Mahasiswa Berbicara Nalar Demokrasi (Menjemput Pilkada yang Sehat)

Penulis: Ari Muhammad Syafari, Kader HMI Cabang Kabupaten Bandung

Pada tahun 2020, akan diadakan Pilkada Serentak di 8 Kabupaten/Kota se-Provinsi Jawa Barat, delapan daerah tersebut yakni Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Pangandaran dan Kota Depok.

Tentunya, publik akan sibukan akan pesta demokrasi yang ada pada delapan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat. Pasti, semua pandangan mata tertuju pada pesta demokrasi yang akan melanda pada tahun 2020 ini.
Disamping itu, dengan menyoroti “Pesta Demokrasi”, seluruh lapisan seakan-akan terus membumikan demokrasi dan tidak terlepas kaum yang dikatakan intelektual pun ikut membicarakan demokrasi.

Mahasiswa menjadi bagian dari akar demokrasi, karena salah satu peran dan fungsi mahasiswa sebagai social of control, disini mahasiswa harus mempunyai sebuah formulasi baru akan kebaruan demokrasi yang utuh, sehingga pemahaman mahasiswa akan demokrasi tidak parsial.

Mahasiswa mempunyai segudang studi ilmu yang senantiasa harus diaplikasikan kepada tingkat teoritis menjadi praktis kepada masyarakat, termasuk berbicara demokrasi.
Ketika ditarik pada kajian ontologis sistem demokrasi merupakan sistem dimana kekuasaan berada di tangan rakyat.

Rakyat lalu “mengontrak” seorang penguasa untuk mengatur urusan dan kehendak mereka. Jika penguasa dipandang sudah tidak akomodatif terhadap kehendak rakyat, penguasa dapat dipecat karena ia hanya sekadar “buruh” yang digaji oleh rakyat untuk mengatur negara.

Konsep inilah yang diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), dikenal dengan sebutan kontrak sosial
Maka sebagai kaum intelektual seharusnya mahasiswa memahami konteks demokrasi secara utuh, tidak berbelit pada hal-hal yang tidak substansial.

Karena bagaimanapun mahasiswa-lah menjadi jembatan yang akan menghubungkan segala percakapan politik antara politisi dan rakyat.
Oleh karena itu, mahasiswa harus berperan menjadi keseimbangan dari segala kerumitan yang ada pada demokrasi.

Pertanyaan yang paling mendasar, mengapa harus mahasiswa? Karena mahasiswa-lah yang dianggap bisa menjaga rakyat terhadap godaan pragmatisme politik.

Pada tahun ini prosesi demokrasi akan dilakukan. Hal itu penulis teringat perkataan dari Soe Hok Gie yang menyatakan “Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.” Bukankah pernyataan ini bertentangan dengan konsepsi demokrasi diatas?

Maka, mahasiswa secara langsung harus senantiasa mengkaji apa itu demokrasi yang seutuhnya dan bagaimana implementasi demokrasi itu. Karena walaupun persepsi kita terkait demokrasi itu cacat, akan tetapi Vladimir Putin pernah berkata “Sejarah membuktikan bahwa semua bentuk pemerintahan diktator dan otoriter hanyalah sementara. Hanya demokrasi yang tidak sementara.

Apa pun kekurangannya, belum ada sistem yang lebih unggul dari demokrasi.”.
Seharusnya mahasiswa menjadi gerbong utama untuk mengawal demokrasi yang ada di Indonesia.

Tidak ada kata, mahasiswa hanya diam ketika melihat prosesi demokrasi yang akan berlangsung tidak sesuai jalur yang semestinya. Justru mahasiswa harus menjadi garda kedepan, dan menjadi mitra kritis dalam mengawal demokrasi, karena itu menjadi tugas yang semestinya dilakukan oleh mahasiswa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *