Independensi Psikiater dalam Perspektif Hukum Pidana

Penulis: Andri Yanto, Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Swakarya.Com. Perbuatan pidana atau dalam konteks ilmu hukum kerap disebut juga sebagai legal definition of crime merupakan fenomena sosial yang muncul akibat adanya penyimpangan dalam masyarakat. Perspektif pidana membagi ruang legal definition of crime ini dalam dua ranah, yakni kejahatan (mala in se) dan pelanggaran (mala in prohibita).

Kejahatan merupakan artefak sosiopolitik berupa perbuatan sengaja atau pengabaian terhadap hukum yang berakibat pada timbulnya kerugian baik dalam masyarakat maupun bagi negara.

Perbuatan kejahatan secara umum misalnya adalah pembunuhan, pencurian, perampokan, korupsi serta banyak bentuk lainya. Sedangkan pelanggaran atau mala prohibita adalah perbuatan yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai perbuatan melawan hukum. Meski berbeda secara definitif dan normatif, baik kejahatan maupun pelanggaran karena sifatnya yang merugikan kepentingan umum maka harus dikenai pertanggungjawaban.

Dalam menilai pertanggungjawaban hukum, terdapat berbagai syarat yang harus dipenuhi. Menurut Van Hamel, pertanggungjawaban merupakan suatu keadaan normal psikis dan kecakapan bertindak yang membawa tiga kemampuan dasar, yakni 1) kemampuan dalam memahami akibat perbuatan yang dilakukan, 2) kemampuan mengerti bahwa perbuatanya melanggar ketertiban dan dapat dikenai sanksi, dan 3) memiliki kehendak bebas dalam menentukan akan dilakukan atau tidaknya perbuatan tersebut.

Ketiga prasyarat yang diajukan oleh van Hamel menegaskan pentingnya korelasi antara pemidanaan dengan keadaan psikis pelaku tindak pidana. Dalam kajian hukum, keadaan dapat dipertanggungjawabkan secara psikis ini dikenal juga sebagai toerekeningsvatbaarheid. Sedangkan hubungan keterkaitan antara kondisi psikis dengan perbuatan disebut toerekenbaarheid atau pertanggungjawaban pidana.

Kemampuan bertanggungjawab dalam KUHP tidak dirumuskan secara positif, melainkan dirumuskan secara negatif. Terdapat lima konklusi dari Pasal 44 KUHP yang mengatur perihal pertanggungjawaban pidana. Pertama, kemampuan bertanggungjawab dari sisi pelaku dilihat dari keadaan mental dan kesehatanya.

Kedua, penentuan kemampuan dalam konteks pertama harus dilakukan oleh psikiater yang ahli dibidangnya. Ketiga, terdapat kausalitas hubungan antara kondisi psikis dengan perbuatan yang dilakukan.

Keempat, penilaian terhadap hubungan tersebut diputuskan oleh hakim. Kelima, sistem KUHP adalah deskriptif-normatif yang menegaskan kewenangan penentuan dalam dua tangan, yakni deskriptif oleh psikiater dan normatif oleh hakim.

Asas Furiosi Nulla Voluntas Est

KUHP mengakui pentingnya peran psikiater dalam penentuan kemampuan bertanggung jawab bagi pelaku kejahatan terhadap suatu tidak pidana. Hal ini berangkat dari asas hukum fuiosi nulla voluntas est yang berarti bahwa seorang yang gila tidak memiliki kehendak sehingga perbuatan yang dilakukanya terbebas dari kesalahan, karena tidak memenuhi syarat pertanggungjawaban pidana.

Kedudukan psikiater yang demikian menjadi vital terlebih karena dekripsi yang dilakukanya disandarkan pada keahlian medis yang tidak dapat diintervensi, serta legalitas putusan psikiater memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dapat mempengaruhi putusan hakim dalam persidangan.

Sebagai ilustrasi, seorang anak yang sedang bermain dengan sengaja melemparkan batu kepada seorang yang lewat dan menimbulkan cedera. Meski perbuatnya telah terkualifikasi sebagai kejahatan berupa penganiayaan, namun ia tidak dapat dipidana lantaran seorang anak secara psikologis dianggap belum cakap bertindak, dan dengan demikian belum memiliki pertanggunjawaban hukum.

Ilustrasi kasus anak tersebut juga dapat diperluas cakupanya pada kasus yang lebih konkret. Misalnya seorang yang melakukan pengrusakan tempat ibadah atau pelaku penyerangan tokoh agama dan pejabat publik.

Jika kemudian pelaku tersebut dinyatakan tidak sehat secara psikis atau gila oleh psikiater, maka ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana serta dibebaskan dari tuduhan.

Banyaknya Kasus Kriminal oleh “Orang Gila”

Apabila kita memutar kembali ingatan seputar berita televisi sepanjang tiga tahun terakhir, satu fakta yang barangkali cukup menguras pikiran adalah banyaknya kasus penyerangan dan aksi kriminal yang dilakukan oleh orang gila.

Pada September 2020 silam misalnya, terjadi penyerangan terhadap Almarhum Syekh Ali Jaber oleh seorang tak dikenal dalam sebuah acara keagamaan di Lampung. Pelaku yang belakangan diketahui berinisial AA (24) sempat dirumorkan mengalami gangguan kejiwaan oleh pihak kepolisian.

Spekulasi ini berkembang luas dan menjadi sorotan masyarakat, lantaran perbuatanya yang jika dipandang dari sudut manapun, sulit diterima sebagai tindakan orang yang tidak waras. Dalam hal ini, psikiaterlah yang kemudian memutuskan kesehatan mental pelaku, dan mengakhiri polemik terkait kemampuan bertanggunggjawab dihadapan hukum dalam perkara tersebut.

Kasus penyerangan ulama dan tokoh masyarakat oleh orang yang dianggap mengalami gangguan kejiawaan bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Pada Januari 2018, pimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, Umar Basri mengalami luka parah setelah diserang saat sedang menunaikan sholat subuh di masjid.

Pelaku kemudian dinyatakan gila berdasarkan hasil pemeriksaan kejiwaan oleh psikiater di RS Sartika Asih dan dibebaskan dari tuduhan. Peristiwa nahas juga sempat menimpa Yazid Nasution pada Juli 2020 silam, saat dirinya diserang oleh pelaku IM (24) saat sedang memimpin doa sehabis sholat isya’. Sama seperti sebelumnya, pelaku dianggap mengalami gangguan kejiwaan berdasarkan hasil pemeriksaan oleh psikiater.

Selain tindakan percobaan pembunuhan dan penganiayaan, tindak kriminalitas berupa perusakan tempat ibadah dan fasilitas umum juga sempat mengisi laman berita dalam beberapa waktu terakhir. Pengrusakan Masjid Baiturahman di Kelurahan Karangsari, Kec.Tuban pada Februari 2018 lalu memicu polemik dalam masyarakat.

Pasalnya pelaku yang kemudian dinyatakan sebagai orang gila memiliki keseharian yang normal, dan bahkan sempat ikut menunaikan shalat isya’ bersama jamaah lain beberapa jam sebelum pengrusakan dilakukan. Hal serupa juga terjadi pada September 2020, dengam aksi pelemparan batu di Madjid Nurul Jami di Dago Selatan, Bandung oleh pelaku yang kemudian dinyatakan memiliki gangguan kejiwaan.

Berselang dua hari kemudian, aksi pelemparan batu juga terjadi di Masjid Al-Muslihun, Kampung Bangkok, Bandung oleh pelaku T, yang juga diputuskan memiliki gangguan kejiwaan.

Terakhir, yang anyar adalah aksi vandalisme di Musala Darussalam, Tangerang yang pada 29 September tahun lalu yang melakukan aksinya dengan gunting dan pylox (cat semprot). Pelaku S, kemudian divonis mengalami gangguan kejiwaan.

Urgensi Objektifitas Psikiater

Sebagai tenaga medis profesional yang memiliki legalitas hukum resmi, hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh seorang psikiater tidak dapat dianulir keabsahanya di mata hukum. Dalam kasus penyerangan dan vandalisme diatas misalnya, alasan mengapa pelaku dapat dibebaskan atau tidak dikenai pemidanaan adalah lantaran hasil pemeriksaan psikiater yang menyatakanya tidak memiliki kemampuan pertanggungjawaban hukum.

Hasil pemeriksaan secara deskriptif selanjutya akan diteruskan dengan penetapan putusan normatif oleh hakim dipersidangan.
Dalam konsepsi KUHP yang menganut sistem deskriptif-normatif, kedudukan psikiater sama halnya dengan kedudukan hakim untuk menentukan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana.

Hal ini adalah alasan mendasar mengapa independensi psikiater harus benar-benar dijamin guna menghindari terjadinya penyimpangan atau rekayasa hasil pemeriksaan karena konflik kepentingan tertentu. Kebebasna psikiater yang bertugas dari unsur-unsur politisasi juga menjadi prioritas yang penting sebagai bagian dari upaya penegak hukum.

Berkenaan dengan independensi penegak hukum sendiri pada hakikatnya merupakan amanah yang tercantum dalam konstitusi. Pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan bebas. Ini mengandung arti bahwa hakim dalam menjalankan tugas dan kekuasaanya bebas dari intervensi siapapun. Meski demikian.

Dalam pasal 27 ayat (1) UU No.14 Tahun 1970 jo UU No.35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, independensi hakim tidaklah berdiri secara normatif penuh atau positivistik melainkan juga mempertimbangkan aspek-aspek nilai dan sosiologi masyarakat.


Sebagai bagian dari pengambil keputusan, psikiater sendiri dalam menjalankan tugasnya pada pemeriksaan kejiwaan pelaku harus dianggap sebagai bagian intergral dari kekuasaan kehakiman yang profesional.

Berbeda dengan hakim yang masih dapat “diintervensi” oleh nilai-nilai masyarakat dalam putusanya, psikiater dalam pandangan penulis harus menjalankan tugasnya secara objektif tanpa ada intervensi apapun.

Pentingnya objektivitas ini lantaran hasil pemeriksaan oleh psikiater bukan saja bersifat memberi keterangan, melainkan juga membentuk putusan hakim di pengadilan.

Dengan demikian, dapat diambil konklusi bahwa psikiater memegang tanggung jawab yang fundamental dan strategis dalam proses penentuan pertanggungjawaban hukum, yag dengan sendirinya berarti turut menentukan keadilan, kebermafaatan dan kepastian dari hukum itu sendiri.

Sebagai tenaga profesional yang membantu proses peradilan, independensi dan objektivitas psikiater tidak dapat ditawar atau diintervensi oleh pihak dan kepentingan lain diluar peradilan. Dengan jaminan ini, maka keadilan dapat ditegakan sebagaimana mestinya untuk memberi kebermanfaatan bagi masyarakat dan kepastian hukum yang tertib menuju sistem peradilan nasional yang lebih baik dimasa mendatang.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *