How To Deal With Anxiety

Oleh: Abriel Rumi/ Mahasiswa Hukum

Pernahkah kalian mendengarkan istilah Anxiety? Kata “anxiety” bukan menjadi hal umum lagi di telinga masyarakat apalagi di kalangan anak-anak muda. Anxiety berkaitan dengan psikologis atau kejiwaan seseorang. Secara harfiah, menurut kamus kesehatan psikologi memberikan sebuah pengertian tentang anxiety ialah suatu gejala yang berkaitang dengan gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan perasaan khawatir, cemas, atau takut yang cukup kuat sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Contoh gangguan kecemasan yaitu serangan panik, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan stres pascatrauma.

Anxiety lebih umum disandingkan dengan rasa gelisah yang berlebihan. Wajar untuk merasa cemas sesekali. Namun, jika kecemasan yang dialami terjadi terlalu sering, berlebihan, dan tanpa alasan yang kuat, hal ini bisa dideteksi kemungkinan mengidap gangguan kecemasan alias anxiety disorder. Orang dengan gangguan kecemasan akan merasa sangat khawatir terhadap berbagai hal, bahkan ketika dirinya sedang berada dalam situasi normal.

Dewasa ini begitu banyak pembahasan mengenai social anxiety disorder alias kecemasan sosial yang sering dikaitkan pada anak-anak usia muda tentang rasa ketakutan ekstrem yang muncul ketika berada di tengah-tengah banyak orang. Gugup ketika bertemu orang lain (terutama orang asing atau orang yang cukup penting) itu wajar saja. Namun, ketika selalu merasa gugup, bahkan takut, berada di lingkungan baru sampai berkeringat dan merasa mual, mungkin mengalami kecemasan sosial seperti yang dimaksudkan penulis.

Menurut data analisa bahwa gangguan kecemasan sosial adalah satu jenis dari fobia kompleks. Jenis fobia tersebut memiliki dampak yang merusak, bahkan sampai melumpuhkan, kehidupan penderitanya. Pasalnya, gangguan ini dapat memengaruhi kepercayaan diri dan harga diri seseorang, mengganggu hubungan dan kinerja di tempat kerja, sekolah, kuliah atau lingkungan yang lebih luas dan kompleks.

WHO menyebutkan, anak muda alias generasi milenial saat ini lebih rentan terkena gangguan mental. Terlebih masa muda merupakan waktu di mana banyak perubahan dan penyesuaian terjadi baik secara psikologis, emosional, maupun finansial. Misalnya upaya untuk lulus kuliah, mencari pekerjaan, atau upaya sering membandingkan kehidupan dengan rekan sebaya yang sudah dulu lebih sukses.

Selain perubahan hidup, teknologi juga turut berkontribusi terhadap kesehatan mental generasi muda. Salah satunya adalah penggunaan media sosial. Media sosial seakan menciptakan gaya hidup ideal yang sebenarnya tidak seindah kenyataan. Hal inilah yang menciptakan tekanan dan beban pikiran pada generasi muda.

Perasaan stres yang terus terjadi pada seseorang dapat menyebabkan anxiety disorder dan juga rasa stress atau depresi. Perlu penulis tekankan bahwa anxiety disorder dan depresi adalah dua hal yang berbeda, meskipun terlihat sangat mirip. Pada seseorang yang mengidap depresi, ia akan merasakan keputusasaan dan kemarahan. Selain itu, tingkat energi yang ada menjadi sangat rendah dan akan merasa kelelahan dengan pekerjaan yang harus dilakukan setiap hari.

Nyatanya, anxiety disorder lebih berbahaya dibandingkan depresi. Walaupun belum ada kepastian, beberapa orang yang mengalami depresi juga akan mengidap anxiety disorder. Menurut data yang berhasil temukan, dsebutkan bahwa 85 persen yang mengidap depresi berat akan berkembang menjadi anxiety disorder.

Sedangkan, sekitar 25 persen akan berkembang menjadi gangguan panik. Dikarenakan depresi dan anxiety disorder mempunyai banyak kemiripan, keduanya sering dianggap bagian dari gangguan suasana hati.

Menurut penulis, bagaimana cara kita untuk menangani rasa kecemasan terhadap diri sendiri dan lingkungan sosial, langkah utama yang bisa kita lakukan untuk menghindari mengalami anxiety disorder adalah perbanyak mensyukuri hidup kepada Tuhan, tentang bagaimana kita berusaha untuk selalu menerima apa yang menjadi kekurangan dan kelebihan diri kita sendiri (self-love). Berusahalah untuk tidak pernah membandingkan kehidupan kita sendiri dengan kehidupan orang lain, apalagi jika itu di sosial media.

Perlu kalian ketahui bahwa 99 persen kesempurnaan di sosial media adalah bentuk kesempurnaan 1 persen dari kehidupan nyata begitu juga dengan sebaliknya. Artinya, apa yang kita lihat belum tentu berdasarkan kenyataan dan fakta yang sebenarnya. Kalian juga tahu bahwa sosial media itu adalah dunia maya. Maya artinya semu ( tak nyata ). Jadi, tidak bisa kita memutuskan seseorang itu bahagia atau tidaknya hanya dengan melihat profilenya di sosial media.

Yuk, kita sama-sama melihat jauh ke dalam diri kita sendiri. Bahwa kita adalah pribadi yang unik dan tak perlu mencemaskan kebahagiaan orang lain. Karena kebahagiaan itu ditentukan oleh diri sendiri begitu juga dengan rasa kecemasan dan ketakutan itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *