancurkan karakter pribadi orang yang bersebrangan.

Dalam hal ini setidaknya ada beberapa hal negatif yang ditimbulkan, diataranya yakni:
1. Penyebaran informasi hoaks yang diragukan kebenarannya
2. Ujaran kebencian, karena yang diangkat di dalam konten bukanlah ide namun pribadi yang dipredikatkan negatif
3.mudahnya seseorang untuk dikriminalisasi. Hal ini bisa saja terjadi karena acapkali yang ikut menyebarkan info yang salah dari Buzzer tersebut adalah orang yang belum mengecek kebenarannya.

Tiga hal di atas nantinya akan melahirkan banyak sekali hal negatif di masyarakat, karena berujung pada pembodohonan kehidupan bangsa, sehingga persatuan di Indonesia akan mudah retaknya. Pertikaian dimana-mana hanya karena beda pilihan, sehingga apabila gambaran tersebut kita kaitkan dengan kesehatan demokrasi di Indonesia maka dia akan mengalami penurunan.

Demokrasi akan perlahan hanya menjadi pembawa ego antar golongan di masyarakat, sehingga sistem partisipasi publik dalam membangun bangsa dan negara ini akan terhambat, karena masyarakat tidak lagi berdebat tentang ide sebagai solusi, namun akan berdebat dalam konteks adu kepribadian para politisi.

Dalam hal ini penulis bukan tidak menganggap bila kepribadian itu tidak penting, namun nalar kesehatan kita berdemokrasi akan diabatalkan apabila kita sibuk memperdebatkan isu kepribadian politisi yang disebarkan oleh Buzzer, dalam hal ini diragukan kebenaranya.

Oleh sebab itu dalam analisis penulis memandang fenomena demikian adalah sebagai sebuah tantangan yang harus kita konkritkan solusinya, masukan penulis sebagai solusi pada masalah dalam tulisan ini yaitu terhadap resiko peran Buzzer dalam ruang demokrasi kita, seharusnya kita sebagai warga negara yang berpendidikan bisa melakukan langkah yang cerdas yakni memverifikasi ulang isu hangat yang beredar di media sosial, atau mengklarifikasi langsung terhadap orang yang bersangkutan apabila ada indikasi sematan predikat negatif pada diri seseorang.

Dan yang terakhir adalah jangan membagikan postingan konten yang kita tak mengetahui kebenaran di dalamnya, karena dengan ini kita membantu Buzzer dalam menyebarkan informasi yang salah ke ruang publik dan juga dapat dikenakan sanksi pidana yaitu penyebaran berita bohong atau hoaks sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.”

Dan seperti yang kita ketahui perkembangan media sosial yang pesat menuntut kita untuk lebih selektif, bijak, dan objektif dalam memahami banyak hal, sehingga peran Buzzer tetap pada kehendak konstitusi, yakni bertukar ide dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga ruang demokrasi di Indonesia akan tetap terjaga.

Editor: Fakih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *