Kurikulum Darurat, Guru Terjerat

Penulis: Yudi Septiawan, Dosen STISIPOL Pahlawan 12/KAHMI Institute Bangka Belitung

Swakarya.Com. Dunia pendidikan tanah air sedang menghadapi dilema yang cukup pelik sejak diterapkannya work from home (WFH). Berbagai macam polemik terkait kegiatan belajar mengajar (KBM) pun mengemuka. Mulai dari keterbatasan kuota internet, gangguan sinyal, hingga gagap teknologi menjadi dalih siswa dan guru disejumlah wilayah.

Namun, WFH merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan jutaan nyawa guru dan pelajar ditengah pandemi CoViD-19 yang semakin gencar melanda.
Berbicara polemik, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tidak tinggal diam.

Berbagai cara sudah dikerahkan agar siswa tetap bisa mengenyam pendidikan seperti sedia kala. Kuota internet dan gangguan sinyal disiasati dengan penayangan program-program edukasi melalui saluran TVRI.

Hal ini bertujuan agar para siswa yang berada di lokasi geografis kurang mendukung tetap bisa belajar walaupun hanya dengan menonton beberapa jam program TVRI. Pemerintah ingin menonjolkan bahwa ada segenap daya dan upaya yang dilakukan untuk memfasilitasi para siswa dengan menyajikan suguhan terbaik.


Namun, di tengah upaya pemerintah tersebut, turut muncul suara-suara sumbang dari berbagai kalangan. Salah satunya berasal dari kalangan orang tua siswa yang mengeluhkan buruk dan kurang maksimalnya sistem pembelajaran jarak jauh yang diterapkan saat ini. Mereka menuntut bahwa kurikulum mesti disesuaikan dengan kondisi pandemi. Lantas, apakah bisa segampang itu mengubah sebuah kurikulum?


Wacana Kurikulum Darurat


Terkini, hasil rapat koordinasi antara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan Kemdikbud dan Kementerian Agama menghasilkan sebuah usulan untuk menerapkan kurikulum baru selama pandemi CoViD-19, yaitu Kurikulum Darurat.

Usulan ini merupakan aspirasi dari para orang tua siswa melalui KPAI yang kemudian disampaikan pada rapat tersebut. Sesuai namanya, kurikulum ini nantinya akan dirancang berdasarkan kondisi yang sedang dihadapi saat ini.

Teknologi menjadi tumpuan dalam pembelajaran. Artinya, hal ini kembali lagi ke masalah awal yaitu kendala teknologi.
Usulan tersebut memang unik, namun sulit terwujud dalam kondisi saat ini.

Sebagai catatan bahwa Indonesia sudah 7(tujuh) kali berganti kurikulum mulai dari 1968 sampai dengan 2013. Pergantian kurikulum dari satu ke yang lainnya membutuhkan kajian yang terukur.

Ada berbagai pertimbangan ketika suatu kurikulum hendak dirubah atau dikembangkan, misalnya faktor masyarakat, faktor sosial politik, faktor perkembangan dunia, dan lainnya.

Lagi pula, CoViD-19 ini juga belum bisa diprediksi akan sampai kapan. Oleh sebab itu, mengubah kurikulum yang hampir mapan saat ini merupakan sebuah langkah yang sangat gegabah.


Lebih jauh, merancang sebuah kurikulum baru bukan pekerjaan yang sebentar dan butuh biaya yang mahal. Kurikulum reguler saja bisa memakan dana triliunan, apalagi harus ngebut seperti Kurikulum Darurat ini.

Ditambah lamanya proses penyesuaian, transisi dan adaptasi dari kurikulum sebelumnya ke kurikulum baru. Bisa dibayangkan bagaimana stresnya para guru harus mengubah pola belajar, sistem, dan penilaian dalam kondisi WFH seperti saat ini.


Guru Terjerat


Tidak bisa dipungkiri bahwa guru adalah aktor di balik terlaksananya sebuah kurikulum, sedangkan pemerintah adalah regulator. Apa yang diatur oleh pemerintah, dilaksanakan seutuhnya oleh guru di lapangan dengan siswa sebagai objeknya.

Sementara itu, kurikulum adalah sepucuk senjata ampuh yang sudah dirakit sedemikian rupa dan diberikan oleh pemerintah untuk dipakai oleh guru dalam mendidik siswa.

Namun, apabila senjata canggih tersebut tidak dapat digunakan dengan baik oleh guru, atau guru bingung bagaimana cara menggunakannya, apakah senjatanya diganti?

Tentu tidak. Guru justru harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup agar senjata canggih tersebut bisa berguna semestinya.
Analogi di atas sekedar merefleksikan apa yang seharusnya menjadi konsen pemerintah.

Pemerintah sebagai regulator seharusnya mengevaluasi secara menyeluruh apakah pelaksanaan pembelajaran di tengah CoViD-19 dengan menerapkan WFH ini sudah berjalan maksimal.

Yudi SePTIAWAN

Kalaupun ada kekurangan, maka harus dengan sigap dan tanggap mencari apa yang harus dibenahi. Kalau seandainya Kurikulum Darurat dijadikan opsi, bukan tidak mungkin kondisi ini akan menjerat para guru.

Dengan waktu yang mepet, ditambah harus mempersiapkan tetek bengek terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), hal ini menjadi tidak mungkin, terburu-buru, dan kurang maksimal.


Pada dasarnya, aspirasi orang tua siswa memang aspirasi di lapangan yang mungkin tidak tersampaikan secara langsung ke Kemdikbud.

Namun, aspirasi tersebut perlu disikapi secara bijak, di analisis secara mendalam, dan diteliti secara jeli terkait apa saja efek domino yang akan ditimbulkan kedepannya. Jangan sampai, hanya karena aspirasi dari orang tua siswa, guru menjadi terjerat dengan seabrek ‘tugas baru’ yang kurang produktif.


Pembekalan Ketrampilan dan Kompetensi
Sejumlah pengamat pendidikan mengkritisi soal wacana kurikulum darurat ini. Salah satu diantaranya adalah Indra Charismiadji, pengamat sekaligus praktisi pendidikan dari CERDAS (Center for Education Regulations and Development Analysis).

Dia menegasakan bahwa kurikulum tidak perlu dirubah, namun yang paling penting adalah menyiapkan dan membekali guru dengan segudang kompetensi dan ketrampilan agar bisa tetap beradaptasi dengan kondisi apapun, termasuk ketika pandemi seperti sekarang.

Daripada mengembangkan kurikulum baru, lebih baik mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang ada.

Bukankah hal itu relevan dengan visi Pak Presiden? Apalagi kondisi keuangan negara saat ini dialihkan untuk penanganan CoViD-19, rasanya mustahil hal ini bisa dilakukan. Semoga, langkah-langkah yang ditempuh oleh para stakeholders di pemerintah pusat bisa memberikan dampak positif dan maslahat untuk insan cendikia di negeri tercinta ini.

Kurikulum, apapun jenisnya, harus tetap berdiri sejajar dengan kompetensi guru-guru agar apa yang dicita-citakan oleh Pak Presiden, Mas Menteri Nadiem Makariem, para pendidik, peserta didik, dan orang tua didik, bisa terwujud di masa depan. Semoga.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *