Masa Depan Kebebasan (2) Sistem yang Tidak Hanya Bersadar pada Niat Baik Penguasa

*Denny JA Tentang Buku Yang Ditulis oleh Fareed Zakaria*

(Tulisan ini diedit, ditambah- kurangkan dari esai asli yang dimuat di Facebook Esoterika-Islamika, yang diasuh AE Priyono)

Swakarya.Com. Demokrasi modern yang menjadi sistem dominan dunia masa kini memiliki riwayat yang panjang. Ia anak bersama dari gagasan pemerintahan oleh rakyat dan gagasan kebebasan.

Baru pada 1840 Eropa Barat mulai menerapkan aspek-aspek penting liberalisme konstitusional. Inggris bisa disebut sebagai negara pertama yang memulai. Ia meliputi penegakan rule of law, pemisahan kekuasaan secara ketat, serta kebebasan berbicara dan berserikat.

Tapi penerapan prinsip liberalisme konstitusional baru secara penuh diterapkan pada abad ke-20. Di era awal itu, liberalisme konstitusional belum menjadi prinsip yang berlaku secara global.

Hanya di Eropa Barat dan Amerika demokrasi serta liberalisme konstitusional dipraktekkan sebagai satu paket kesatuan. Dan itulah yang disebut demokrasi liberal. Di luar itu yang ada hanyalah variasi-variasi otokrasi liberal atau demokrasi illiberal, demokrasi yang tidak liberal.

Dua elemen penting yang hadir dalam Demokrasi liberal. Pertama: pemerintahan dipilih oleh rakyat. Ini fondasi awal yang membuat satu pemerintahan mendapatkan label demokrasi secara sah. Tapi tak cukup hanya itu untuk menjadi demokrasi modern.

Harus hadir pula elemen kedua: pengakuan dan perlindungan atas kebebasan, diterapkannya peradilan yang independen. Tak lupa dijaganya ruang publik bagi beroperasinya partai-partai politik, gereja, bisnis, asosiasi-asosiasi privat, dan elite profesional. Elemen kedua ini ekspresi dari kultur liberalisme.

Gabungan elemen pertama dan elemen kedua yang membuat satu sistem pemerintahan disebut demokrasi liberal. Ini nama lain dari demokrasi modern.

Namun pada prakteknya, dalam sistem demokrasi liberal tidak semua elemen kekuasaan tunduk pada pemilihan umum.

Hakim-hakim misalnya tidak dipilih melalui pemilihan umum. Hakim-hakim diangkat berdasarkan kompetensi dengan tugas menjaga kedaulatan hukum. Fungsi utama hukum melakukan “pembatasan yang bijaksana agar kebebasan satu pihak tidak melangggar kebebasan pihak lain.

Para bapak-bangsa Inggris dan Amerika membayangkan sebuah masyarakat yang pluralistik. Mereka tidak setuju pada ideologi tunggal keagamaan yang berpotensi mendominasi masyarakat.

Apalagi dalam negara modern selalu hadir warga negara dari banyak agama. Begitu banyak kitab suci menjadi rujukan hidup warga negara.

Harus ada aturan bersama di Ruang publik yang melindungi keberagaman itu. Tak ada yang lebih tinggi di ruang publik ketimbang prinsip dalam kontitusi. Kitab suci dibolehkan menjadi panduan hidup individu. Namun panduan hidup bernegara, hidup bersama warga yang beragam, bukan kitab suci, tapi konstitusi.


Sejak semula, demokrasi dan kebebasan memang merupakan dua gagasan yang berbeda. Adalah salah menyamakan gagasan demokrasi dan liberalisme.

Demokrasi di Yunani kuno tidak didasarkan pada gagasan mengenai liberalisme dalam pengertian yang kita pahami sekarang. Demokrasi di Yunani kuno didasarkan pada gagasan mengenai kebebasan warga negara (demos) untuk mengembangkan gagasan partisipasi politik.

Dalam liberalisme, terkandung gagasan mengenai kebebasan individual yang melekat pada setiap orang. Kebebasan individual itu mencakup kebebasan berbicara, kebebasan berkeyakinan, kebebasan mengembangkan diri, kebebasan berserikat, dan kebebasan untuk tidak ditindas oleh kekuasaan negara.

Di Yunani kuno, warga polis yang memiliki hak demokratik hanya terdiri dari laki-laki dengan jumlah kekayaan tertentu. Demokrasi semacam itu terbatas. Itu bukan jenis demokrasi untuk semua individu. Anggota parlemen tidak dipilih oleh seluruh rakyat seperti dikenal dalam demokrasi modern, tapi diundi di kalangan warga polis.

Parlemen yang diundi itu memiliki kekuasaan tanpa batas, bahkan bisa memutuskan untuk mencabut nyawa seorang filisof. Ini yang menimpa Socrates. Ia dibunuh karena keputusan parlemen Yunani Kuno, dengan alasan karena ajaran-ajarannya dianggap membahayakan. Socrates mati karena keputusan demokratik, tapi ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip liberalisme.

Demokrasi liberal yang kita kenal sekarang sebenarnya lebih dekat dengan gagasan Romawi ketimbang Yunani. Jika orang menyebut Yunani kuno sebagai negara bebas, sebenarnya yang dimaksudkan dulu adalah dalam pengertian bahwa negara-kota itu tidak pernah dijajah oleh bangsa asing.

Ini yang menyebabkan warga polis Yunani bebas sehingga muncul situasi di mana orang bisa mengembangkan kesenian, puisi, dan filsafat.


Banyak bangsa ketika itu menjadi budak karena dijajah bangsa lain. Demokrasi Yunani diciptakan untuk memungkinkan negara-bebas itu dibela oleh warganya.

Gagasan mengenai kebebasan jenis lain dikembangkan oleh Romawi. Bahwa semua warga diperlakukan sama di depan hukum. Gagasan ini lebih dekat dengan gagasan liberalisme-konstitusional yang dipahami dewasa ini. Istilah “libertas” dari bahasa Latin lebih dekat dengan pengertian Romawi ketimbang Yunani.

Demokrasi Yunani tumbang karena negara-kota itu dicaplok oleh bangsa asing. Republikanisme liberal Romawi juga runtuh karena munculnya monarki. Yunani tidak berhasil mempertahankan praktek demokrasi polisnya karena negara-kota itu terlalu kecil untuk mempertahankan diri di tengah-tengah agresi bangsa asing yang memiliki kekuatan militer yang besar. Demokrasi pada abad ke-5 sebelum Masehi itu akhirnya punah.

Romawi yang mengembangkan gagasan Republikanisme-liberal, di mana setiap warga negara memupunyai kedudukan setara di depan hukum, akhirnya juga jatuh pada abad pertama di era Masehi. Munculnya orang-orang kuat yang menjadi diktator seperti Nero, Vitelius, dan Galba, membuat Roma menjadi kekaisaran dunia yang besar. Setelah Romawi menjadi kekaisaran, gagasan Republikanisme juga melenyap dari sejarah.

Pelajaran dari pengalaman Romawi adalah bahwa rule of law harus dipertahankan oleh masyarakat sipil yang independen. Romawi mengalami kegagalan dalam dua eksperimen besarnya. Ia gagal sebagai republik dan jatuh menjadi kekaisaran diktatorial. Begitu bentuk kekuasaannya berubah menjadi diktatorial, maka kekuasaan rule of law Romawi juga ikut runtuh.

Apa pelajaran paling berharga yang bisa dipetik dari pengalaman Romawi ini?

Agar rule of law bisa dipertahankan, kita memerlukan lebih dari sekadar niat-baik penguasa. Kekuasaan itu menggoda untuk disalahgunakan. Penguasa bergantian berkuasa.

Penguasa baru bisa saja tidak punya niat sebaik penguasa sebelumnya untuk menjadikan kekuasaan bermaslahat bagi publik. Kekuasaan harus terus menerus dikontrol. Pengontrol kekuasaan yang paling efektif adalah masyarakat yang memiliki independensi. Ciptakanlah lembaga-lembaga di dalam masyarakat yang bebas dari campur tangan negara.

Runtuhnya kekaisaran Romawi menjadi babak baru perjalanan sejarah politik Eropa yang lebih terdesentralisasi. Sejak Romawi runtuh pada abad ke-6, dan juga begitu lemahnya para penyerangnya dari suku-suku Jerman, tidak ada lagi kekuasaan imperial yang menguasai seluruh Eropa. Kosongnya kekuasaan yang bersifat imperial itu membuat bangkitnya komunitas-komunitas kecil di seluruh Eropa.

Sampai abad ke-16, Eropa terdiri dari kekuasaan-kekuasaan kecil dalam bentuk negara-negara independen. Bentuknya sangat beragam, mulai dari kekuasan negara-kota, kedatuan-kedatuan (duchies), republik, ataupun dalam bentuk negara-bangsa. Ini semacam negara-negara dengan kesamaan etnis/bahasa.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait