Kriteria Penjamin Reintegrasi Sosial WBP pada Masa Pandemi Covid-19

Penulis: Joni Ihsan, S.H., M.H., PK Ahli Madya
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan

Swakarya.Com. Setelah lebih dari 1 tahun dunia di landa pandemi Covid 19, memasuki tahun kedua ternyata penyebaran dan penularan virus tersebut belum dapat di hentikan, bahkan terjadi gelombang yang lebih besar dari pada gelombang pertama saat kali pertama penularan.

Semua elemen masyarakat dan pemerintah bahu membahu dalam menanggulangi penyebaran dan penularan virus ini, berbagai kebijakan diambil oleh pemerintah, BUMN, BUMD maupun sektor swasta.


Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (selanjutnya disingkat Ditjenpas) membuat langkah strategis dengan mengambil kebijakan Asimilasi dirumah bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disingkat WBP).

Saat Walaupun kebijakan ini sedikit menuai kontroversi dan kontra dari berbagai kalangan, namun Ditjenpas tetap melaksanakan kebijakan ini dan terbukti kebijakan asimilasi dirumah mampu memutus mata rantai penyebaran dan penularan covid-19.

Langkah konkret yang diambil adalah kebijakan mengeluarkan WBP berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi Dirumah Dan Hak Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Virus Corona.


Awal tahun 2021 gelombang kedua penyebaran dan penularan covid 19 semakin masif sehingga Ditjenpas kembali mengambil langkah konkret melalui Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid 19.

Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan kondisi Lapas dan Rutan di Indonesia yang tidak memungkinkan untuk menerapkan protokol kesehatan yang merupakan cara ampuh untuk memutus mata rantai penyebaran dan penularan virus covid-19, kondisi lapas dan Rutan di Indonesia merupakan tempat pavorite bagi penyebaran dan penularan virus covid-19.

Pertimbangan tersebut sejalan pula dengan hasil penelitian World Health Organisation (WHO) yang mengatakan bahwa ada 3 (tiga) tempat yang menjadi sumber penyebaran dan penularan virus corona menjadi lebih cepat dan masif. Ketiga tempat tersebut yaitu tempat yang ramai (kerumunan), tempat yang sempit dan tempat tertutup (terutama yang tidak memiliki sirkulasi udara yang baik).


Kondisi Lapas dan Rutan di Indonesia memenuhi semua syarat sumber penyebaran dan penularan Covid-19 lebih cepat dan masif karena tingkat okupansi Lapas dan Rutan yang ada di Indonesia hampir 90% (sembilan puluh persen) overcapacity (over kapasitas) sehingga overcrowded (menimbulkan berbagai macam masalah).

Lapas dan Rutan di Indonesia merupakan tempat yang ramai (kerumunan) dan tempat yang sempit serta merupakan tempat yang tertutup.

Tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa kebijakan pengeluaran WBP yang diambil oleh Ditjenpas sangatlah tepat, tugas selanjutnya menjadi tantangan bagi Pembimbing Kemasyarakatan (selanjutnya disingkat PK) dalam melakukan pembimbingan dan pengawasan WBP yang sudah menjadi Klien Pemasyarakatan. Tugas PK dalam melakukan pembimbingan dan pengawasan sangat didukung oleh penelitian terhadap calon penjamin yang tepat, layak dan benar.

Penjamin bagi WBP sebenarnya sudah ditentukan oleh Lapas dan Rutan, tugas PK adalah memverifikasi calon penjamin yang sudah menjadi penjamin di Lapas dan Rutan. Layak tidaknya seseorang menjadi penjamin, kejelasan hubungan kekerabatan penjamin dengan WBP dan kebenaran domisili penjamin merupakan kriteria yang secara umum menjadi alat ukur bagi PK.

Tidak ada kriteria khusus untuk menjadi penjamin dalam reintegrasi sosial WBP, diberbagai peraturan terkait juga tidak dinyatakan dengan jelas mengenai kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang, pemerintah atau badan hukum yang akan menjadi penjamin. Didalam peraturan terkait hanya menjelaskan siapa saja pihak yang dapat menjadi penjamin namun tidak menjelaskan kriteria penjamin secara konkret.

Jika tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, bagaimana PK akan menentukan kriteria penjamin yang layak untuk reintegrasi sosial WBP ? dan kriteria apa yang dibutuhkan oleh penjamin pada masa pandemi Covid-19?.

Dalam beberapa peraturan terkait reintegrasi sosial hanya menyebutkan bahwa kriteria penjamin adalah sanggup menjamin bahwa calon klien pemasyarakatan tersebut tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum.

Kemudian penjamin juga menyatakan bersedia membantu dalam membimbing dan mengawasi calon klien pemasyarakatan selama mengikuti program asimilasi (pada pasal selanjutnya berlaku pula untuk CMK,PB, CMB dan CB).

Penulis menggunakan istilah calon klien pemasyarakatan untuk WBP yang belum mendapat keputusan menjalani reintegrasi sosial namun sudah dalam proses pengusulan oleh Lapas dan sudah dilakukan penelitian kemasyarakatan oleh PK Bapas.

Masih terkait dengan kriteria penjamin, penulis mencoba menganalisanya dengan menggunakan “Teori Sumber Hukum Positif”. Hukum positif adalah hukum yang sedang berlaku pada suatu tempat dan suatu waktu tertentu, misalnya hukum positif Indonesia adalah UUD 1945, UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, UU Nomor 11 tahun 2021 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan lain-lainnya. Adapun sumber hukum positif dibagi menjadi 2 yaitu sumber hukum materil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materil yaitu norma yang dapat membentuk hukum dan/atau tempat dimana material hukum itu diambil.

Sumber hukum materil dapat berupa norma, hukum, tradisi dan kebiasaaan. Sedangkan sumber hukum formil yaitu tempat/sumber dari mana suatu peraturan itu memperoleh kekuatan hukum (hal ini terkait dengan bentuk hukum tersebut dan cara keberlakuan hukum itu berlaku). Sumber hukum ini dapat berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan (yang berlaku secara terus menerus dan tidak melanggar peraturan), yurisprudensi maupun doktrin.


Berdasarkan teori diatas, jika kriteria penjamin tidak ditemui dari berbagai sumber hukum, maka sumber hukum dapat diambil dari “Kebiasaan” tertulis maupun tak tertulis. Kriteria penjamin berdasarkan kebiasaan yang telah dilakukan oleh PK Bapas secara terus menerus dan tidak melanggar peraturan adalah kebiasaan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam menyusun Penelitian Kemasyarakatan serta menentukan penjamin.

Dalam Penelitian Kemasyarakatan, kriteria penjamin dapat dilihat pada angka VI yaitu Kondisi Penjamin yang terdiri dari Riwayat Perkawinan Penjamin, biasanya kriteria yang diambil oleh PK Bapas dalam menentukan layak tidaknya seorang menjadi penjamin harus mempunyai mempunyai riwayat perkawinan yang baik, bukan keluarga broken home, kriteria ini diperlukan agar ia dapat memberi contoh yang baik kepada klien saat menjalani reintegrasi sosial.

Perkawinan penjamin yang tercatat (resmi) atau tidak tercatat (siri) juga berhubungan dengan reintegrasi sosial, jika perkawinan tersebut tidak tercatat maka akan berdampak pada kehidupan keperdataan (yuridis) dan sosilogis keluarga calon penjamin tersebut.

Kriteria kedua yaitu Relasi Sosial Dalam Keluarga, relasi sosial adalah hubungan yang terjadi secara dua arah (timbal balik), hubungan ini minimal terjadi antara dua orang, dan kedua orang tersebut berperan secara aktif. Hubungan antara kedua pihak yang terlibat akan saling mempengaruhi.

Jadi menurut penulis, relasi sosial dalam keluarga adalah hubungan dua arah (timbal balik) timbal balik antara sesama anggota keluarga, baik itu antara calon penjamin dengan istrinya, calon penjamin dengan anak-anaknya, istri calon penjamin dengan anak-anaknya maupun relasi sosial antara sesama anak calon penjamin. Relasi sosial dalam keluarga calon penjamin harus berjalan dengan baik, kriteria ini akan mendukung berhasil atau tidaknya pelaksanaan reintegrasi sosial WBP.

Kriteria ketiga yaitu Relasi Sosial Dengan Masyarakat, kriteria selanjutnya yaitu relasi sosial calon penjamin dengan masyarakat harus berjalan dengan baik, karena jika relasi sosial calon penjamin dengan masyarakat jika tidak berjalan baik maka calon penjamin tidak akan bisa mengawasi apalagi membimbing WBP yang sedang diintegrasikan kedalam masyarakat.

Jika relasi sosial penjamin dengan masyarakat setempat tidak baik, maka ada kemungkinan calon klien tidak dapat diterima oleh masyarakat sekitar, jika kondisi sudah demikian maka program reintegrasi akan menemui kegagalan.

Kriteria keempat yaitu Pekerjaan dan Keadaan Ekonomi, calon penjamin harus mempunyai pekerjaan yang tetap dan mempunyai penghasilan yang memadai, hal ini berguna karena di fase awal reintegrasi sosial (masa sepertiga bimbingan), klien biasanya tidak mempunyai uang untuk membiayai hidupnya dan kesulitan mendapatkan pekerjaan walaupun mendapat pekerjaan akan sulit mempertahankan pekerjaan tersebut karena kurang keterampilan dan rendahnya pendidikan.

Oleh karena itu, ia membutuhkan calon penjamin yang bisa membiayai hidupnya pada fase awal reintegrasi sosial yaitu masa sepertiga bimbingan.

Adapun kriteria kelima yaitu Keadaan Rumah Tempat Tinggal Penjamin, Keadaan rumah yang layak huni dan sehat tidak secara langsung berdampak bagi reintegrasi sosial. Namun jika WBP selama menjalani reintegrasi sosial bertempat tinggal sama dengan calon penjamin, maka calon penjamin setidaknya mempunyai tempat tinggal yang layak huni sebagai tempat pembimbingan dan pengawasan WBP selama menjalani reintegrasi sosialnya.

Tempat tinggal yang layak dan nyaman tidak harus identik dengan mahal dan bagus, tempat tinggal calon penjamin yang sederhana dan hubungan harmonis antara anggota keluarga merupakan salah satu kriteria tempat tinggal yang layak. Kriteria keenam yaitu Kondisi Alam Tempat Tinggal Penjamin, kondisi alam yang subur, tersedia lahan kosong yang dapat digarap menjadi pertanian atau perkebunan, akan membantu klien menghabiskan waktunya dengan aktivitas bermanfaat sehingga ia tidak lagi terjerumus ke dalam perbuatan melawan hukum.

Memanfaatkan alam sekitar juga dapat menjadi pekerjaan yang produkit bagi klien sehingga klien dapat menghabiskan waktunya dengan bermanfaat dan berdayaguna.

Selain kebiasaan yang dilakukan saat melakukan penelitian, menurut penulis calon penjamin juga harus dilihat dari usia, riwayat kesehatan dan pendidikan. Hal disebabkan penjamin harus ikut membimbing dan mengawasi pelaksanaan reintegrasi sosial, maka usia penjamin sebaiknya lebih matang dari usia calon klien. Misalnya seorang pemuda yang berusia 18 tahun menjadi calon penjamin WBP yang berusia 30 tahun.

Riwayat kesehatan sebaiknya juga menjadi kriteria bagi seorang calon penjamin, calon penjamin yang mempunyai riwayat penyakit sangat parah untuk mengurusi diri sendiri saja sudah tidak mampu maka orang tersebut dapat dianggap tidak layak menjadi penjamin, atau calon penjamin yang sudah nenek-nenek reot untuk menjamin seorang WBP berusia muda yang mempunyai perilaku anti sosial (preman) atau calon penjamin yang tidak bisa baca tulis namun akan menjadi penjamin bagi WBP yang tamatan sarjana dengan perkara melanggara Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dapat dianggap tidak mampu menjadi penjamin program reintegrasi sosial.

Jika salah memilih calon penjamin, maka dapat berakibat kurang optimalnya program reintegrasi sosial, yaitu klien menjadi tidak terawasi dan tidak terkontrol karena penjamin tidak mampu melaksanakan tugas sebagai penjamin program reintegrasi sosial seperti yang tersirat didalam “Perjanjian Sebelum Reintegrasi” dan “Komitmen Bersama” yang di sudah di tandatangani bersama Pembimbing Kemasyarakatan dan diketahui oleh Kepala Bapas. Jika calon penjamin yang sebenarnya tidak layak untuk menjadi penjamin namun tetap dipaksakan menjadi penjamin, maka akan terjadi kegagalan pembimbingan.

Oleh karena itu, dibutuhkan kriteria penjamin yang mumpuni untuk bisa mensukseskan pelaksanaan reintegrasi sosial bagi WBP, namun jika tidak ada kriteria penjamin yang mumpuni, maka sebaiknya PK Bapas tidak memaksakan dan harus dipertimbangkan kembali usulan WBP untuk mengikuti program reintegrasi.


Dalam rangka mengurangi penyebaran dan penularan Covid-19, kriteria penjamin yang diteliti oleh PK Bapas adalah menjamin agar klien mengikuti protokol kesehatan selama menjalani masa integrasi.

Butir menjamin agar klien mengikuti protokol kesehatan selama menjalani masa integrasi ditambahkan dalam “Perjanjian Sebelum Reintegrasi” dan “Komitmen Bersama” sekaligus mencantumkan sanksi bagi klien jika melanggar protokol kesehatan. Penjamin harus turut mengawasi agar klien disiplin dalam mentaati dan mengikuti protokol kesehatan, jika terjadi pelanggaran terhadap protokol kesehatan maka sanksi yang diberikan dapat berupa pencabutan program reintegrasi yang sedang ia jalani.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait