Kisruh Di Tengah Pandemi Covid-19, Akibat Penyaluran BLT-DD


Penulis: Meta Nopita, Mahasiswi Sosiologi FISIP UBB

Swakarya.Com. Sejak awal tahun 2020, virus corona atau covid-19 mulai merambah ke Indonesia. Saat ini sudah tercatat sebanyak 18.010 jiwa yang terinfeksi positif covid-19, 12.495 diawat, dan sebanyak 4.324 dinyatakan sembuh, serta 1.191 dinyatakan meninggal dunia (per 19 Mei 2020).

Hal ini tentu semakin meresahkan masyarakat. Maka dari itu pemerintah terus menghimbau kepada masyarakat untuk menggunakan masker apabila keluar rumah dan rajin cuci tangan. Serta melarang masyarakat untuk melakukan mudik ditengah pandemi covid-19.

Namun, akhir-akhir ini masyarakat bukan lagi fokus terhadap penularan virus corona atau covid-19, tetapi masyarakat mulai berfikir bagaimana bertahan hidup dari dampak virus corona.

Pasalnya sejak Indonesia dinyatakan sebagai zona merah penyebaran virus corona, pemerintah mulai menghimbau untuk menutup pabrik ataupun perusahaan di berbagai daerah.

Hal ini kemudian berdampak kepada para karyawan yang harus dirumahkan dan mengalami PHK secara besar-besaran atau bahkan tanpa gaji dan pesangon. Dan ditutupnya beberapa pabrik ini kemudian menyebabkan hancurnya perekonomian dunia.

Hal ini menyebabkan kelaparan di beberapa daerah mulai mengalami peningkatan.
Beberapa pekan lalu dunia maya dihebohkan dengan meninggalnya 1 keluarga di India karena mengalami kelaparan. Dan di Indonesia sendiri ada seorang ibu yang meninggal dunia karena kelaparan serta tak makan selama 2 hari dan hanya minum air galon. Dan masih banyak lagi kasus-kasus dampak dari virus corona atau covid-19 ini.

Maka dari itu, untuk meminimalisir kejadian serupa, beberapa masyarakat berlomba-lomba menjadi relawan untuk membantu masyarakat yang kurang mampu dengan memberikan sembako, uang dan bantuan lainnya.

Bantuan ini dilakukan secara langsung (face to face) antara pemberi dan penerima ataupun melalui yayasan yang kemudian disalurkan kepada penerima. Melihat banyaknya masyarakat yang mengalami keanjlokan perekonomian kemudian pemerintah membuat aturan dengan putusan pemberian Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) bagi masyarakat kurang mampu.

Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) ini di dapat dari 25% dari alokasi dana desa. Sehingga setiap desa berbeda kuota dalam mendapatkan bantuan ini, namun tetap dengan jumlah yang sama yaitu sebesar 600 ribu per KK.


Ternyata, dengan adanya Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) ini memunculkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Pasalnya banyak dikatakan BLT-DD yang diberikan kepada masyarakat salah sasaran.

Kemudian memunculkan opini-opini masyarakat dibelakang pemerintah desa. Sehingga memunculkan kesenjangan sosial antara masyarakat yang menerima BLT-DD dan yang tidak. Dan bisa kita lihat di media sosial, beberapa kali terlihat postingan masyarakat memojokkan pemerintah desa di mengenai BLT-DD ini, dan memperparah keadaan hingga ada yang berujung pada pencemaran terhadap pemerintah desa.


Dalam hal ini, adanya miskomunikasi antara pemerintah desa dan masyarakat. seharusnya sebelum membagikan BLT-DD adanya pemeritahuan kepada masyarakat bahwa syarat untuk mendapatkan bantuan adalah penerima bantuan belum terdata pada penerimaan berbagai bantuan sosial manapun, serta keluarga yang memiliki penyakit rentan.

Jadi, disini dapat ditegaskan bahwa penerima bantuan tidak dapat menerima bantuan secara double, karena ditakutkan akan terjadinya tumpang tindih bantuan. Singkatnya, jika seorang penerima bantuan sudah terdaftar di salah satu bantuan sosial, maka ia tidak bisa dimasukkan dalam bantuan sosial lainnya.

Selain itu, harus adanya sinergi antara pemerintah desa dengan RT/RW setempat agar bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat. selain itu, sebagai masyarakat sudah seharusnya masyarakat bisa mengerti ketika telah mengetahui hal tersebut. Dan adanya keluwesan antara masyarakat dengan pemerintah desa.

Jika pemerintah Daerah memerintahkan masyarakat untuk mengikuti rapat, maka ikutilah dengan baik. Karena tentu akan ada informasi penting yang akan disampaikan.

Terkadang masyarakat terlalu santai, dan bersifat pragmatis semata. Ingin mendapatkan bantuan tetapi tak ingin menghadiri rapat, akibatnya muncul kesalah pahaman diantara kedua belah pihak.

Dengan adanya kejadian ini, semoga menjadi refleksi kita kedepan agar lebih mengoreksi diri masing-masing. Dan tidak mengulang hal serupa terlebih lagi ditengah pandemi ini, tentunya selain damai secara ekonomi, tentu kita juga ingin damai secara hati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *