Kepincangan Politik Luar Negeri Indonesia

Oleh: Adhy Yos Perdana/ Ketua Umum HMI Cabang Bangka Belitung Raya

Pemerintah Indonesia dalam mengemban tugas dan fungsi, serta tanggung jawab dalam suatu negara, diharapkan dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik guna efisiensi sumberdaya yang ada.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, tentu tidak dapat terlepas dari hubungan antara negara yang dilakukan, baik untuk negara-negara di kawasan Asia maupun lebih luas lagi yaitu ruang lingkup se-dunia, tentu tak lain adalah guna memenuhi kebutuhan Indonesia dan dalam rangka mensejahterakan masyarakat Indonesia.

Kita tak lupa bahwa peranan ini menjadi sangatlah penting dikarenakan sebagai titik vital guna membangun hubungan intensif yang menguntungkan antarnegara, terlebih untuk Indonesia, baik untuk sektor produksi, distribusi maupun pemenuhan kebutuhan konsumsi yang terus menjadi perhatian seiring perkembangan zaman.

Hal inilah yang kemudian mendorong pemerintah untuk dapat dengan baik membangun komunikasi ke berbagai negara ataupun instansi di luar negeri, guna menjalin hubungan kerjasama yang bertujuan dapat menghasilkan suatu kemajuan dari adanya hubungan luar negeri. Hubungan luar negeri tersebut kemudian kental dengan permainan politik luar negeri.

Dalam hal ini kita akan mengupas berkenan dengan politik luar negeri pemerintah Indonesia sebagai evaluasi apakah masih sesuai dengan Nawacita dan komitmen pemerintah pusat, atau malah mengalami gradasi sehingga memunculkan kemandulan.

Dapat diketahui bersama bahwa sampai saat ini pemerintah Indonesia secara dominan masih bergantung pada Negara China. Ketergantungan tersebut dapat dilihat baik yang berkenaan dengan sektor finansial, bahan-bahan produksi, hingga ekspor impor merupakan deretan fakta yang tak terbantahkan bahwa pemerintah Indonesia masih terbelenggu dan ketergantungan dengan China.

Yang pertama, dapat dilihat dari sektor ekonomi. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa China merupakan sumber investasi langsung luar negeri (FDI) terbesar kedua (setelah Singapura) dan menjadi salah satu mitra dagang yang tak tergoyahkan bagi Indonesia.

Yang kedua, China merupakan negara dengan tujuan ekspor terbesar Indonesia selama periode tahun 2019 dengan nilai nominal hingga mencapai US$ 25,8 juta atau sekitar 16,68% dari total ekspor yang dilakukan Indonesia.

Selanjutnya, selama periode 2019 tercatat bahwa China turut menjadi sumber impor terbesar Indonesia, dengan nilai nominal hingga mencapai US$ 44,5 juta atau setara dengan 1/3 total impor yang dilakukan oleh Indonesia.

Tak hanya deretan persoalan di atas, lebih dari hal itu saat ini perwakilan dari kedua negara yaitu Indonesia dan China juga telah menandatangani kesepakatan untuk beralih dari dolar AS dan mempromosikan menggunakan mata uang lokal dari masing-masing negara sebagai alat transaksi pembayaran dalam perjanjian perdagangan yang mereka lakukan.

Tak berhenti hanya di situ, China dan Indonesia turut memperluas pertukaran budaya, pendidikan, dan masyarakat. Yang artinya cakupan ekspansi hubungan kerjasama yang dilakukan oleh kedua negara sudah hampir dibilang tak ada batasan. Hanya saja mungkin hal-hal yang bersifat prinsipil yang belum dapat ditembus.

Demikian rentetan persoalan politik luar negeri Indonesia. Indonesia dapat dikatakan masih berada di pusaran pengaruh ekonomi China terlebih dengan adanya proyek Belt and Road Initiatives Tiongkok (China).

Kemudian bagaimana meneropong kondisi dan langkah yang kemungkinan akan dilakukan oleh kedua negara tersebut baik negara Indonesia maupun China, dengan kata lain ‘PR’ atau persoalan yang harus diperhatikan, diantaranya sebagai berikut:

  1. Berbagai proyek mangkrak, yang perlu diperhatikan untuk dilanjutkan yang menjadi prioritas;
  2. Kelanjutan berbagai proyek yang sudah dijanjikan, apalagi proyek-proyek prioritas;
  3. Janji-janji politik pemerintahan saat ini sudah dijanjikan;
  4. Perangkap hutang yang dililitkan oleh Tiongkok (China).

Hambatan-hambatan:

  1. Sentimen Anti-China
  2. Isu laut China Selatan

Resiko Ekonomi akibat dependensi Indonesia pada China:

  1. Kecenderungan pemerintah China untuk mendevaluasi mata uangnya sehingga menjadikan Indonesia menghadapi berbagai risiko jika beralih ke Yuan.
  2. Dalam beberapa tahun terakhir China kerap kali melakukan kebijakan devaluasi terhadap mata uang negaranya, tujuannya adalah sebagai strategi untuk membuat Yuan lebih responsif terhadap kekuatan pasar.

Sebagai contoh pada Tahun 2019 ketika mencuatnya perang dagang antara China dengan Amerika serikat kembali memanas, Beijing mendevaluasi Yuan untuk membuat produk China lebih kompetitif dan lebih murah di pasar global.

  1. Jika Indonesia menggunakan Yuan, dikhawatirkan impor Indonesia dari China akan mengalami lonjakan yang akan berakibat buruk pada pasar domestik.
  2. Dapat diketahui seperti halnya yang terjadi baru-baru ini, pengusaha produk tekstil Indonesia merasa geram dan melakukan protes ke pemerintah akibat adanya peningkatan impor tekstil dari China yang memasuki pasar domestik kemudian mengakibatkan produk lokal mengalami kesulitan berkembang atau sulit bersaing.

Kondisi tersebut dapat kita prediksi akan mengakibatkan beberapa hal dalam politik luar negeri Indonesia, diantaranya:

  1. Berpotensi merusak hubungan antara negara Indonesia dengan Amerika Serikat
  2. Condongnya Indonesia kepada China semakin terlihat tatkala baru-baru ini pemerintah Indonesia menolak proposal AS untuk mengirimkan pesawat pengintai maritim P-8 Poseidon mendarat dan mengisi bahan bakar di Indonesia.
  3. Proposal tersebut diajukan di tengah kondisi yang sedang memanas antara AS dan China untuk mendapatkan pengaruh di kawasan Asia tenggara.
  4. P-8 Poseidon dikirimkan AS guna memainkan peran sentral AS dalam rangka mengawasi aktivitas militer China di wilayah Laut China Selatan.

Langkah, atau solusi yang ideal adalah :

  1. Kembali menyadari bahwasanya negara Indonesia dalam politik luar negeri menggunakan prinsip (Bebas Aktif )
  2. Diversifikasi Mitra
  3. Menyadari China lebih butuh Indonesia dikarenakan Indonesia sebagian pasar strategis dari produk China dan dalam rangka eksploitasi sumber daya, bukan sebaliknya Indonesia yang butuh dengan China.
  4. Indonesia harus menyadari akan konspirasi global dari para kapitalis yang liberal dalam memainkan Indonesia selaku pemilik sumberdaya yang berlimpah ruah dan sebagai target pasar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *